Skor Rendah PISA: Lelucon Pahit Negara Berkembang

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam odisea pendidikan, skor PISA menjadi peta bintang, membimbing kita melintasi epik peradaban di negara maju dan berkembang. Sebuah perjalanan yang melibatkan angka, namun menembus kedalaman sejarah.
Setelah pengumuman Rangking PISA 2022, semua negara partisipan yang berjumlah 81 negara, menelaah secara mendalam perolehan hasil PISA negara masing-masing. Kita tengah menyaksikan hiruk-pikuk bacaan hasil PISA. Seperti arkeolog pada reruntuhan kuno, yang menggali angka-angka untuk mengungkap teka-teki peradaban pendidikan.
Advertisement
Di negara maju, skor PISA seperti pelabuhan yang kokoh, mengarahkan kapal pendidikan mereka melalui badai globalisasi ilmu pengetahuan. Walaupun dihantam pandemi Covid 19, namun seperti tahun-tahun sebelumnya negara-negara maju tetap menduduki posisi-posisi teratas dan mengesankan dalam hasil tes PISA. Negara-negara itu seolah tidak mengalami efek Covid 19 dalam dunia pendidikan mereka.
Meskipun skor mereka juga menurun namun kenyataanya, standar OECD dalam tiga kemampuan dasar yang diukur, yaitu Matematika, Sains dan Membaca rata-rata negara maju tetap mencapai standar OECD itu, bahkan banyak negara maju yang melampaui standar tersebut. Seperti sebuah pola yang sudah selesai digambar, sudah dapat dipastikan bahwa negara-negara maju yang juga merupakan anggota tetap OECD tersebut selalu secara bergilir dari tahun ke tahun menduduki puncak tangga teratas hanya posisi rangking yang sedikit bergeser digantikan oleh negara-negara maju lainnya, namun tidak sampai terjerembab diperingkat bawah.
Di atas gelombang data, kita menyusuri alur sejarah pendidikan negara-negara maju yang membangun fondasi kejayaan. Kurikulum berkualitas, guru-guru yang melampaui batas, dan infrastruktur modern adalah tiang penopang epik pendidikan mereka. Kita menyaksikan bukan hanya angka, melainkan kisah tentang upaya kolektif untuk mencapai puncak ilmu pengetahuan. Negara mau dengan peradaban yang lebih dulu dibangun berabad-abad memperlihatkan bahwa mereka kukuh dan tidak tergantikan.
Sementara itu, di negara berkembang, pendidikan adalah titik awal dari setiap mimpi. Namun, skor PISA yang rendah seringkali menjadi batu loncatan yang menghantam mimpi-mimpi tersebut. Frustrasi tumbuh ketika prestasi dan potensi anak-anak diukur dengan angka-angka, dan mimpi-mimpi itu terkubur di dalam standar global. Meskipun ada beberapa yang naik peringkat, namun kebanyakan negara berkembang tetap mengisi posisi-posisi rangking terbawah dalam perhelatan internasional ini.
Dengan skor PISA yang selalu terpuruk, di panggung pendidikan dunia, negara-negara berkembang menemukan diri mereka terjebak dalam lelucon pahit yang tak kunjung usai. Sebuah lelucon yang diperankan oleh skor rendah seperti sebuah bayangan yang terus melayang dan menghantui kebanggaan nasional.
Bayangkan, di suatu tempat di ujung dunia, katakanlah di Paraguay, seorang siswa duduk di dalam kelas, mencoba memecahkan misteri matematika, memahami kompleksitas dunia sains, dan menembus makna dalam lembaran-lembaran kata di buku bacaannya. Dia tidak menyadari bahwa langkah-langkahnya, pertanyaan-pertanyaannya, dan kebingungannya tercermin dalam satu angka di sebuah laporan global yang membentang melintasi benua-benua.
PISA, seolah menjadi hakim dan juri, memutuskan nasib pendidikan negara-negara ini. Hasilnya diterjemahkan menjadi sebuah skor rendah, bukan hanya bagi para pemimpin dan pengambil kebijakan, tetapi juga untuk para pendidik dan tentu saja, para siswa yang dengan tekun berusaha meraih mimpi-mimpi mereka.
Sebagian dari kita mungkin bertanya-tanya, apa sebenarnya makna angka-angka ini? Bagaimana skor matematika atau membaca dapat mengukur kecerdasan seseorang, apalagi nasib sebuah bangsa? Namun, itulah ironi kejam lelucon PISA sebuah skala angka yang dihadirkan seperti ramalan nasib, tanpa mempertimbangkan kerumitan dan konteks dan tentu saja budaya yang menjadi kenyataan setiap harinya.
Bayangkanlah anak-anak di ditempat-tempat terpencil di muka Bumi yang diterpa oleh kekeringan pendidikan, tempat di mana buku-buku adalah barang mewah, dan kelas-kelas yang bersahaja menjadi arena pertempuran melawan kebodohan. Mereka tak menyadari bahwa PISA telah menetapkan standar yang mungkin tak mampu mereka gapai, tanpa memperhitungkan tantangan hidup sehari-hari yang seringkali melebihi soal-soal ujian yang rumit.
Kemudian, kita melangkah masuk ke dunia para pendidik di negara-negara itu, pahlawan tanpa tanda jasa yang setiap hari terlibat dalam pertarungan melawan minimnya sumber daya, kebijakan-kebijakan yang kadang tak masuk akal, dan harapan-harapan yang begitu besar namun jarang sejalan dengan realitas kelas-kelas yang terisi oleh mata-mata kecil penuh potensi.
PISA menjadi seperti bayangan yang tak terelakkan, mengingatkan para pendidik akan deretan skor yang tampaknya menentukan apakah upaya keras mereka telah membuahkan hasil atau hanya menjadi bahan tertawaan di panggung dunia. Bagi mereka, skor yang diumbar di seluruh dunia ini terasa pahit, karena seringkali upaya maksimal tidak dapat terukur dalam lembaran-lembaran soal yang dihasilkan dari meja-meja birokrasi internasional.
Dan bagaimana dengan para pemimpin negara berkembang? Mereka merasa tertekan oleh angka-angka ini, mencari cara untuk mendongkrak skor tanpa memahami sepenuhnya esensi pendidikan yang seharusnya menjadi pilar fondasi pembangunan. Mungkin terbersit di benak mereka, "Bagaimana caranya agar kita dapat diterima di atas panggung global ini?” Namun, seringkali langkah mereka menjadi terlalu terburu-buru, dan kebijakan-kebijakan pun diimplementasikan tanpa mempertimbangkan kearifan lokal dan realitas keseharian pendidikan.
Sementara itu, rangking PISA terus mencengkram realitas pendidikan suatu negara. Bukan hanya sebagai penilaian kinerja pendidikan, tetapi juga sebagai cermin kebijakan, peradaban, dan kehidupan masyarakat. Angka-angka itu menjadi prediksi tak terucapkan tentang masa depan, tanpa memberikan ruang bagi pertimbangan bahwa setiap anak memiliki keunikan dan setiap negara memiliki perjalanan sendiri.
Mungkin kita perlu merenung, apa sebenarnya yang ingin kita capai dalam pendidikan? Apakah hanya mencari pengakuan di panggung internasional ataukah menciptakan lingkungan belajar yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi setiap individu? Mungkin saatnya kita mengubah cara kita melihat rangking PISA ini. Bukan sebagai pengukur superioritas atau inferioritas, tetapi sebagai panggilan untuk merenungkan kembali nilai-nilai sejati pendidikan bangsa kita.
Dalam skor PISA yang nampak seperti lelucon pahit yang tak pernah usai untuk negara-negara yang berkarat di papan bawah puluhan tahun, sebaiknya kita melihat kembali pada hakikat pendidikan sebagai alat pemberdayaan, bukan sebagai kompetisi tanpa akhir. Bagaimana kita dapat menciptakan kisah-kisah keberhasilan yang tak terukur angka, di mana setiap anak dapat meraih potensinya, dan setiap negara dapat membangun masa depannya sendiri, tidak hanya menjadi skor dalam sebuah ukuran global.
***
*) Oleh: Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan, Penulis Buku dan Artikel Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |