
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Membaca Indonesia saat ini hingga lima-sepuluh tahun ke depan, seperti banyak kita dengar belakangan, akan ada satu momen langka kependudukan yang disebut bonus demografi. Bonus demografi (demographic dividend) adalah peluang suatu negara yang dihasilkan dari tingginya proporsi penduduk produktif (usia 15–64 tahun). Kondisi ini menguntungkan karena dukungan ekonomi yang harus diberikan penduduk usia produktif kepada penduduk usia nonproduktif (beban ketergantungan) menjadi lebih ringan.
Dilansir Databoks, Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung jumlah penduduk usia produktif mencapai 186,77 juta jiwa pada 2020 silam. Berbeda dengan dekade sebelumnya, BPS memproyeksikan penambahan angka penduduk usia produktif hampir menyentuh 10 juta pada 2025 dengan jumlah berkisar 196,13 juta jiwa.
Advertisement
Mengkaji bonus demografi, tak lengkap rasanya jika belum menyertakan analisis studi generasi. Data terakhir Sensus Penduduk 2020 menunjukkan dominansi Generasi Z dalam komposisi demografi dengan persentase 27,94% alias kurang lebih 74,93 dari 270,2 juta jiwa penduduk Indonesia. Fakta ini kian menambah kabar gembira berkenaan bonus demografi.
Bagaimana tidak? telah banyak pakar mengidentifikasi karakter potensial mereka, sebut saja istilah digital native (pribumi digital) dan internet generation (generasi internet). Belum lagi karakter perilaku (behavior)nya, seperti mencari jati diri (undefined ID), inklusif (communaholic), cakap berkomunikasi (dialoguer), dan realistis (realistic). Beragam karakter ini sedikit banyak terbentuk secara alami akibat respon terhadap zamannya yang serba digital.
Terlepas dari karakter negatif imbas zaman seperti serba instan dan rawan gangguan mental, eksistensi Generasi Z di tengah santernya bonus demografi harus dimanfaat-optimalkan dalam segala bidang. Akan tiba masanya saat mereka menguasai ranah industri, medan-medan bisnis, organisasi, bahkan pemerintahan sekalipun.
Menarik kita tunggu bagaimana pendidikan, lingkungan, kesehatan, keamanan, hingga teknologi informasi-komunikasi mereka transformasi besar-besaran 2030 mendatang. Pertanyaan besarnya sekarang, jika potensinya digadang-gadang akan mencipta banyak perubahan, lalu ke mana arah pembangunan nantinya mereka bawa?
Pertanyaan di atas adalah satu di antara teka-teki gagasan besar pendiri bangsa di awal kemerdekaan. Perihal arah gerak, pandangan, cita-cita luhur, dan falsafah negara, bukankah semua itu adalah fungsi Pancasila? Ambisi kita tak pernah ciut ketika ditanya pembangunan, memang begitu seharusnya, tapi sekali lagi yang jarang kita renungkan adalah tujuan akhir apa yang sebenarnya kita inginkan? Andaikata sumber daya besar-besaran termasuk Generasi Z telah ada di depan mata, akankah semuanya sekadar kita gunakan untuk memenuhi nafsu industrialisasi dan menang-menangan teknologi seperti yang sedang Dunia Barat lakukan? Tentu tidak se-percuma itu.
Pemahaman yang ingin saya tekankan di sini bukan tidak bolehnya belajar dari peradaban barat, tentu itu amat penting kita lakukan. Lompatan besar Revolusi Industri 4.0 telah membuat peradaban mereka memimpin dunia selama 3-4 abad hingga sekarang. Diakui atau tidak, nyatanya jarak ketertinggalan (gap) kita dengan mereka sudah sedemikian jauhnya. Akan tetapi, tagline “mengejar ketertinggalan” tidak serta-merta kita definisikan sebagai pencontohan persis terhadap barat. Sebagaimana Eropa-Amerika, Indonesia juga punya jalur peradabannya sendiri dan titik awal (starting point)nya terletak pada falsafah negara.
Kembali pada bonus demografi. Kepemimpinan Generasi Z terhadap pembangunan nantinya harus diselaraskan dengan cita-cita luhur bangsa: Pancasila. Meski teknologi kita sudah menyamai Eropa, bukan kemajuan namanya jika ideologi bangsa malah hanyut terbawa. Meski ekonomi kita selevel Amerika, bukan kemajuan namanya jika kearifan lokal perlahan pudar atau kebhinekaan menjadi korban. Visi bersama Indonesia Emas berarti Pancasila Emas juga, bukan westernisasi yang di emas-emaskan. Menjelang tulang punggung pembangunan, generasi muda harus mantap wawasan nusantaranya. Paham bagaimana cara berpikir dan bertindak sebagai warga negara yang mementingkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi-golongan.
Sekali lagi, bonus demografi meniscayakan percepatan pembangunan segala bidang. Sementara dunia internasional terus berkompetisi tanpa henti. Dua arus besar internal-eksternal ini harus disikapi dengan bijak. “Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli,” begitu kata Sunan Kalijaga yang berarti “menyesuaikan aliran air, mengikuti arus, tetapi tidak hanyut.” Apa pun megatren dunia saat ini, tetap kita ikuti perkembangannya. Namun, jangan pernah lupa pada kekayaan nilai-nilai luhur bangsa.
Filosofi Nusantara yang selama ini kita pelajari tak lebih dari batas permukaannya saja. Generasi Z dengan pelbagai fasilitas zamannya harus mampu mencapai mutiara terdalamnya. 2045 nanti, kita hanya ingin Pancasila panjang umurnya, luas implementasinya, hingga jaya mendunia. Kalau generasi mudanya tidak berperan, akankah Pancasila Emas 2045 tragis sekadar wacana?
***
*) Oleh : Hizkil Achmad Dayan, Anggota Ekstrakurikuler Jurnalistik MAN 1 Banyuwangi dan PR IPNU Pondoknongko.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |