Menelisik Proses Hukum Kasus Penganiayaan oleh Anggota TNI

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Belum lama ini viral rekaman CCTV yang memperlihatkan seorang pengemudi sepeda motor yang menjadi korban penganiayaan yang diduga dilakukan oleh beberapa anggota TNI di Boyolali, Jawa Tengah.
Kejadian bermula pada saat seorang pendukung pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 3 hendak melakukan perjalanan pulang pasca mengikuti acara kampanye penyambutan Calon Presiden nomor urut 3 dengan mengendarai sepeda motor berknalpot brong dan pada saat itu sedang melintas di depan Markas Kompi B Yonif Raider 408/Sbh Jalan Printis Kemerdekaan, Boyolali.
Advertisement
Mendengar suara bising dari motor berknalpot brong yang dikendarai korban, membuat beberapa anggota TNI langsung mencegat dan melakukan penganiayaan terhadap pengemudi sepeda motor berknalpot brong tersebut. Atas kejadian itu, korban mengalami luka-luka di sekujur tubuhnya dan harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Pandan Arang, Boyolali.
Tindak Pidana Penganiayaan
Tindak pidana penganiayaan merupakan suatu tindakan yang dilakukan terhadap tubuh seseorang yang mengakibatkan perasaan tidak enak (penderitaan), luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai mengakibatkan kematian. Tindak pidana penganiayaan sendiri dibagi menjadi beberapa jenis atau klasifikasi, yaitu:
Pertama, Penganiayaan Biasa. Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 351 KUHP yang menjelaskan: Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah; Jika perbuatan itu mengakibatkan luka berat, yang bersalah akan dikenai hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun; Apabila mengakibatkan mati, akan dikenai hukuman pidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Kedua, Penganiayaan Ringan. Penganiayaan jenis ini diatur dalam Pasal 352 KUHP, yang intinya menjelaskan bahwa penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan, diancam karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Ketiga, Penganiayaan Berencana. Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 353 KUHP yang menjelaskan: Penganiayaan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun; Bila perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun; Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Keempat, Penganiayaan Berat. Penganiayaan ini diatur dalam Pasal 354 KUHP yang isinya menjelaskan: Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun;
Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Kelima, Penganiayaan Berat Berencana. Jenis penganiayaan ini diatur dalam Pasal 355 KUHP yang menjelaskan: Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun; Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Proses Hukum Terhadap Kasus Penganiayaan Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI
Penganiayaan merupakan suatu tindakan yang dilarang oleh hukum pidana Indonesia. Oleh karena itu, setiap pelaku penganiayaan akan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk juga apabila penganiayaan tersebut dilakukan oleh anggota atau prajurit TNI. Dalam hal terjadinya penganiayaan yang dilakukan oleh anggota TNI, maka proses penegakan hukum terhadap pelaku akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Proses hukum terhadap pelaku akan dimulai dengan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yaitu Atasan yang Berhak Menghukum, pejabat Polisi Militer tertentu dan Oditur yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang Peradilan Militer untuk melakukan penyidikan.
Dalam proses penyidikan tersebut, Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan melakukan beberapa tindakan untuk mengungkap kejahatan yang terjadi seperti memeriksa saksi-saksi, mencari barang bukti, melakukan penetapan tersangka, melakukan penangkapan tersangka, melakukan penggeledahan dan penyitaan serta diakhiri dengan pembuatan berkas perkara.
Apabila berkas perkara sudah selesai dibuat, maka Penyidik Angkatan Bersenjata Republik Indonesia akan menyerahkan berkas tersebut kepada Oditur dan Oditur akan mempelajari berkas perkara untuk kemudian ditentukan apakah berkas perkara tersebut sudah lengkap atau belum.
Apabila berkas perkara dirasa sudah lengkap, maka Oditur akan membuat dan menyampaikan pendapat hukum kepada Perwira Penyerah Perkara yang isinya berupa permintaan agar perkara dilimpahkan kepada Pengadilan Militer untuk diadili dan diputus, atau bisa juga permintaan agar perkara tersebut diselesaikan sesuai dengan Hukum Disiplin Prajurit, atau justru meminta agar perkara tersebut ditutup demi kepentingan hukum, kepentingan umum, atau kepentingan militer.
***
*) Oleh: Doni Noviantama, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |