
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Indonesia kembali menggelar hajatan demokrasi besar-besaran pada 14 Februari 2024 kelak. Setelah satu dekade menahkodai negeri ini, Joko “Jokowi” Widodo akhirnya tiba di penghujung masanya sebagai orang nomor satu di republik. Adapun kandidat penggantinya antara lain: Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo.
Dalam pemilihan presiden kali ini, rakyat disuguhkan banyak atraksi menarik. Dibandingkan pilpres-pilpres sebelumnya yang penuh akan politik identitas dan black campaign, pilpres kali ini relatif lebih sejuk dan menawarkan hal-hal segar bagi langit demokrasi negeri.
Advertisement
Pada kenyataannya, pilpres yang diikuti lebih dari dua calon meminimalisir adanya polarisasi di tengah masyarakat. Selain itu, kenyataan bahwa generasi muda (gen z dan milenial) mendominasi total pemilih pada pergelaran pilpres kali ini membuat tim masing-masing paslon berpikir keras untuk mensosialisasikan calon yang didukungnya.
Salah satu yang paling menarik dan ikonik dari pilpres kali ini datang dari calon presiden nomor urut satu, Anies Baswedan. Jika pada pergelaran pilpres sebelumnya penuh dengan aktivitas kampanye satu arah yang membosankan, maka kali ini Anies dan tim datang dengan tawaran yang lebih fresh.
Adalah Desak Anies, program kampanye berupa segmen tanya-jawab antara Anies dan masyarakat umum. Tak hanya bertanya, masyarakat yang datang juga dipersilahkan untuk menyampaikan kritik mulai dari gagasan, program, hingga sentimen negatif tentang dirinya.
Sebelum pembaca berhenti karena berasumsi tulisan ini adalah kampanye dari pendukung Anies Baswedan, izinkan penulis menyampaikan disclaimer. Penulis (sampai saat tulisan ini ditulis) masih memposisikan diri sebagai swing voters yang kesulitan dalam menentukan pilihan.
Pertama, tulisan ini semata-mata ditulis karena penulis takjub dengan program kampanye Anies Baswedan. Kedua, tulisan ini secara objektif membahas hubungan demokrasi deliberatif ala Anies Baswedan dan fenomena kakistrokasi.
Selain Anies Baswedan, capres Ganjar Pranowo juga menjalankan hal senada. Ganjar datang dengan Demokrasi. Memiliki konsep yang sama dengan Desak Anies, Demokrasi membuka ruang dialog dengan diskusi ringan dan diselingi celotehan-celotehan jenaka. Namun, secara intensitas, Desak Anies lebih sering digencarkan. Mungkin sebab program safari politik yang satu ini memang menjadi ujung tombak kampanye bagi Anies dan timnya.
Melalui program ini, Anies Baswedan mengenalkan demokrasi deliberatif. Deliberasi berasal dari Bahasa latin deliberatio, yang berarti konsultasi, menimbang-nimbang, atau musyawarah.
Demokrasi deliberatif menekankan pentingnya diskursus publik dalam proses mencari kebenaran berdasarkan fakta-fakta. Kebijakan pemerintah seyogyanya diuji lewat proses konsultasi publik yang dibuka seluas-luasnya. Pada akhirnya, terbukanya konsultasi publik membuat partisipasi publik dalam masyarakat meningkat.
Menurut Jurgen Habermas, demokrasi deliberatif memungkinkan negara tak lagi menentukan hukum ataupun kebijakan politik dalam ruang-ruang tertutup. Masyarakat, media, hingga organisasi-organisasi memainkan peran besar dalam proses pembentukan hukum maupun kebijakan.
Demokrasi di Indonesia selama ini terpaku pada demokrasi representatif, dimana masyarakat mengutus wakil sebagai perwakilannya dalam pengambilan keputusan. Partisipasi masyarakat dalam demokrasi sebatas memilih wakil (misalnya anggota parlemen atau presiden) di pemilu. Wakil yang dipilih kemudian akan bertindak atas nama masyarakat dalam pengambilan keputusan maupun penentuan kebijakan.
Tak jarang politikus-politikus mengambil jalan yang relatif singkat dalam masa kampanye, mulai dari gimik-gimik receh, sentilan-sentilan dengan sentimen negatif, menggencarkan kampanye kebencian, hingga sekadar memasifkan penyaluran bansos.
Adalah benar, bahwa kampanye merupakan masa-masa dimana para kandidat memanfaatkan segala celah dan momentum yang ada untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya. Tiap calon memiliki gimik dan atraksi yang beragam, begitupun dengan Anies.
Namun perlu ditekankan, tak setiap calon pemimpin siap dengan apa yang akan ia dengar dari masyarakat langsung. Diskursus publik yang tumbuh dalam forum Desak Anies hari ini merupakan bukti konsistensi Anies Baswedan dalam implementasi demokrasi deliberatif.
Pada akhirnya, pemimpin yang lahir dari mekanisme kampanye kebencian dan gimik-gimik berlebihan hanya akan menuntun kita pada Kakistokrasi, atau pemerintahan yang dipimpin oleh warga negara paling buruk, paling tidak memiliki kualifikasi untuk memimpin.
Kakistokrasi muncul pertama kali pada tahun 1829 dalam buku karya penyair Inggris, Thomas Love Peacock. Namun, dalam konteks politik, penyair asal Amerika James Russell Lowell mengenalkannya dalam sebuah surat:
“What fills me with doubt and dismay is the degradation of the moral tone. Is it or is it not a result of democracy? Is ours a “government of the people, by the people, for the people,” or a Kakistocracy, rather for the benefit of knaves at the cost of fools?“
Istilah ini dipopulerkan lagi oleh mantan petinggi CIA, John Brennan lewat cuitan di Twitter:
“Your kakistocracy is collapsing after its lamentable journey. As the greatest Nation history has known, we have the opportunity to emerge from this nightmare stronger & more committed to ensuring a better life for all Americans, including those you have so tragically deceived.”
Dewasa ini, kita sebagai masyarakat kian terperangah dengan tindak-tanduk pemerintah yang sulit untuk dicerna. Misal, siapa yang bisa lupa dengan saat Presiden Jokowi menghindari pertanyaan wartawan tentang peristiwa Kanjuruhan? Atau kala Presiden Jokowi menggencarkan kegiatan di pusat tourism yang mengalami penurunan di tengah-tengah Covid-19? Atau yang terbaru, saat dengan tegasnya Presiden Jokowi sampaikan bahwa presiden diperbolehkan berkampanye.
Lewat program kampanye yang dialogis, Anies menunjukkan bagaimana demokrasi seharusnya dijalankan. Terlepas dari akankah seorang Anies Baswedan menepati janji-janjinya jika terpilih kelak, beliau dalam kampanye kali ini berhasil mendobrak tren kampanye kuno yang identik dengan percakapan satu arah atau pidato selama berjam-jam.
Demokrasi deliberatif dalam proses kampanye membuka peluang sebesar-sebesarnya agar rakyat dapat berinteraksi, menyampaikan kegelisahan, sebelum kemudian menilai calon pemimpin seperti apa yang ideal untuk memimpin negeri ini. Toh pada kenyataannya, format debat yang digagas KPU tidak sepenuhnya mampu menjawab apalagi meyakinkan pemilih.
Demokrasi deliberatif bukanlah tentang kalah-menang, melainkan perjalanan demokrasi yang percaya pada diskursus yang berkembang di tengah masyarakat. Pemerintah yang tidak melibatkan intervensi langsung dari masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan tak dapat disebut perwujudan dari demokrasi delibaeratif, meskipun kebijakan yang dilahirkan dinilai pro-rakyat.
Mengutip Yudi Latif, keputusan dalam prinsip musyawarah-mufakat tidak didikte oleh mayoritas (mayorokrasi) atau kekuatan minoritas para elit dan pihak pengusaha (minorokrasi), namun dipimpin oleh hikmah-kebijaksanaan yang memuliakan daya rasionalitas deliberatif dan kearifan setiap warga negara.
***
*) Oleh : Rivyan Bomantara, Media Analyst di Indonesia Indicator.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Satria Bagus |