
TIMESINDONESIA, LOMBOK – Siapa pun yang membuka media sosial seperti FB, IG, dan lainnya, pasti akan menemukan banyak komentar netizen yang isinya adalah olok-olokan kepada orang lain. Fenomena mengolok-olok di media sosial kini menjadi penyakit sosial akut yang dapat mengenai siapa saja yang kurang hati-hati menjaga etika komunikasinya.
Olok-olokan itu seperti kerumunan semut yang menyerbu remah makanan manis, awalnya hanya satu lalu bertambah banyak hingga beramai-ramai. Satu postingan video pendek berisi pidato tokoh politik di FB, bisa dikomentari sampai ribuan. Komentar yang ribuan itu tidak sedikit isinya adalah olok-olokan.
Advertisement
Kebiasaan mengolok-olok di media sosial adalah fenomena yang sangat menyedihkan sekaligus merisaukan. Kita sedih dan risau karena olok-olokan begitu mudah terlontar dari jemari orang anonim hingga orang berilmu. Kita sedih dan risau karena olok-olokan lumrah dipakai mengomentari perbuatan tidak baik maupun perbuatan mulia. Dan yang tidak kalah menyedihkan dan merisaukan, banyak yang menganggap mengolok-olok itu merupakan bentuk kritik yang wajar dilontarkan kepada orang lain.
Pikiran waras kita pasti sepakat bahwa mengolok-olok tentu berbeda dengan mengkritik. Perbedaannya dapat dilihat dari segi bahasa maupun fungsinya. Setidaknya terdapat lima poin perbedaan mengolok-olok dengan mengkritik. Pertama, Kritik berisi kalimat koreksi yang memberi masukkan perbaikan. Sementara hujatan (mengolok-olok) cenderung hanya berisi hinaan dan ejekan.
Kedua, Hujatan (mengolok-olok) berisi kalimat negatif yang tidak menghiraukan etika dalam komentar. Kritik tetap memperdulikan pentingnya tata krama dalam berpendapat.
Ketiga, Kritik akan fokus pada kekurangan hasil kerja, bukan pada orang yang menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Keempat, Pemberi kritik akan berkomentar didasarkan alasan yang logis. Penghujat (pengolok-olok) lebih senang berpendapat karena rasa tak suka.
Kelima, Memberi inspirasi adalah tujuan utama kritik. Hal ini tidak akan ditemukan dalam hujatan (mengolok-olok).
Ketika diselidiki kelima poin di atas, betapa nyata perbedaan antara mengolok-olok dengan mengkritik. Sangat jelas, mengolok-olok adalah perbuatan tercela dan merupakan penyakit jiwa, sementara mengkritik adalah perbuatan terpuji dan merupakan kebutuhan setiap individu manusia yang ingin maju.
Manakala kita melihat problem yang layak ditanggapi di media sosial, kita dapat mengutarakan kritik dengan leluasa tanpa harus menghina. Ketika mengomentari, berikanlah komentar yang bijaksana. Apabila kita hendak mengkritiknya, sampaikanlah kritik kita dengan cara yang tepat. Mengkritik dengan cara yang tepat di media sosial setidaknya harus memperhatikan tiga poin penting, yaitu kritik disampaikan berdasarkan fakta atau ilmu bukan asumsi, kritik mengarah kepada masalah bukan subjeknya, dan kritik disampaikan dengan bahasa yang baik.
Poin pertama menekankan pentingnya kritik yang didasarkan pada fakta atau ilmu pengetahuan daripada sekadar asumsi spekulatif. Kritik yang berisi fakta atau ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan tentu memiliki magnet persuasif yang kuat bagi pihak yang dikritik. Sebaliknya, kritik yang berisi asumsi spekulatif justru dapat membawa masalah bagi si pengkritik.
Sementara poin kedua menekankan bahwa kritik harus berfokus pada masalah bukan subjeknya atau individu yang dikritik. Memfokuskan kritik pada masalah bukan subjek dapat menjaga hubungan antara pengkritik dengan yang dikritik tetap harmonis, jauh dari konflik pribadi.
Adapun poin ketiga menekankan bahwa menggunakan bahasa yang baik saat memberikan kritik sangat penting. Hal ini dapat menghasilkan respon positif pada pihak yang dikritik sehingga mudah menerima kritik. Bukankah setiap pengkritik sesungguhnya ingin merubah dari yang tidak tepat agar menjadi tepat, atau yang tidak baik menjadi baik? Lalu, ketika kritik disampaikan dengan bahasa tidak baik sehingga menyakiti hati, bukankah ini sesungguhnya perbuatan yang sia-sia dan tidak produktif?
Mengkritik dengan cara yang tepat di media sosial, memiliki potensi besar bahwa kritik diterima baik. Selain itu mengkritik dengan cara yang tepat juga berdampak positif terhadap meningkatnya ruang diskusi yang produktif dan progresif. Sehingga lewat diskusi ini dapat terbangun tradisi pertukaran ide yang konstruktif antara berbagai pihak.
Sudah saatnya jamaah media sosial, dari orang anonim sampai ahli ilmu, untuk menyuarakan dan mempraktikkan prinsip: mengkritik yes, mengolok-olok no. Percayalah bahwa menyuarakan kritik tanpa mengolok-olok jauh lebih menenangkan jiwa dan memajukan semangat berpikir dan evaluasi diri.
Dan, percayalah bahwa setiap kritik atau olok-olokan yang kita lakukan, akan menjadi indikator kualitas diri kita: Apakah kita ini adalah manusia sombong yang suka mengolok-olok, atau manusia yang mempunyai hati nurani dan menghargai nilai kemanusiaan?
***
*) Oleh : M. Gufran, Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |