
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Pondok pesantren atau yang biasa diakronimkan menjadi ponpes adalah jenis lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Banyak versi tentang kapan asal mula pondok pesantren ini terbentuk, salah satu pendapat mengatakan pondok pesantren pertama kali muncul dan berkembang menjadi halaqah pendidikan di Indonesia pada abad ke-14. Hal ini didasarkan pada Babad Demak, sebuah karya tulis literatur klasik Jawa, yang menyebutkan bahwa pondok pesantren pertama kali tumbuh pada masa Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Masa ini berbarengan dengan periode kekuasaan Prabu Kertawijaya Majapahit.
Kemungkinan sejak saat itulah istilah pondok pesantren atau pesantren saja mulai dikenal oleh masyarakat luas dan menyebar ke seluruh penjuru kerajaan-kerajaan yang ada pada masa itu, salah satu faktor yang penting tentang pesantren adalah adanya seorang pemimpin atau biasa di Jawa disebut dengan Kiai, di Sunda disebut Ajengan, di Aceh disebut tengku, di Sumatera di sebut Syekh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah di sebut Guru. Yang pastinya kyai tersebut memiliki jiwa dan watak yang kharismatik bagi masyarakat sehingga masyarakat lebih percaya dan merasa yakin belajar kepadanya.
Advertisement
Seseorang yang menempuh pendidikan dalam suatu pesantren biasa disebut dengan istilah “santri”. Bisa dikatakan juga bahwa santri juga banyak memiliki peran penting dalam proses kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah mencatat, pertempuran 10 November 1945 yang sangat heroik itu tidak akan pernah ada tanpa 'Resolusi Jihad' yang diprakarsai kaum santri di Kampung Bubutan, Surabaya, pada 22 Oktober 1945.
Mengutip laman resmi Kementerian Agama (Kemenag), 'Resolusi Jihad' yang dibacakan pada 22 Oktober hanya berselang 20 hari dari Hari Pahlawan 10 November. Dari fakta sejarah itu kemudian menunjukkan bahwa kaum santri memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa ini. Maka dari sisi historis tersebutlah saat ini setiap tanggal 22 Oktober diperingati sebagai hari Santri nasional yang diperingati setiap tahunya.
Itulah rekam jejak santri di masa dahulu, perjuangan santri di masa sekarang adalah menjadi sosok “khoirul ummah” di era society 5.0 ini, santri diharapkan juga mampu berkembang dan bersaing di segala aspek kehidupan modern sehingga santri dengan pondok pesantrennya tidak dianggap sebagai suatu sistem pendidikan yang kuno dan ketinggalan zaman.
Dalam konsep pendidikan santri sering terdengar istilah “tirakat” yang merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa arab “thariqot” bermakna jalan atau jalan yang akan dilalui. Pada kehidupan santri zaman dahulu sudah pasti setiap santri memiliki cara tirakatnya sendiri-sendiri. Ada berbagai jenis tirakat yang dikenal di kalangan pesantren, diantaranya adalah puasa Daud (Sunnah Nabi Daud), puasa Senin-Kamis, mutih, ngrowot, ngebleng, dan lain-lain. Tirakat tersebut biasanya juga diiringi dengan pembacaan hizib, doa, ratib, istigasah dan amalan-amalan tertentu yang diperoleh dengan cara di ijazah dari guru atau kiyai.
Santri zaman dahulu identik dengan kemandirian untuk segala kebutuhan pesantren dan belajarnya yang dicari dan diupayakan oleh diri sendiri. Namun sekarang, banyak santri yang menganggap pesantren hanyalah sebuah lembaga penginapan yang segala fasilitasnya bisa diminta dengan mudah layaknya sebuah hotel, segala sesuatunya bisa didapatkan dengan instan baik segi lauk pauk makananya, kenyamanan tempat tidurnya bahkan segi pembelajaranya pun ingin sesuai dengan yang mereka harapkan.
Hal ini sedikit kontradiksi dengan konsep kepesantrenan yang seharusnya para santri itu dididik dengan suasana yang berbeda dengan apa yang ia miliki selama dirumah. Jika sebelum mondok para santri memiliki fasilitas yang serba melimpah maka selama ia menjadi santri ia harus menerima dan lapang dada dengan segala keterbatasan yang ada di pesantren.
Namun, biasanya orang tua dari para santrilah yang tidak tega melihat anaknya dipesantren. Imbasnya para wali santri menuntut terhadap lembaga pesantren untuk menyediakan fasilitas layaknya di rumah mereka sendiri baik dari segi makanan yang harus bergizi, tempat tidur harus nyaman, jam tidur harus tepat waktu dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan santri sekarang lebih “cengeng” dan masih bergantung terhadap keluarga setiap ada permasalahan di pesantren.
Maka tidak heran jika sekarang banyak kasus dari seorang santri yang diseret di ranah hukum padahal tujuan dari lembaga melakukan pendisiplinan tersebut juga kembali kepada santri sendiri agar hidupnya lebih disiplin dan taat terhadap waktu.
***
*) Oleh: Rizki Nur Kholis, Mahasiswa prodi tadris bahasa Indonesia fakultas tarbiyah dan keguruan Institut agama islam Darussalam.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |