
TIMESINDONESIA, MALANG – Meski masih menunggu penghitungan resmi KPU, tapi, hasil quick count sudah bisa mencerminkan hasil Pilpres. Ada yang bilang bahwa quick qount itu pembangun opini, bisa ya bisa tidak.
Tulisan ini berasumsi bahwa 02 sdh nyata menang maka inilah alasannya.
02 menang bisa karena faktor Jokowi effect.
Advertisement
Pertama, efek sebagai presiden yang mampu memobilisasi infrastruktur pemilu. Jokowi tampak sudah menyiapkan kontestasi Pilpres ini sudah sejak lama, seperti yang diceritakan dalam film dirty-vote. Tentu, hal ini bisa berpotensi memunculkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang kecurangan Pemilu.
Strategi kunjungan kerja yang intensif saat masa kampanye di Jawa Tengah dengan dibarengi pembagian Bansos tampak mampu mengurangi lumbung suara Pilpres bagi paslon No 3. Ini menjadi faktor signifikan tergerusnya suara Ganjar, yang pada bulan-bulan sebelumnya menguasai Jawa Tengah.
Jokowi effect kedua adalah personal branding Jokowi selama 9 tahun sudah merasuk pada masyarakat. Strategi komunikasi blusukan, bagi-bagi sembako, bansos, dan sepeda telah mengukuhkan Jokowi sebagai figur merakyat. Strategi komunikasi politik paslon 02 sejak awal sudah didesain sebagai personifikasi jokowi.
Masyarakat yang belum melek internet masih banyak di desa-desa yang tidak terekspose isu-isu politik, seperti kasus MK dan pelanggaran etis lainnya.
Jokowi effect juga membuat sebagian pemilihnya yang kebetulan dari PDI Perjuangan ikut memilih paslon No 02. Terbukti, PDI Perjuangan masih memimpin di pemilihan legislatif (sekitar 19 persen), tapi, capresnya (No 03) hanya meraih 16 persen. Artinya ada sekitar 3 persen pemilih PDI Perjuangan yang ikut ke Jokowi.
Jika dibanding Pilpres 2019, Prabowo hanya meraih 45 persen dan hasil survei Ganjar saat awal pencapresan yang sampai 30-an persen maka suara Ganjar yang dibawa Jokowi bisa sampai 15 persen.
Kemenangan paslon 02 ini tampaknya juga terbantu dengan stigma negatif "petugas partai" yang belum hilang dari paslon No 3, terutama pada persepsi pemilih muda yang nonparpol. Padahal semua Capres adalah petugas partai (namun hanya PDI Perjuangan yang terbuka omong).
Hal ini terbukti bahwa PDI Perjuangan masih mendapat suara terbanyak karena militansi kader/pemilihnya untuk Pileg. Tetapi, untuk capres yang diusung PDI Perjuangan raih suara rendah maka ada ketakutan pemilih bahwa Capres No 03 akan menjadi petugas partai yang disetir parpol.
Apalagi ditambah figur Gibran yang bisa dianggap representasi anak muda, ada unsur proksimitas dengan pemilih muda.
Tentu saya kuatir, ternyata isu pelanggaran etika, nepotisme, dan politik dinasti yang melekat pada paslon No 2 dianggap bukan masalah bagi sebagian besar pemilih. Suara akademisi kampus ternyata tidak dianggap penting.
Hal ini bisa menjadi stigma komunikasi bagi pemenang Pemilu yang terus dikampanyekan oposisi, seperti stigma anak haram konstitusi, pelanggar etika.
Bisa saja, masyarakat kita masih bersifat lebih bisa menerima fenomena victimize, yakni semakin sering serangan terhadap paslon No 02, maka membuat seakan paslon 02 sebagai korban yang dizalimi. Ini masalah persepsi meski faktanya memang rame pelanggaran etika. Kekuatan branding Jokowi yang melekat pada paslon 02 begitu kuat (apalagi ditambah ada anaknya jokowi sebagai cawapres).
Jokowi effect tersebut diperkuat dengan awareness publik terhadap Prabowo yang terbangun sejak dua Pilpres sebelumnya. Tampaknya strategi komunikasi gimmick lebih menarik perhatian para pemilih.
Bisa karena pesan-pesan rasional belum mampu mempengaruhi pemilih, juga pengaruh stigma negatif petugas partai, dan serangan bansos sehingga bisa ditutupi strategi gimmick ini. Karena jumlah pemilih muda sangat banyak maka hal tersebut membuat saya menilai bahwa pemilih muda cenderung apatis tentang isu-isu politik. (*)
*) Penulis: Prof Rachmat Kriyantono, PhD, Guru Besar Ilmu Humas FISIP Universitas Brawijaya
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |