Hadapi Tahun Politik dengan Kepemimpinan Profetik

TIMESINDONESIA, BLITAR – Telah difahami bersama tahun 2024 adalah tahun politik bagi masyarakat Indonesia. Dikarenakan pada 14 Februari 2024 akan dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) baik untuk memilih Presiden-Wakil Presiden dalam tataran eksekutif maupun legislator ditingkatan nasional, provinsi dan Kabupaten atau Kota.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) pemilihan legislatif akan diselenggarakan di 84 Daerah Pemilihan (Dapil) untuk 580 kursi DPR RI, 301 Dapil untuk 2732 kursi DPRD Provinsi dan 2710 Dapil untuk 20462 kursi DPRD Kabupaten atau Kota. Sebuah fenomena elektoral yang menarik untuk dikaji dalam sistem politik Indonesia hari ini.
Advertisement
Momentum Pemilu 2024 memiliki makna penting bagi peradaban Indonesia. Karena proses kontestasi kali ini diharapkan dapat mendorong percepatan transformasi kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik. Berbagai isu penting mulai dari pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, sistem pendidikan hingga isu lingkungan hidup menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Diperlukan kompetensi dan integritas yang mumpuni bagi setiap calon yang berkontestasi dalam meraup suara rakyat. Sehingga suara yang diraih tidak hanya dipandang sebagai keuntungan elektoral belaka, melainkan mandat moral yang harus dituntaskan.
Disamping itu, dinamika politik yang terjadi juga menyoroti berbagai catatan buruk kepemimpinan publik dengan harapan mengalami perbaikan kualitas pada masa mendatang. Menurut data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per Oktober 2023 telah terjadi tindak pidana korupsi sebanyak 85 kasus yang terjadi di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini tidak dapat diremehkan karena dapat menghambat kemajuan pembangunan bangsa.
Tak ayal Sayyed Husein Alatas, sosiolog Malaysia kelahiran Indonesia pada 1975 telah menulis buku berjudul “ Sosiologi Korupsi”. Hal ini menandakan bahwa korupsi bukanlah sesuatu yang sepele. Melainkan realita sosial yang kompleks bahkan dapat dijelaskan secara komprehensif dalam sebuah karya yang monumental.
Menyoroti hal tersebut diperlukan wacana alternatif dengan memahami makna dari kepemimpinan profetik yaitu wawasan kepemimpinan yang disarikan dari kepemimpinan para nabi. Lebih detail lagi Kuntowijoyo, sastrawan dan budayawan Indonesia mengenalkan konsep kepemimpinan profetik dengan tiga konsep dasar; humanisasi, liberasi dan transedensi.
Pertama, humanisasi adalah komitmen kepemimpinan harus didasari pada nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, liberasi yaitu misi pembebasan terhadap tindakan kemungkaran apapun yang menindas.Ketiga, transedensi yaitu keterhubungan antara pemimpin dengan nilai-nilai ketuhanan yang erat kaitannya dengan kualitas spiritual. Ketiga aspek inilah yang harus dipelajari oleh siapapun, terkhusus para aktor politik yang akan berkontestasi.
Humanisasi dapat diartikan sebagai misi kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh para Nabi dalam diskursus Keislaman. Setidaknya kita dapat memetik pelajaran dari kisah Nabi Muhammad SAW yang menyuapi pengemis buta yang memiliki kebiasaan menghina Nabi Muhammad SAW. Sebuah kisah yang menunjukkan bagaimana kedewasaan seorang pemimpin dalam memperlakukan rakyatnya, sekalipun mereka membencinya.
Liberasi sebagai misi pembebasan melawan kemungkaran adalah prinsip fundamental yang wajib dimiliki seorang pemimpin. Keteguhan sikap dalam mempertahankan nilai moral yang luhur dapat diresapi dari kisah perlawanan dan pengorbanan Sayyidina Husain beserta keluarga dan pengikutnya dalam Perang Karbala’ yang menginspirasi dunia hingga hari ini. Aktualisasi misi pembebasan pada diskursus politik kontemporer bertujuan untuk meneguhkan integritas seorang pemimpin dalam menegakkan keadilan pada setiap kebijakan contohnya.
Transedensi sebagai relasi antara hamba dengan Tuhannya menjadi keunikan tersendiri pada konsepsi kepemimpinan profetik. Spiritual Quotient (SQ) adalah istilah yang dapat disandingkan pada makna transedensi yaitu kecerdasan spiritual yang membantu seorang pemimpin untuk menebarkan energi positif pada tingkah lakunya yang didasari pada nilai-nilai Ketuhanan.
Makna transedensi terpotret pada prosesi sumpah jabatan dimana pejabat yang akan dilantik biasanya bersumpah kepada Tuhan dengan kitab sucinya masing-masing. Hal ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus mempertanggung jawabkan amanah yang diemban tidak hanya kepada rakyatnya, melainkan kepada Tuhannya.
Kontestan politik yang akan berlaga pada Pemilu 2024 nanti selayaknya dapat menyerap gagasan kepemimpinan profetik sebagai prinsip berfikir dan bertindak. Proyeksi kemajuan bangsa sangat bergantung pada kemampuan para pemimpinnya. Sebagai refleksi dari Frans Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Selamat berkontestasi dalam pesta demokrasi.
***
*) Oleh: M. Rizqi Surya W, Pekerja Sosial Dinas Sosial Kabupaten Blitar.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |