Di Balik Jubah Hitam Lawyer: Antara Keadilan dan Kepentingan Klien

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Profesi seorang pengacara seringkali digambarkan dengan citra jubah hitam sebagai baju kebesaran profesinya yang khas, memberikan kesan ketegasan dan keberanian dalam menegakkan hukum. Namun, di balik penampilan toga advokat yang terkesan formal dan serius, terdapat kompleksitas dinamika yang mewarnai perjalanan seorang lawyer dalam menjalankan tugasnya.
Dalam menjalankan profesinya, seorang pengacara seringkali dihadapkan pada konflik etika antara mencari keadilan yang mutlak dan melindungi serta mewakili kepentingan klien. Mereka adalah penjaga hukum, tetapi juga penasehat yang harus memastikan bahwa hak-hak klien mereka tetap terlindungi. Faktanya dalam banyak perkara yang dihadapi seringkali seorang lawyer dihadapkan dengan dua pilihan yang berbeda, dalam satu sisi secara objektif dia harus menegakkan keadilan, di sisi yang lain lawyer harus memastikan bahwa kliennya tidak akan dirugikan.
Advertisement
Seberapa jauh seorang pengacara dapat mempertahankan integritas dan prinsip-prinsip keadilan tanpa mengorbankan kepentingan klien? Inilah satu dari banyak dilema yang mereka hadapi setiap hari. Kebijakan hukum yang adil mungkin bertentangan dengan kepentingan klien yang terkadang dapat meminta perlindungan di luar batas-batas moral atau etika.
Sehingga seringkali muncul pertanyaan di masyarakat, kadangkala lawyer membela masyarakat miskin, membela kebenaran, namun kenapa lawyer juga membela koruptor, pembunuh, penjahat, dan lain sebagainya? Pertanyaan-pertanyaan ini pasti selalu didapatkan oleh seorang lawyer dari manapun.
Pernyataan dari pengacara legendaris Indonesia Adnan Buyung Nasution barangkali dapat menjadi bahan untuk menjawab pertanyaan tersebut, beliau menyatakan “Semua acuannya adalah nilai-nilai kebenaran dan keadilan, dan nilai-nilai kebenaran serta keadilan itu milik semua, bukan hanya dimiliki rakyat kecil, bukan hanya milik pemerintah, siapapun punya hak untuk mendapatkan keadilan. Andai katapun hanya secercah keadilan yang ada pada seseorang, harus saya bela, bahkan tidak ada kebenarannya pun sama sekali salah, toh orang itu masih berhak mendapatkan pendampingan supaya proses hukumnya dia mendapatkan proses hukum yang adil”.
Melihat pernyataan tersebut, semua dikembalikan pada prinsip-prinsip keadilan, sehingga pada saat pengacara membela seorang koruptor, yang dia bela bukanlah perbuatan korupsinya melainkan hak-haknya untuk mendapatkan proses hukum yang adil dan tidak memihak sehingga kebenaran dapat benar-benar terbuka.
Selain itu, pengacara tidak diperbolehkan untuk menolak perkara atau calon klien yang meminta bantuannya dalam perkara apapun yang berkaitan dengan hukum. Hal ini jelas sebagai kode etik semua pengacara di Indonesia, dimana dalam salah satu sumpah yang dinyatakan oleh Advokat berdasarkan Pasal 4 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa advokat berkomitmen untuk tidak menolak tugas pembelaan atau pemberian jasa hukum dalam suatu perkara, sepanjang menurut pandangan advokat tersebut, hal tersebut merupakan bagian dari tanggung jawab profesional sebagai seorang advokat.
Sejalan dengan itu Pasal 56 Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur bahwa Jika tersangka diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman minimal 5 tahun atau lebih, maka dalam pemeriksaan wajib didampingi oleh penasehat hukum. Kehadiran seorang penasihat hukum dalam hal tersebut untuk menjamin bahwa Integrated Criminal Justice System dengan prinsip due proces of law atau Miranda Rule, dapat berjalan sebagaimana mestinya, artinya si tersangka mendapatkan jaminan bahwa tidak disiksa dalam penjara, mendapatkan hak untuk menyampaikan pembelaan dan pembuktiannya serta proses hukum lainnya agar dapat benar-benar berjalan secara adil dan seimbang atau tidak berpihak.
Ruang sidang menjadi panggung dimana seorang pengacara menampilkan keterampilan mereka. Proses hukum yang panjang dan kompleks seringkali menciptakan tekanan tinggi, dan di sinilah seni dan keterampilan seorang pengacara diuji. Dalam upaya untuk mencapai keadilan, mereka harus mampu meyakinkan hakim dan juri tentang dalil hukum mereka. Namun, sekaligus, mereka juga harus membangun dalil atau fundamentum patendi yang kuat untuk melindungi kepentingan klien. Inilah momen di mana jubah hitam menjadi simbol keteguhan dan ketangguhan, sekaligus beban moral yang harus dipikul oleh seorang pengacara.
***
*) Oleh : Diyaul Hakki, S.H., C.CL., Praktisi Hukum.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |