Kopi TIMES

Kebenaran, Bijaksana dan Pilpres 2024

Rabu, 17 Januari 2024 - 10:04 | 72.43k
Antono Wahyudi, Dosen Universitas Ma Chung.
Antono Wahyudi, Dosen Universitas Ma Chung.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pilpres tahun ini rasanya tidak sepanas di tahun 2019. Meskipun demikian, Pilpres saat ini juga tidak terasa dingin karena dipenuhi dengan meme-meme kocak yang muncul setelah ajang debat berlangsung. Fenomena tersebut tentu menarik untuk diperbincangkan. 

Agaknya, sebagian masyarakat cukup terhibur dengan fenomena tersebut bak angin segar yang berhembus di tengah gelombang panas yang terjadi di tahun peralihan ini. Meskipun ada juga yang terusik egonya untuk melawan dengan perspektif dan keyakinan atas kebenarannya. Terlepas dari itu semua, di dalam konteks Pilpres, soal kebenaran menjadi hal yang penting untuk dibicarakan.     

Advertisement

Kecenderungan masyarakat pada umumnya melihat Pilpres sebagai obyek penilaian. Cobalah tanyakan pada teman, tetangga, saudara sepupu, mahasiswa atau dosen anda, orang disebelah anda yang sedang menunggu kereta, atau orang-orang yang ada di group whatsapp anda tentang Pilpres, bagaimana debat para Paslon kemarin? Bagaimana persaingan Capres dan Cawapres periode ini? 

Barangkali satu atau dua orang memang akan mengatakan, “Ah, politik! Harapan saya masyarakat kita jangan sampai terpecah belah dengan Pilpres kali ini!”. Tetapi sebagian yang lainnya akan menggebu-gebu mempromosikan masing-masing Paslon. Tak ada angin dan tak ada hujan, tidak sedikit juga yang kemudian mempromosikan Paslon pilihannya dengan memperlihatkan kekurangan serta kelemahan Paslon lainnya. Kalau kita mengamati mereka melalui “kacamata elang”, disadari atau tidak, ketiga pendukung Paslon memiliki sikap yang sama. Sama-sama kekehnya!    

Wajar saja, karena pilihan (obyeknya) adalah para Capres dan Cawapres beserta lingkarannya masing-masing. Kalau kita lihat para pendukung dari masing-masing Paslon, dari Tim Sukses hingga masyarakat pendukungnya, tentu akan mengatakan kelebihan, kekuatan, serta hal-hal yang positif, dan begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, masyarakat menilai politik. Politik menjadi obyek penilaian.

Sayangnya, tidak sedikit yang kurang menyadari bahwa masyarakat juga perlu menilai dirinya sendiri di dalam menyikapi politik. Masyarakat perlu melihat dirinya sebagai “obyek”. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, “Apakah informasi yang saya dapatkan tentang Paslon pilihan saya atau bukan pilihan saya itu sudah pasti kebenarannya?”, “Dari mana saya bisa tahu bahwa informasi itu benar?”, “Adakah dan apakah persyaratan kebenaran?”. 

“Apakah sudah pasti kebenaran yang dikatakan orang di media sosial?”, “Apakah sudah pasti benar potongan-potongan video atau informasi yang saya terima?”, “Bagaimana saya bisa mengetahui kebenarannya?”, “Apakah kebenaran itu?” Sudah menjadi pengetahuan umum jika sesuatu yang salah kemudian dikatakan, disebar dan dibagi secara masif dan berulang-ulang tanpa disadari dapat menjadi sesuatu yang dianggap benar, meskipun sebenarnya salah. 

Ada banyak macam teori kebenaran yang agaknya belum banyak diketahui oleh masyarakat. Benar! Kebenaran ada teorinya, ada metodenya dan ada macam ragamnya. Masing-masing teori kebenaran bisa sangat bermanfaat jika dipelajari, dipahami, dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi jika berbicara soal politik praktis. Sayangnya, kurikulum pendidikan nasional kita belum menyentuh secara mendasar, utuh, dan menyeluruh terkait dengan diskursus kebenaran.

Persoalan inilah yang menjadi tantangan kita sebagai bangsa Indonesia, yaitu kesadaran di dalam berpikir kritis yang difondasikan pada kebijaksanaan. Tidak perlu jauh-jauh berbicara kebenaran dalam ranah politik. Lihatlah sekeliling anda! Andaikan anda mendengar sebuah pertengkaran hebat terjadi di sebelah rumah anda, bisakah anda mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi tanpa upaya apapun lantas hanya sekedar mendengarkan saja? Atau, bisakah kita percaya sepenuhnya omongan tetangga lain tentang pertengkaran mereka?  

Jika anda mendengar kabar bahwa tetangga anda bercerai lantaran ada orang ketiga, bisakah anda memutuskan siapa yang bersalah, suami atau istrinya? Kalaupun anda berhasil mengetahui siapa yang berselingkuh, bisakah anda sepenuhnya menyalahkan orang yang selingkuh tanpa memahami penyebab perselingkuhan itu terjadi? 

Intinya, persoalan yang dekat dengan kita sendiri saja sangat tidak mudah mengetahui kebenarannya, oleh sebab itu perlu berhati-hati di dalam mengambil kesimpulan, apalagi ketika berbicara soal politik praktis, dalam hal ini adalah Pilpres yang penuh dengan kompleksitas, absurditas, dan langkah strategis yang tidak terduga sama sekali. Jangankan kita sebagai rakyat, para politikus sendiri kerap dikagetkan dengan manuver politisi sejawatnya sendiri. 

Lantas, mungkinkah kita sebagai rakyat biasa dapat mengetahui kebenaran yang terjadi di dalam arena politik praktis? Tentu ada jalan atau metode di dalam mengetahui kebenaran politik praktis. Namun, jalan tersebut tidaklah mudah, butuh waktu, tenaga, dan sering kali diperlukan uang yang relatif tidak sedikit. Sebagai rakyat, sangatlah tidak bijak ketika data yang kita peroleh terkait politik hanya berdasarkan apa kata orang (siapapun dan apapun status orang itu!), berupa potongan video atau bahkan informasi yang kita dapatkan di media sosial serta berita dari sejumlah stasiun televisi.

Semua media dan bentuk informasi tersebut memang bisa benar, tetapi juga bisa salah. Tidakkah kita pernah belajar dari pengalaman Pilpres 2019 yang penuh dengan disinformasi? Tidakkah kita pernah belajar dari dampak yang timbul akibat kurangnya daya kritis kita terhadap fenomena hoax? 

Pertanyaan selanjutnya adalah ketika kita sulit mendapatkan kebenaran yang obyektif terhadap politik praktis, khususnya dalam hal ini Pilpres, apakah dengan demikian kita sebaiknya tidak memilih Paslon kita masing-masing? Jawabannya, tidak harus demikian. Kita tetap bisa memilih berdasarkan upaya kita untuk dapat mendekatkan diri pada kebenaran itu. Tentu upaya ini membutuhkan usaha dan waktu. Pertanyaan yang lebih penting sebenarnya adalah dengan kondisi yang demikian, sikap bijaksana seperti apa yang dapat kita lakukan saat ini? 

Pertama, belajar menyadari bahwa kebanaran obyektif di dalam politik, dalam hal ini adalah Pilpres, tidak dapat dengan mudah diketahui. Tahap pertama ini tentu tidak mudah diterima untuk sebagian orang. Anda perlu mengeluarkan sebagian air yang ada pada cangkir anda, sehingga dapat diisi oleh air yang baru. Anda perlu menangguhkan ego fanatisme anda terhadap Paslon anda, dan segera mengedepankan akal budi (logika dan rasionalitas) agar mampu mencerna kebenaran.   

Kedua, tidak menyebarkan informasi tentang Pilpres ketika tidak diminta, siapapun Paslonnya. Kecuali jika anda dapat mempertanggung-jawabkan informasi anda di dalam koridor kebenaran berdasarkan penelitian yang obyektif terhadap informasi yang anda sebarkan. Ingat! Mendapatkan kebenaran yang obyektif bukanlah semata apa kata orang, apa kata berita di media sosial maupun apa kata potongan video yang anda dapatkan dari group whatsapp sebelah. Tidak secepat, semudah, dan sedangkal itu ferguso!  

Ketiga, kalaupun anda tidak tahan membendung keinginan anda untuk menyebarkan informasi tentang Paslon favorit anda, minimal bersikaplah dengan mengedepankan kesadaran penuh bahwa informasi yang anda sebar belum tentu kebenarannya. Dengan demikian, potensi munculnya konflik menjadi sangat kecil. Toh, orang yang telah memilih Paslonnya tidak akan mudah berpaling ke Paslon lain bahkan jika anda mampu menunjukkan informasi yang obyektif sekalipun. Hal ini hanya justru akan menimbulkan amarah baru yang berlebih pada pendukung lain. Sungguh tidak bijak, bukan!?

Keempat, hormati dan hargai orang lain yang memiliki pilihan berbeda. Sebab, setiap orang dengan pilihannya masing-masing pasti memiliki informasi ataupun argumentasi yang diyakini lebih baik dari anda. Jika anda ingin berdiskusi tentang Pilpres, maka pilihlah orang-orang yang memiliki stabilitas emosional dan intelektual yang baik. Ini menjadi dialog yang sehat dan harapannya justru dapat memperluas masing-masing perspektif tentang dunia politik.

Kelima, berlatihlah untuk dapat selalu konsisten menerapkan empat langkah bijak tersebut. Suatu karakter tidak terjadi secara instan. Suatu perilaku dapat bertransformasi menjadi sebuah karakter bilamana terjadi proses pembiasaan yang berakhir pada kebiasaan. Kebiasaan inilah yang pada gilirannya menjadi sebuah karakter. 

Jika lima sikap bijak ini dapat diterapkan, anda justru akan menjadi orang yang terhormat. Sebab, dengan demikian, konflik sosial tidak terjadi. Sungguh, tidak mudah untuk mengetahui kebenaran yang ada pada teman kita, tetangga kita, saudara kita, rekan kerja kita. Apalagi mengetahui kebenaran yang “jauh” dari kita, yaitu pada masing-masing Paslon dan dunia politik pada umumnya. 

Dengan memahami apa itu kebenaran dan menerapkannya pada realitas kehidupan, Bangsa ini akan bertumbuh tidak hanya secara intelektual, tetapi juga spiritual. Bangsa ini akan menjadi rujukan dunia di dalam menerapkan demokrasi yang tidak hanya berkualitas secara prosedural, tetapi juga bijaksana secara substansial. Semoga Pilpres tahun ini tidak membawa gelombang panas yang dapat membakar dan menghanguskan semangat persatuan dan kesatuan manusia-manusia Indonesia.

***

*) Oleh : Antono Wahyudi, Dosen Universitas Ma Chung.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES