Kopi TIMES

Polemik Disparitas Hukum Pernikahan Beda Agama

Sabtu, 20 Januari 2024 - 12:17 | 46.52k
Abdul Manan, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
Abdul Manan, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia, sebagai negara yang pluralistik, dibangun atas keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Salah satu aspek krusial dari pluralisme masyarakat Indonesia adalah keragaman agama yang dianut oleh penduduknya. Agama dan aliran kepercayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia tidaklah monolitik, namun heterogen. Pemerintah Indonesia telah mengakui enam agama utama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. 

Keragaman agama dan aliran kepercayaan ini memiliki implikasi dalam konteks perkawinan antara pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang berbeda. Meskipun perkawinan beda agama bukan fenomena baru dan telah ada sejak zaman dahulu, namun tetap menjadi sumber kontroversi di kalangan masyarakat karena ketidakpastian dalam norma yang mengatur keabsahan perkawinan beda agama.

Advertisement

Indonesia telah menetapkan dasar hukum mengenai perkawinan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 ayat (1) secara tegas menyatakan: “Suatu perkawinan dianggap sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum agama masing-masing dan keyakinannya”. Di samping itu, dalam pasal 8 huruf (f) dari Undang-Undang tersebut, disebutkan bahwa "pernikahan dilarang antara dua orang yang memiliki hubungan yang dilarang untuk menikah menurut agama atau peraturan lain yang berlaku."

Namun, sejak disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, timbul konflik hukum terkait perkawinan beda agama. Pasal 35 huruf a dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan membuka peluang pengakuan perkawinan beda agama yang jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan beda agama tidak sah di mata agama dan negara. 

Dampak dari pertentangan ini adalah disparitas di antara hakim dalam memutuskan permohonan perkawinan beda agama. Beberapa hakim menolak permohonan tersebut, sementara yang lain mengabulkannya. Ketidakpastian hukum ini akan terus berkembang jika masalah multi tafsir ini tidak diatasi.

Mahkamah Agung merespons persoalan ini dengan menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No. 2 Tahun 2023 pada 17 Juli 2023, yang memberikan petunjuk kepada hakim dalam menangani perkara pencatatan pernikahan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan. Hal tersebut menegaskan dua poin utama: Pertama, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua, pengadilan tidak mengabulkan Permohonan Pencatatan perkawinan antar-umat berbeda agama dan kepercayaan.

Meskipun hanya berlaku dalam ranah peradilan, undang-undang tetap menjadi hukum tertinggi. Hal itu tidak memiliki wewenang untuk mencabut pasal-pasal dalam UU Administrasi Kependudukan, melainkan hanya produk hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Oleh karena itu, terbitnya masih terbaru secara otomatis mencabut Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986.

Untuk mengembalikan prinsip lex specialis pada UUP, yang selama ini mengatur perkawinan dengan berlandaskan pada norma-norma agama. Meskipun kebijakan tidak memiliki dampak langsung secara hukum, namun memiliki relevansi terhadap administrasi negara. Pelaksanaan ketentuan ini pertama kali dilakukan oleh badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, namun tidak bersifat umum bagi masyarakat.

Diharapkan pemerintah akan serius menyelesaikan polemik perkawinan beda agama dengan melakukan pembaharuan pada pasal-pasal dalam Undang-undang untuk menghindari multi tafsir dan penyalahgunaan hukum. Sudah waktunya membahas pernikahan di Indonesia menjadi prioritas dalam proses legislasi. Pengaturan ini seharusnya tidak hanya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung, tetapi perlu ditegaskan dalam sebuah Undang-undang. Negara perlu memiliki program untuk menyelaraskan kembali konsep pernikahan dan pencatatan pernikahan, mencapai sinkronisasi dengan seluruh peraturan perundang-undangan terkait.

***

*) Oleh: Abdul Manan, Mahasiswa Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES