
TIMESINDONESIA, SUMENEP – ”Cerita gurau perbedaan orang Jawa dengan orang Tionghoa. Orang Jawa ketika bertemu senantiasa bertanya: sampean waras? (sampean sehat?). sedangkan orang Tionghoa akan bertanya: sampean sudah cia? (sampean sudah makan?)”.
Berangkat dari cerita gurau di atas, saya ingin menulis pandangan kebangsaan KH. Abdurrahman Wahid tentang orang Tionghoa. Mengapa Tionghoa? Jawabnya karena dia sendiri adalah keturunan Tionghoa sekaligus diangkat sebagai bapak Tionghoa Indonesia.
Advertisement
Gus Dur adalah Jawa dan santri. Lahir di Denanyar Jawa Timur, 7 September 1940. Dari silsilahnya, Gus Dur adalah ketuturan Tan Kim Han (Abdul Qodir), keturunan Tionghoa-Achmad bin Isa-yang gugur melawan Majapahit. Makamnya terletak di Troloyo, Mojokerto. Abdul Qodir mempunyai anak bernama raden Rahmat Sunan Ampel, menurunkan Hadratussyaikh Hasyim Asyari kemudian KH. Wahid Hasyim, lalu Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gus Dur dan Tionghoa
Darah pejuang Presiden ke-4 ini banyak dipengaruhi ayah dan kakeknya. Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asyari adalah pendiri ormas Islam NU. Guru para kiai di tanah Jawa yang disegani Hindia Belanda. Kiprah perjuangannya melahirkan resolusi jihad. Sebuah seruan untuk mengusir penjajah dari Nusantara. Ayahnya, perumus UU, penasehat Jenderal Sudirman, juga panitia persiapan kemerdekaan RI.
Pandangan kebangsaan Gus Dur bersumber dari pemikirannya tentang agama Islam. Buah dari pemikiran keislaman yang universal dan toleran Gus Dur mengedepankan kepedulian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keterbukaan.
Hubungannya dengan Tionghoa bukan semata-mata hubungan darah keturunan melainkan hubungan kemanusiaan sebagai warga negara Indonesia. Gus Dur berpandangan setiap warga negara berhak mendapatkan kehidupan yang sejahtera, aman dan damai. Layaknya agama-agama lain yang secara resmi mendapatkan pengakuan dari negara.
Sebagai orang nomer satu di Indonesia Gus Dur memberikan teladan, bahwa perbedaan diantara kita adalah fitrah manusia. Keterbukaan atas perbedaan pendapat dan penentangan terhadap perpecahan adalah pemahaman keislaman Gus Dur yang merepresentasikan ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam sejarah tertulis, etnis Tionghoa mengalami ketertindasan sejak zaman kolonial Belanda. Belanda mengadu domba penduduk nusantara dan membagi menjadi tiga golongan; Eropa, Timur Asing (Tionghoa, India, Arab) dan Pribumi sehingga terjadi perpecahan dimana-mana yang mengakibatkan kelompok Tionghoa dikucilkan dan dibenci kelompok lain.
Huru-hara kerusuhan pun terjadi, pada tahun 1780 etnis Tionghoa di Batavia dibantai secara terang- terangan oleh Belanda. Ketuturunan Tionghoa dibatasi dalam berekspresi, dikucilkan dan dibenci kelompok masyarakat. Baru setelah Indonesia merdeka, pada masa orde baru keturunan Tionghoa sedikit mendapat perhatian dari pemerintah dalam bidang budaya dan ekonomi.
Kebebasan menjalankan ibadah sesuai keyakinan agama masing- masing adalah salah satu prinsip kehidupan umat manusia. Di era reformasi kepemimpinan Gus Dur, pemerintah mengeluarkan PP. No.6 tahun 2000 dan mencabut inpres no. 14 tahun 1967, yang berisi larangan bagi etnis Tionghoa dalam bentuk ekspresi apapun baik acara keagamaan dan adat secara umum.
Maka dengan kebijakan baru tersebut, tradisi, adat dan budaya etnis Tionghoa setara dengan warga negara lain sebagai warga negara Indonesia. Bagi Gus Dur, keadilan adalah kunci dalam membangun perdamaian. Karena perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.
***
*) Oleh : Sunarto Alubys, Pegiat literasi dan Dosen Inkadha Sumenep.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |