Komeng: Kesuksesan Virality Politics dan Perilaku Pemilih Indonesia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – KOMEDIAN Komeng, yang selama ini dikenal sebagai pelawak yang wara-wiri di layar kaca, secara mengejutkan justru muncul di kertas suara pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Jawa Barat. Jika biasanya pose foto kandidat di kertas suara DPD RI adalah pakaian formal atau pakaian adat, Komeng justru tampil dengan foto nyeleneh, kepala miring sambil mata melotot. Namun siapa sangka, fotonya yang antimainstream tersebut justru menarik perhatian pemilih di bilik suara.
Sebenarnya sudah cukup banyak artis yang maju nyaleg di Pemilu 2024. Misalnya saja ada Aldi Taher dan Verrell Bramasta yang maju sebagai Caleg DPR RI Dapil Jawa Barat 7, dan banyak artis-artis lain yang memilih terjun sebagai Caleg di Pemilu 2024 ini.
Advertisement
Namun, yang unik dari fenomena nyaleg-nya Komeng ini adalah siapa sangka justru dia mendapat suara yang fantastis. Dari pantauan situs KPU RI pada Selasa (20/2), Komeng sudah mendapat 1,7 juta suara, jauh berkali-kali lipat dibanding dengan calon DPD RI lainnya, bahkan juga melampaui suara pasangan Ganjar-Mahfud di Jawa Barat pada perhitungan sementara ini. Angka ini tergolong fantastis, apalagi di Dapil Jawa Barat yang terkenal sebagai Wilayah Pemilihan yang cukup ketat persaingan perebutan suaranya. Diketahui juga, Komeng tidak gencar dalam melakukan kampanye dan pemasangan baliho.
Fenomena Komeng di Pemilu 2024 ini menjadi unik, karena menerabas politik tradisional yang selama ini identik jika ingin menang maka harus memiliki logistik dan sumber daya yang besar. Namun, Komeng menjadi pembeda dengan hadir dan membuat gebrakan melalui Virality Politics-nya.
Virality Politics
Pose fotonya yang khas, dengan kepala miring dan mata melotot, tidak hanya mencuri perhatian pemilih tetapi juga mengambil alih ruang digital. Media sosial menjadi tempat di mana fenomena ini berkembang pesat, berawal dari video yang menampilkan proses penghitungan suara di suatu TPS, menampilkan teriakan uhuy di setiap Komeng mendapat suara, yang juga menampilkan foto Komeng yang unik tersebut menjadi viral dan diperbincangkan luas.
Konsep virality politik mengemukakan bahwa pesan atau citra yang merebut perhatian, apalagi tertanam memori bahwa Komeng merupakan sosok artis yang terkenal, dapat memengaruhi persepsi dan dukungan pemilih. Dalam kasus ini, pose Komeng bukan hanya menjadi candaan, tetapi juga simbol dalam benak pemilih.
Konsep ini mengacu pada kecenderungan pemilih untuk lebih tertarik pada figur yang sudah dikenal luas, meskipun tidak memiliki pengalaman politik yang mendalam.
Dengan demikian, fenomena ini menciptakan ruang di mana kepopuleran selebriti dapat menjadi alat untuk memenangkan dukungan politik.
Lebih dari itu, Komeng memiliki kelebihan dalam hal citra. Citra kuat seorang kandidat seringkali lebih mempengaruhi pemilih, bahkan daripada substansi visi, misi dan gagasan. Dalam kasus Komeng, pose fotonya yang unik menjadi bagian dari citra yang dibangun, menciptakan kesan memori sosok jenaka. Asumsi ini menggambarkan bahwa dalam politik modern, bentuk dan tampilan bisa memiliki dampak yang sama, atau bahkan lebih besar, daripada isu substansial yang diusung.
Tanggungjawab sebagai Wakil Rakyat
Perhatian yang diberikan kepada selebriti dalam politik mungkin bersifat singkat, dan dampaknya pada kebijakan publik bisa minim jika tidak didukung oleh substansi dan kinerja yang nyata, serta pengawalan dari masyarakat. Oleh karena itu, sukses Komeng dalam memenangkan suara tertinggi (sementara ini) tidak dapat dianggap sebagai fenomena yang secara otomatis mencerminkan dukungan mendalam dari pemilih terhadap agenda politiknya.
Ketika selebriti terlibat dalam politik, ada risiko mengaburkan batasan antara hiburan dan tanggung jawab politik. Dalam kasus Komeng, kehadirannya sebagai figur hiburan mungkin menciptakan dinamika di mana pemilih lebih cenderung melihatnya sebagai entertainer daripada wakil rakyat yang mendedikasikan diri untuk menanggulangi isu-isu masyarakat.
Suara tertinggi yang didapat Komeng dalam pemilu Jawa Barat menjadi kajian menarik tentang pernikahan antara virality politik, celebrity politics, dan politik konvensional. Sejauh mana fenomena ini menciptakan dampak yang berkelanjutan dalam hal kebijakan dan perwakilan rakyat adalah pertanyaan yang akan terus menjadi pusat perhatian dalam memahami peran selebriti dalam politik kontemporer.
Satu hal yang juga menjadi perhatian adalah perilaku pemilih Indonesia yang cenderung memilih calon berdasarkan popularitas dan mengesampingkan visi, misi, dan gagasan dapat dijelaskan oleh sejumlah faktor sosial dan politik. Pertama, pemilih cenderung mengartikan ketenaran lebih penting dibanding kapasitas seseorang dalam mewakili masyarakat di pemerintahan.
Kedua, budaya selebriti dan pengaruh media sosial memainkan peran besar dalam membentuk preferensi pemilih. Ini juga membuat calon yang terkenal di dunia hiburan atau media sosial lebih mendominasi perhatian. Minimnya literasi politik juga turut andil, membuat pemilih kurang memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan gagasan konkret.
Ada faktor sosial dan budaya yang juga mendorong pemilih mengikuti arus mayoritas. Banyak warganet yang juga menyayangkan bahwa pemilihan berdasarkan popularitas dapat menyingkirkan calon yang memiliki trackrecord yang baik namun tidak populer secara elektoral.
Tidak ada yang salah dengan fenomena Komeng di Pemilu 2024 kali ini. Begitu juga dengan keputusan pemilih yang bisa jadi bingung dalam menentukan pilihan kepada calon legislatif yang begitu banyak, hingga akhirnya menjatuhkan pilihan ke Komeng yang tampil unik di kertas suara.
Meski begitu, peningkatan literasi politik dan pendekatan edukatif diperlukan untuk mengubah pola pikir pemilih, menjadikan pemilihan pemimpin didasarkan pada pertimbangan substansial terhadap visi, gagasan, dan rekam jejak calon untuk mewujudkan kepentingan masyarakat secara lebih efektif.
***
*) Oleh : Muhammad Iqbal Khatami, MA, Peneliti Komite Independen Sadar Pemilu, Founder Muda Bicara ID.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |