Tobat Ekologis, Karena Alam Kita Tidak Baik-Baik Saja

TIMESINDONESIA, MALANG – Tobat ekologis pertama dicetuskan oleh Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato Si pada 24 Mei 2015. Pada surat dari Paus ini, tertulis prinsip-prinsip teologi tentang tanggung jawab lingkungan yang dilakukan untuk mengatasi krisis ekologi.
Laudato Si bisa juga diartikan sebagai transformasi hati dan pikiran menuju cinta yang lebih besar terhadap Tuhan, sesama, dan ciptaan. Ini adalah sebuah proses untuk mengakui kontribusi kita terhadap krisis sosial dan ekologi dan bertindak dengan cara yang memelihara persekutuan: menyembuhkan dan memperbaiki rumah bersama, seperti dilansir dari laman Laudato Si Movement.
Advertisement
Tobat ekologis adalah sebuah proses untuk mengakui kontribusi kita terhadap krisis sosial dan ekologi dan bertindak dengan cara yang memelihara persekutuan: menyembuhkan dan memperbaiki rumah bersama, seperti dilansir dari laman Laudato Si MovementMenurut laman Gereja Katolik St. Timothy, Arizona, Paus Fransiskus menuliskan di awal dokumen bahwa target audiensnya bukan hanya umat Katolik atau Kristen, tetapi semua orang. Terdapat tujuh tujuan dari Laudato Si, yaitu:
1. Tanggapan terhadap tangis Bumi
2. Menjawab tangis orang miskin
3. Ekonomi ekologi
4. Penerapan gaya hidup sederhana
5. Pendidikan ekologi
6. Spiritualitas ekologi
7. Keterlibatan masyarakat dan tindakan partisipatif
Gerakan-gerakan di atas, dapat dianggap sebagai pertobatan ekologis setelah manusia sudah lama melakukan dosa ke Bumi. Laudato Si atau Tobat Ekologis dimulai untuk membuat Bumi menjadi tempat tinggal yang lebih baik.
"Mengenal Tobat Ekologis, Istilah Peduli Lingkungan dari Paus Fransiskus" Indonesia dan dunia hari ini memang tidak sedang baik-baik saja. Ada tiga krisis yang saat ini mengancam, yakni: krisis iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity loss).
Situasi itu membutuhkan respons cepat. Banyak ahli berpandangan jika tidak ada perubahan mendasar yang dilakukan umat manusia, pada 2050 nanti anak-anak muda, terutama milenial dan gen Z, akan menghadapi beragam bencana ekologis.
Di sini diperlukan perubahan mendasar bagi kebijakan dan tata kelola,yang didasarkan pada prinsip keadilan, baik keadilan sosial, keadilan ekologis, keadilan iklim, maupun keadialan antargenerasi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Mencermati debat ke 4 Cawapres 2024 ada yang menarik ketika paslon menyinggung Ketidakseriusan pemerintah dalam menghadapi krisis ekologis juga tampak dari berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan secara serampangan.
Pemerintah tetap ngotot bakal meneruskan program pengadaan pangan food estate. Program yang digadang-gadang jadi sumber pengadaan pangan nasional itu ternyata justru memicu persoalan baru, seperti pembukaan lahan hutan (deforestasi), pengabaian masyarakat adat, hingga memicu konflik agraria.
Perubahan merupakan inti dari pertaubatan. Menyadari segala kekurangan dan kesalahan lalu berkomitmen memperbaikinya. Maka itu, perubahan paradigma dan kebijakan arah pembangunan agar selaras dan seimbang dengan lingkungan ini merupakan aksi nyata dari pertaubatan ekologis yang diserukan Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi umat Katolik itu memberikan ilustrasi sederhana bahwa bumi dan alam semesta ialah ibu yang menyediakan semua kebutuhan manusia.
Tanaman, hewan, dan makhluk hidup atau mati di alam semesta ini ialah saudara bagi umat manusia. Maka itu, umat manusia wajib hukumnya untuk tidak sekadar mengakui keberadaan mereka, tetapi juga wajib merawat alam semesta ini.
Paus Fransiskus menegaskan bahwa bumi dan alam semesta sebagai rumah bersama. Bagi kami, taubat ekologis harus dimulai dengan penegakan etika lingkungan. Pembangunan harus dilaksanakan dengan kajian matang. Kajian dari sisi kemanfaatan, kesuaian dengan regulasi perundangan, pandangan ilmuwan, hingga persetujuan dari publik tidak boleh lagi ditinggalkan. Pembangunan tidak boleh lagi dilakukan secara ugal-ugalan.
Pertobatan ekologis selanjutnya menyampaikan ajakan agar umat manusia proaktif merawat alam semesta. Ini dimulai dari hal-hal yang kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan yang akan mengotori saudara tanah dan merusak saudari pepohonan.
Sebaliknya manusia diajak merawat saudari tumbuhan dan tanaman, membiarkan saudari air dapat meresap ke dalam bumi, atau mengalir dengan lancar di sungai-sungai sehingga tidak menggerus bukit dan menyebabkan longsor, tidak menggerus perumahan, dan merendam kota.
Tidak sedikit pendapat yang mengatakan bahwa ajakan semacam itu sangat terlambat sebagaimana sebenarnya telah disadari dan dilakukan oleh para leluhur lewat kearifan-kearifan lokal yang mereka miliki. Mereka sungguh bertakwa dengan cara dan keyakinan mereka melalui pemeliharaan lingkungan hidup.
Mereka tidak khawatir akan apa yang akan mereka makan dan minum. Dan, yang pasti, mereka tidak serakah untuk memperoleh banyak harta-milik, karena alam semesta bukan untuk dimiliki melainkan dijaga dan dirawat. Pesan Paskah dan Pertobatan Ekologis, dengan demikian, mengajak umat manusia agar bangkit dan menjalani hidup yang bersaudara dengan alam semesta dan sebagai rumah bersama, baik bagi yang kaya maupun yang miskin, tidak peduli apa pun identitas primordialnya.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |