Kopi TIMES

Trilogi dan Panca Kesadaran Santri: Upaya Penerapan Islam Secara Kaffah

Sabtu, 17 Februari 2024 - 19:41 | 60.77k
Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community Critical Of Social Research, Probolinggo
Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community Critical Of Social Research, Probolinggo
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Pondok Pesantren Nurul Jadid adalah salah satu pesantren yang banyak melahirkan manusia yang bisa berkiprah dari segala bidang. Hal itu tidak terlepas dari tujuan didirikannya, yaitu ingin mencetak manusia yang memiliki kualitas ilmu dan keimanan yang sempurna, meskipun mengabdi atau bekerja di bidang apapun. 

Pendiri pesantren ini adalah KH. Zaini Mun’im telah menyatakan bahwa ia idak ingin mencetak kiai saja, tapi ingin mencetak manusia yang bisa mengabdi dimanapun dengan memiliki kualitas ilmu dan keimanan yang baik. Yang ditekankan oleh Kiai Zaini adalah manusia yang memiliki ilmu dan iman. Dengan keduanya seseorang akan bisa melaksanakan tugas sebagai hamba (abdun) dan pemimpin (khalifah). 

Advertisement

Menjadi seorang hamba yang ideal tentunya membutuhkan ilmu dan iman. Begitupun seorang pemimpin membutuhkan ilmu dan iman. Keduanya tidak bisa dipisahkan, karena memisahkan keduanya sama halnya dengan meniadakan keduanya.

Kiai Zaini menurut hemat saya sangat sadar akan tugas seorang manusia di muka bumi. Maka olehnya untuk menuju dan menciptakan manusia yang ideal, Kiai Zaini Mun’im melalui menciptakan satu prinsip penting yaitu Trilogi dan Panca Kesadaran. Istilah ini kalau di qanun asasi pesantren Nurul Jadid di sebut sebagai prinsip pesantren. 

Trilogi itu, pertama, memperhatikan hal-hal yang bersifat fardhu a’in. Kedua, mawas diri dengan meninggalkan dosa-dosa besar. Ketiga, Berbudi luhur kepada Allah dan makhluk. 

Titik penekan dari trilogi tersebut adalah seorang santri atau pelajar tidak diperkenankan mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat fardhu kifayah lebih dulu kalau ilmu yang bersifat fardhu ain masih belum dikuasai secara baik dan benar. Bagi Kiai Zaini kewajiban personal harus menjadi utama sebelum ilmu-ilmu pendukung lainnya. 

Kebanyakan dari segolongan manusia tengah melakukan kesalahan-kesalahan disebabkan oleh ketidaktahuannya, dan boleh jadi karena keteledorannya. Namun perbuatan salah yang dilakukan dengan tidak sengaja atau karena ketidak tahuannya itu bisa dimaafkan. Sebaliknya, apabila seseorang yang mengerjakan kesalahan itu karena sengaja, hal itu akan berdampak pada dosa. 

Dengan terciptanya trilogi ini kiai Zaini berharap agar umat manusia yang beragama Islam supaya mengetahui standar pengetahuan agama secara baik. Namun, kiai Zaini tidak berhenti pada tataran itu saja. Ia membuat gagasan yang sangat spektakuler dalam menciptakan manusia sempurna (insan kamil) yang disebut dengan panca kesadaran. 
Panca kesadaran yaitu kesadaran beragama, berilmu, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan berorganisasi. 

KH. Zulfa Musthofa mengatakan bahwa panca kesadaran (lima kesadaran) buah hasil pemikiran Kiai Zaini Mun’im ini merupakan gagasan yang luar biasa, dan menunjukkan kualitas pemikiran dan keilmuannya. Pada masa itu (kiai Zaini hidup) gagasan seperti ini tidak banyak orang yang memiliki. Tentu gagasan ini lahir dari seseorang yang memiliki keilmuan yang mendalam. Lebih-lebih kiai Zaini adalah seorang yang lahir dari rahim pesantren. 

Memang sebagian orang beranggapan bahwa pesantren hanya mencetak manusia yang pintar mengaji al-qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya. Hal itu terbantahkan oleh gagasan kiai Zaini berkaitan dengan keberadaan pesantren masa itu, kini dan akan datang. Ia seakan berpesan pada generasi-generasi setelahnya bahwa pesantren harus terus terlibat dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia dari segala dimensi. 

Pesantren tidak boleh hanya mencetak manusia yang menguasai bidang agama semata, namun harus mampu melahirkan manusia yang memiliki keterampilan-keterampilan yang dilandasi dengan karakter ajaran agama yang kuat. Sebagai makhluk manusia yang dapat keistimewaan dari Tuhan, seyogyanya misi keilahian dan kemanusian harus terus di jaga. Di sini pentingnya untuk melahirkan manusia yang utuh. Yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah.

Orang yang hanya memikirkan dirinya memiliki hubungan baik kepada Allah tetapi tidak memikirkan hubungan dirinya dengan sesama manusia dan lingkungannya bisa dianggap sebagai hamba yang pincang. Begitu pun, apabila ia hanya memikirkan dirinya dan lingkungan sekitar tidak memiliki hubungan spiritual yang baik kepada Allah akan mengantarkan dirinya menjadi manusia yang tidak utuh. 

Bagaimana seharusnya? KH. Zaini Mun’im telah memberikan jawabannya yaitu melaksanakan trilogi dan panca kesadaran. Karena kedua itu adalah upaya Kiai Zaini untuk menerapkan ajaran Islam secara kaffah. Beragama tidak hanya berada di masjid dengan mengerjakan ritual-ritual keagamaan. Tapi keberadaannya dimana pun, asal dengan membawa ilmu dan iman sesuai dengan ajaran Islam. Ia telah menerapkan ajaran Islam secara Komprehensif. 

***

*) Oleh : Ponirin Mika, Ketua Lakpesdam MWCNU Paiton dan Anggota Community Critical Of Social Research, Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Satria Bagus

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES