
TIMESINDONESIA, BANGKA BELITUNG – Masyarakat Melayu Belitung memiliki kebudayaan yang unik, salah satunya adalah tradisi budaya “Betare”. Secara semantik, makna kata “Betare” bersisian dengan kosakata “batara, batari, betarak, dan betaro” yang semuanya mengacu pada kepercayaan dan keyakinan mengenai hal gaib yang tak terjangkau oleh akal manusia. Namun, tradisi Betare ini tidak hanya berkaitan dengan hal spiritual, tetapi juga mencakup kehidupan sosial masyarakat Belitung. Tradisi ini masih dipertahankan hingga saat ini dan menjadi ciri khas masyarakat Belitung. Betare merupakan tuntunan adat untuk meminta restu atau izin pada orang yang dituakan dan memiliki wewenang, seperti kepala keluarga, kepala suku, atau kepala kampung.
Dalam kepercayaan masyarakat Belitung, melakukan tradisi Betare dianggap sebagai perilaku beradab dan bermartabat. Sebaliknya, ketika Betare tidak dilakukan, seseorang dianggap tidak beradab dan kurang bermartabat. Tradisi ini dipandang sebagai bagian dari pengetahuan yang meningkatkan norma kesopanan, terutama dalam memperoleh restu dan doa dari orang yang lebih tua.
Advertisement
Tradisi Betare juga terkait dengan nasehat dan pesan yang diberikan oleh orang yang dituakan. Sikap bermartabat tercermin dalam perlakuan anak kepada orang tua dengan penuh hormat. Ketika seseorang hendak berpergian jauh dari keluarga, Betare wajib dilakukan untuk meminta doa dan restu agar perjalanan dapat dilindungi dan sampai tujuan dengan selamat.
Dalam tradisi kepercayaan masyarakat Belitung, Betare dilakukan ketika seseorang hendak membuat rumah atau membuka ladang dengan mengadakan acara “Selametan”, yang merupakan ungkapan Betare atau meminta izin kepada dukun kampong sebagai kepala adat. Peran dukun kampong dalam memberikan doa ritual dan restu, disebut “Kesalan”, menjadi penting dalam perlindungan terhadap marabahaya bagi pemilik rumah yang ingin membangun rumah.
Fenomena tradisi budaya masyarakat Belitung telah dilakukan secara turun-temurun dan dilestarikan hingga saat ini. Tradisi ini merupakan adat istiadat yang menekankan nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum, dan aturan yang mengikat. Manusia dan kebudayaan saling mempengaruhi satu sama lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Menurut teori konstruksi sosial Peter L. Burger dan Lukman, proses sosial dan interaksi sosial dapat menciptakan realitas sosial. Dalam tradisi budaya Betare, interaksi individu membentuk kebiasaan dalam masyarakat Belitung. Proses konstruksi sosial ini terbentuk melalui eksternalisasi, objektivitas, dan internalisasi. Melalui tradisi Betare, interaksi antar individu membentuk nilai-nilai dan norma kesopanan dalam masyarakat Belitung.
Tradisi Betare yang dilakukan secara turun-temurun telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Belitung, membentuk karakter baik dan menghormati norma kesopanan. Meskipun mengalami perkembangan zaman, masyarakat Belitung masih menjaga tradisi ini karena dianggap penting dalam sikap hormat dan spiritualitas terhadap sang pencipta.
Tradisi Betare juga terikat pada tahapan objektivitas, di mana kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari realitas sosial harus tetap dilestarikan dan dijaga. Tradisi ini mengajarkan kebaikan dan memiliki nilai ikonik tradisional yang harus dilestarikan oleh masyarakat Belitung.
***
*) Oleh : Riyadus Soleha, Mahasiswi Jurusan Sosiologi, Universitas Bangka Belitung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |