Kopi TIMES

Menguji Konsep Pendidikan Paulo Freire Pada Guru Indonesia

Rabu, 14 Februari 2024 - 07:21 | 55.91k
Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan dan Kolumnis.
Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan dan Kolumnis.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam peta peradaban pendidikan, nama Paulo Freire bersinar sebagai pionir dan pelopor revolusi pemikiran pendidikan. Kontribusinya yang monumental dalam membentuk pandangan tentang pendidikan yang membebaskan tidak hanya menciptakan jejak, tetapi juga meninggalkan warisan pemikiran yang menginspirasi para pendidik dan pemikir di seluruh dunia.

Paulo Freire memandang pendidikan sebagai jalan menuju pembebasan pikiran dan tindakan. Pemikirannya melampaui batas-batas konvensional, menghadirkan visi pendidikan yang lebih dari sekadar mentransfer pengetahuan. Dalam pandangan Freire, pendidikan adalah alat untuk membentuk agen perubahan, individu yang tidak hanya memiliki pengetahuan tetapi juga kesadaran kritis terhadap realitas sosial dan keinginan kuat untuk menciptakan perubahan positif.

Advertisement

Filsuf dan pendidik asal Brazil, menandai sejarah pendidikan dengan pandangan revolusionernya mengenai pendidikan yang membebaskan. Konsepnya, dikenal sebagai "Pendidikan Pembebasan," bukan sekadar teori, tetapi sebuah panggilan untuk mengubah paradigma pendidikan yang konvensional menjadi suatu bentuk yang lebih demokratis, inklusif, dan memberdayakan.

Pendidikan ala Paulo Freire bukanlah pengalaman pasif dimana siswa diberi tugas untuk menerima informasi. Ia mengajarkan bahwa pendidikan seharusnya menjadi dialog saling menghargai antara guru dan siswa. Dalam ruang kelas yang membebaskan, guru tidak hanya mentransfer pengetahuan; mereka juga belajar dari siswa. Ini adalah pertukaran saling memberdayakan dimana setiap individu memiliki suara yang dihargai.

Konsep "kesadaran kritis" menjadi pondasi utama dalam pemikiran Freire. Siswa tidak hanya diajarkan untuk mengingat fakta dan rumus; mereka juga didorong untuk memahami dunia mereka secara kritis. Kesadaran kritis mencakup kemampuan untuk melihat lebih dari sekadar permukaan, untuk mempertanyakan ketidaksetaraan, dan untuk mengidentifikasi struktur kekuasaan yang mungkin menindas.

Pentingnya dialog dan partisipasi aktif dalam proses pembelajaran juga menciptakan lingkungan yang merangsang pemikiran kritis. Siswa diajak untuk mempertanyakan, menantang, dan berkontribusi terhadap pembelajaran bersama. Guru tidak bertindak sebagai otoritas mutlak; mereka adalah fasilitator diskusi yang menggali ide dan perspektif beragam.

Pendidikan yang membebaskan ala Freire tidak terbatas pada ruang kelas. Freire memandang pendidikan sebagai instrumen perubahan sosial. Ia menekankan bahwa pendidikan harus menciptakan agen perubahan, individu yang memiliki keinginan dan kemampuan untuk menciptakan perubahan positif dalam masyarakat. Inilah mengapa pembelajaran tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga melibatkan pengalaman di luar kelas, menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata.

Konteks sosial dan budaya sangat penting dalam pendidikan yang membebaskan. Freire menolak pendekatan yang mengabaikan keberagaman dan realitas lokal siswa. Kurikulumnya mencerminkan keberagaman budaya, bahasa, dan tradisi, menjadikan siswa merasa terhubung dengan apa yang mereka pelajari. Ini adalah langkah menuju menghilangkan pemisahan antara kehidupan di dalam dan di luar kelas.

Namun, perubahan ini bukanlah tugas yang mudah. Freire menyadari bahwa menerapkan pendidikan yang membebaskan memerlukan transformasi budaya dan struktural. Ini menantang norma-norma eksisting dan memerlukan guru yang siap untuk mengganti peran mereka dari pemberi informasi menjadi fasilitator pembelajaran.

Dalam pendidikan ala Freire, evaluasi tidak hanya digunakan untuk memberikan nilai, melainkan untuk melacak pertumbuhan dan perkembangan siswa. Pengukuran prestasi bukanlah akhir dari proses pembelajaran, tetapi langkah pertama menuju pemahaman yang lebih dalam. Ini membantu menciptakan lingkungan di mana siswa tidak takut untuk mencoba dan belajar dari kesalahan mereka. 

Dalam masyarakat yang terus berkembang, pendidikan yang membebaskan menjadi semakin relevan. Membuka pintu kebebasan pikiran, pendidikan ini tidak hanya menghasilkan individu yang terampil secara akademis tetapi juga warga negara yang berpikiran kritis dan peduli. Dengan membebaskan potensi manusia untuk berpikir kritis, bertindak, dan menciptakan perubahan, pendidikan ala Paulo Freire bukan sekadar konsep teoritis, tetapi panggilan nyata untuk menciptakan dunia yang lebih baik melalui pendidikan yang memberdayakan dan membebaskan.

Jika dibawa ke model pendidikan Indonesia saat ini, nyatanya Kurikulum Merdeka yang diawal kemunculannya begitu menimbulkan euforia kebebasan kepada para guru  saat ini mendapat kritikan keras dan tajam dari guru-guru Indonesia. Para guru merasa dijajah aplikasi dan kewajiban administrasi yang begitu banyak. Mereka menjalani semua kewajiban yang disyaratkan kurikulum Merdeka dengan terpaksa dan setengah hati. 

Guru-guru nyaris ditahap K.O dan menyerah. Mereka merindukan kurikulum lama yang tidak ribet dan membebani. Sehingga dengan kondisi ini, dimana kemudian kebebasan mereka dalam dunia pendidikan? Guru yang uring-uringan akan membuat proses belajar berlangsung alakadarnya. Mungkin kita semua terutama aktor pendidikan harus segera menyadari bahwa pendidikan haruslah terbebas dari penindasan sebagaimana pergumulan batin Freire atas kondisi Barzil ditahun-tahun tersebut. 

Saya tidak yakin banyak kalangan pendidikan yang pernah membaca perjuangan tokoh dari Amerika Latin ini, padahal dari sana kita semua bisa belajar banyak hal terutama berlapang dada atas dinamika pendidikan di negeri ini sekaligus menjadi revolusioner terutama untuk membenahi diri sendiri dan lingkungan kita. 

***

*) Oleh : Waode Nurmuhaemin, Doktor Manajemen Pendidikan dan Kolumnis.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES