
TIMESINDONESIA, LOMBOK – Zaman Nabi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah zaman Nabi Muhammad Saw, yaitu berkisar di tahun 580 M-632 M, dimana saat itu umat manusia masih hidup dalam suasana tanpa hiruk-pikuk teknologi informasi dan komunikasi (dunia digital). Sedangkan zaman digital, sebagaimana kata Puji Rahayu (2019), adalah suatu zaman di mana sebagian besar masyarakat pada era tersebut menggunakan sistem digital dalam kehidupan sehari-harinya.
Pada zaman digital saat ini umat manusia menghadapi kondisi dimana cara berkomunikasi dan pola penyebaran informasi telah berubah drastis. Kondisi tersebut merupakan akibat dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi berbasis digital yang terus berkembang, di antaranya: internet (World Wide Web alias WWW dan Media Sosial), Aplikasi Mobile (Aplikasi berbasis Android dan iOS), Ponsel Cerdas (Smartphone), E-Commerce (Perdagangan Elektronik), Teknologi Cloud, dan Artificial Intelligence (AI).
Advertisement
Zaman digital yang terus berkembang pesat sedemikian rupa telah membuat kehidupan manusia mendapatkan kemudahan dalam segala aspek, salah satunya adalah kemudahan dalam mengakses informasi. Hanya bermodal smartphone yang sudah terhubung internet saja, seseorang sudah bisa mengakses ribuan bahkan jutaan informasi dari berbagai penjuru dunia. Sayang sekali, di balik realita kemudahan mengakses informasi yang sedemikian gampang, ada satu masalah besar yang sering menimpa penerima informasi, yaitu terpapar hoax.
Hoax adalah informasi tidak benar yang sengaja disebarkan dengan tujuan menyesatkan atau merugikan orang lain. Hoax yang sudah menyebar ke masyarakat luas dapat menyebabkan kemarahan, ketakutan, kepanikan, dan merusak reputasi individu atau suatu lembaga sehingga membawa musibah sosial yang serius. Hoax tidak hanya ada dan menjadi musibah sosial di zaman digital, namun juga di zaman dulu, bahkan sejak zaman Nabi Saw.
Hoax di Zaman Nabi
Saban waktu di zaman Nabi Saw, sebagaimana dijelaskan Abdul Latip Talib (2019), telah terjadi satu peristiwa penyebaran hoax yang melibatkan Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah, istri tercinta Nabi Saw sendiri. Hoax itu menyatakan: “Istri Nabi telah berselingkuh dengan Shafwan bin Muathal (salah satu sahabat mulia Nabi Saw)”. Hoax yang menimpa Sayyidah Aisyah ini diproduksi oleh seorang munafik bernama Abdullah bin Ubay.
Cerita kemunculan hoax ini bermula ketika Sayyidah Aisyah tertinggal rombongan saat umat Islam pulang dari lokasi peperangan melawan kaum Yahudi Bani Musthaliq. Ketika pasukan muslim yang pulang dalam peperangan itu diajak beristirahat oleh Nabi Saw, saat itulah Sayyidah Aisyah yang berada di dalam kurungan di atas unta keluar untuk membuang air. Ketika selesai membuang air, Sayyidah Aisyah kembali ke lokasi istirahat. Sebelum tiba di lokasi istirahat, beliau menyadari kalung permata zhafar beliau tertinggal, lalu beliau kembali untuk mencarinya sampai ketemu.
Ketika Sayyidah Aisyah kembali ke lokasi istirahat pasukan muslim, ternyata rombongan sudah sepi. Rupanya para petugas pengangkat kurungan saat itu berangkat mengikuti rombongan tanpa menyadari bahwa Sayyidah Aisyah belum kembali dan masuk ke dalam kurungan beliau. Sayyidah Aisyah benar-benar tertinggal oleh rombongan pasukan muslim tanpa ada satu pun yang menyadarinya.
Sayyidah Aisyah yang tertinggal rombongan memutuskan untuk diam menunggu di lokasi istirahat itu dengan harapan rombongan akan kembali mencari beliau. Sayyidah Aisyah menunggu dalam waktu yang cukup lama hingga tertidur sendiri di lokasi itu, sampai akhirnya ditemukan oleh sahabat Nabi Saw, Shafwan bin Muathal. Sahabat Nabi Saw ini terkejut luar biasa melihat Sayyidah Aisyah tertinggal di perjalanan. Tanpa berpikir panjang, Shafwan mempersilahkan Sayyidah Aisyah untuk naik di untanya, sedangkan dia berjalan kaki sambil memegangi tali kekang unta itu sampai ke Madinah.
Ketika Sayyidah Aisyah dan Shafwan tiba di Madinah, di momen inilah Abdullah bin Ubay yang saat itu sedang bersama Misthah melancarkan aksinya. “Aisyah sudah mengkhianati suaminya dan ini sungguh memalukan. Kita perlu menyebarkan berita ini ke orang-orang.” Demikian kata Abdullah bin Ubay kepada Misthah. Abdullah bin Ubay dan Misthah kemudian menyebarkan hoax ini melalui cerita lisan kepada masyarakat luas di kota madinah. Akibatnya, guncangan hebat pun tidak bisa terhindarkan di tengah masyarakat. Orang-orang yang menerima hoax itu terbelah dua, ada yang percaya dan ada yang tidak percaya. Kehidupan rumah tangga Nabi Saw yang suci dan mulia menjadi buah bibir pembicaraan orang-orang di setiap sudut kota.
Apa dampak hoax yang menimpa Sayyidah Aisyah tersebut bagi rumah tangga Nabi Saw dan masyarakat Madinah? Bagi rumah tangga Nabi Saw, hoax itu telah mengganggu interaksi antara Nabi Saw dengan Sayyidah Aisyah. Sampai-sampai Nabi Saw jarang bicara dengan Sayyidah Aisyah. Sementara Sayyidah Aisyah yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa menangis dalam kesedihan, bahkan sampai beliau jatuh sakit dan pulang ke rumah orang tuanya. Nabi Saw merespon hoax yang beredar itu dengan sabda beliau, “Wahai kaum muslimin, mengapa orang-orang suka mengusik rumah tanggaku? Mereka menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya”.
Adapun bagi masyarakat Madinah, hoax itu telah melahirkan gesekan yang cukup serius. Sahabat Nabi Saw yang terdiri dari kaum Aus dan kaum Khazraj di Madinah sampai bertikai dan silat lidah dalam suatu pertemuan akibat hoax itu. Hampir-hampir di antara dua kaum ini saling menghunus pedang, yang tentu saja hal itu berpotensi mengarah kepada lahirnya korban jiwa. Hoax yang disebarkan oleh Abdullah bin Ubay ini betul-betul telah menjadi gelombang fitnah yang memecah belah masyarakat di kota Madinah.
Tatkala hoax itu telah sampai pada puncaknya, saat hoax itu memenuhi setiap sudut di rumah-rumah, dan menjadi perbincangan yang sangat mengganggu perasaan dan pikiran setiap orang yang mendengarnya, tiba-tiba turunlah ayat Al-Qur’an membantah hoax yang sudah menyebar luas itu. Sayyidah Aisyah sebagai korban hoax dibela oleh Tuhan Yang Maha Menyaksikan segala tindakan manusia.
Pembelaan itu terekam dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 11-17: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.”
Hoax di Zaman Digital
Manakala di zaman Nabi Saw di abad 6/7 Masehi saja hoax sudah ada dan menjadi fenomena yang menjangkiti masyarakat, maka di zaman digital seperti saat ini hoax menjadi fenomena yang jauh lebih rumit dan kompleks. Fenomena hoax di zaman digital seolah sudah menjadi hiasan mata di berbagai media.
Dalam penelusuran penulis di website Kominfo pada tanggal 5 Januari 2024, terdapat daftar deretan berita palsu atau hoax yang menyebar di tengah masyarakat Indonesia melalui media sosial, 4 di antaranya adalah: “[HOAKS] Ombak Mirip Tsunami Sapu Bersih Tempat Wisata”, “[HOAKS] Kapal Feri Berisikan Pengungsi Rohingya sedang Menuju Indonesia”, “[HOAKS] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Gerebek Kediaman Calon Wakil Presiden (Cawapres) Nomor Urut 2 Tepat Hari Ini”, dan “[HOAKS] PT Yamaha Motor Indonesia Bagi-bagi Motor Aerox di TikTok”. Hoax-hoax ini menyebar melalui media sosial seperti Youtube dan Tik-Tok yang tentu berpotensi menyebabkan kerugian, kemarahan, atau ketakutan bagi masyarakat luas.
Banyak orang ketika menerima informasi melalui WA atau Youtube, tidak mencermati kebenaran informasi yang dibacanya. Sementara, informasi yang ada di ruang digital itu ada yang fakta dan ada pula yang hoax. Setiap informasi yang tidak benar atau tidak sesuai dengan fakta adalah hoax. Tidak sedikit orang yang menerima informasi palsu alias hoax menelan mentah-mentah informasi yang dibacanya sebagai sebuah kebenaran, dan tidak jarang hoax itu di-share ke orang lain. Akibatnya, hoax pun menyebar dalam waktu yang sangat singkat, dan berhasil memakan ribuan bahkan jutaan korban di berbagai tempat.
Persamaan dan Perbedaan Hoax di Zaman Nabi dan di Zaman Digital
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa hoax tidak hanya ada dan menjadi musibah sosial di zaman digital, namun juga di zaman Nabi Saw. Hoax di zaman Nabi Saw dan hoax di zaman digital memiliki persamaan dan perbedaan.
Persamaannya adalah: Pertama, Sama-sama mengandung tujuan tertentu. Baik di zaman Nabi Saw maupun di zaman digital, tujuan penyebaran hoax sama, yaitu untuk menyesatkan atau merugikan orang lain.
Kedua, Sama-sama mempunyai pola persebaran lewat komunikasi sosial. Hoax pada zaman Nabi Saw menyebar melalui percakapan lisan dalam kehidupan sosial, sedangkan di zaman digital, hoax menyebar melalui interaksi atau percakapan dalam kehidupan sosial dengan melalui saluran platform media sosial atau internet.
Ketiga, Sama-sama memiliki dampak negatif. Baik hoax di zaman Nabi Saw maupun hoax di zaman digital sama-sama dapat menyebabkan kerugian fatal, baik dalam hal kerugian finansial, keamanan, bahkan dapat memicu ketegangan sosial.
Adapun perbedaannya adalah: Pertama, Kecepatan penyebaran. Pada zaman digital, hoax berpotensi besar menyebar mencapai ribuan bahkan jutaan khalayak dengan sangat cepat. Hal ini tidak ditemukan pada hoax di zaman Nabi Saw yang relatif lambat dalam penyebarannya.
Kedua, Anonimitas. Pada zaman digital, penyebar hoax mendapatkan anonimitas yang lebih besar. Orang begitu mudah menyebarkan hoax tanpa terdeteksi atau teridentifikasi dengan mudah, karena dapat menggunakan akun palsu atau menyembunyikan identitas diri. Hal ini berbeda dengan di zaman Nabi Saw.
Cerdas Menghadapi Hoax
Tatkala kita telah menyadari apa itu hoax dan akibat buruk yang dibawanya, sudah saatnya kita budayakan kritis membaca setiap informasi. Baik itu informasi yang didapat secara lisan ke lisan sebagaimana terjadi pada zaman Nabi Saw, maupun informasi yang didapat secara online di ruang digital. Sikap kritis di sini berarti selalu hati-hati dan cerdas dalam membaca dan menyebarkan informasi. Setiap informasi yang datang kepada kita, harus dianalisa dengan cermat apakah itu informasi benar atau hoax? Setelah diyakini benar-benar meyakinkan kebenarannya, baru kita membuat kesimpulan atau meng-share informasi itu.
Siapa pun yang membudayakan kritis membaca informasi, dia akan selamat dari bahaya hoax. Siapa pun yang kritis membaca informasi, sesungguhnya dia telah ikut andil berjihad melawan penyebaran hoax yang dapat merugikan masyarakat luas.
***
*) Oleh : M. Gufran, Dosen Tetap Institut Agama Islam Hamzanwadi NW Lombok Timur.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |