Kopi TIMES

Usulan Presiden Tentang Format Debat, Ini Respon Akademisi UB

Rabu, 10 Januari 2024 - 08:32 | 39.90k
Prof. Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Humas; Anggota Senat Akademik UB; Anggota Dewan Profesor UB.
Prof. Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Humas; Anggota Senat Akademik UB; Anggota Dewan Profesor UB.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pasti muncul pro kontra ketika Presiden "cawe-cawe" lagi dengan meminta KPU ubah format debat. Saya termasuk yang taksetuju.

Situasi Komunikasi Tidak Cocok

Pesan dan makna pesan komunikasi itu bersifat kontekstual. Dalam situasi atau konteks sekarang, yang sudah dipastikan bahwa Presiden sudah tidak netral, yakni secara jelas mendukung salah satu paslon. (Misalnya fotonya banyak terpampang di baliho capres dan salah satu parpol serta kasus MK), usulan Presiden ini makin memperkeruh suasana dan memperluas jurang perbedaan pilihan. 

Advertisement

Padahal mestinya presiden, sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, harus berdiri di semua kelompok. Usulan ini bisa memunculkan persepsi publik bahwa presiden kuatir nasib salah satu paslon, yang mendapat sentimen negatif terbanyak dan positif terendah pasca debat. 

Jika format diubah dalam situasi sekarang, kepercayaan publik terhadap presiden dan KPU makin rendah. Bisa pula memunculkan potensi kekacauan dalam pemilu nantinya.

Usulan presiden ini bermakna baik jika dikomunikasikan dalam situasi kenetralan presiden masih terjaga. Saat itu, publik masih percaya bahwa tidak ada hidden agenda dari pesan ini.

Debat Boleh Menyerang?

Sebagai media komunikasi, boleh saja menggunakan strategi menyerang dalam debat untuk mengangkat citra diri positif dan membangun citra negatif kepada lawan debat.

Tetapi, mesti dengan rasionalitas berbasis data dan mesti menghindari serangan personal. Misalnya, menyerang aspek fisik, ras-etnis, agama, dan merendahkan kehormatan. Termasuk kategori menyerang personal jika menggunakan kalimat merendahkan meski pesannya baik. Contoh serangan personal: "Saya punya data bahwa terdapat korupsi sebesar 7 T di saat bapak menjabat, tapi, bapak tidak tahu. Berarti ngapain saja bapak selama ini? Bapak tidak pantas menjabat" atau "Bapak harus belajar lagi".

Definisi Serangan Personal

Memang perlu diperjelas definisi serangan personal saat debat ini. Ini penting, karena capres memperebutkan jabatan publik dan apalagi jika salah satu capres adalah masih pejabat publik. 

Contoh: Pertama, Jika lawan menyerang dengan menyoal kepemilikan harta maka boleh karena  selain calon presiden (jabatan publik) capres lawan juga sedang menjabat jabatan publik.

Kedua, Jika ada dugaan selingkuh, maka lawan debat bisa minta klarifikasi, apa benar? Karena capres mestinya tidak boleh selingkuh. Hal ini bukan masalah personal, tapi moralitas pemimpin (ingat kasus capres AS tahun 1988 yang terfoto bersama foto model, dia langsung mundur dari capres).

Ketiga, Jika lawan menyerang dengan minta data, dan, ketika tidak mampu dijawab secara baik, lawan debat tersebut berkata: "saya kecewa ternyata bapak sebagai menteri tidak menguasai data padahal ini kesempatan menjelaskan kepada publik", maka ini bukan serangan personal. Hal ini adalah masalah public policy jabatan publik (menteri).

Yang penting, retorika itu harus logos (rasional berbasis data), pathos (kualitas kata-kata atau kalimat yang tidak merendahkan kehormatan, pesan mudah dipahami, pesan disampaikan secara indah) dan ethos (kapasitas personal, keterpercayaan)

Oleh: Prof Rachmat Kriyantono, Guru Besar Ilmu Humas; Anggota Senat Akademik UB; Anggota Dewan Profesor UB.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES