
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Tanggal 21 Februari 2024 yang lalu diperingati Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) dengan tema “Atasi Sampah Plastik dengan Cara Produktif”. Momentum tersebut perlu kita renungi bersama dan menjadi bahan evaluasi seberapa jauh dunia pendidikan telah ambil bagian dalam melahirkan generasi yang peduli lingkungan. HPSN seyogyanya tidak hanya diperingati dalam bentuk kerja bakti lingkungan sekolah. Akan tetapi, perlu adanya penguatan yang menjadikan lingkungan sebagai basis pembelajaran.
Sebagai basis pembelajaran, lingkungan mendapat posisi sentral agar sekolah menyajikan proses pembelajaran yang integratif dan kontekstual bagi para siswa. Hal ini dimaksudkan agar lingkungan menjadi kajian tematik yang dapat dijangkau dari berbagai perspektif mata pelajaran. Sebagai contoh, isu tentang sampah plastik dapat dikaji dalam kacamata mata pelajaran sains untuk dapat memilih cara pengolahan yang ideal.
Advertisement
Mata pelajaran sosial berperan untuk mendorong pemanfaatan sampah plastik sebagai barang yang bersifat ekonimis. Mata pelajaran bahasa berperan untuk menghasilkan kampanye lingkungan yang baik. Mata pelajaran agama memberikan penguatan bagaimana seharusnya seorang manusia bertindak terhadap alam yang diciptakan Tuhan YME. Mata pelajaran seni berperan dalam membantu siswa menyajikan hasil olahan sampah yang menarik secara visual. Mata pelajaran TIK dapat membantu siswa dalam menggunakan berbagai aplikasi untuk menghasilkan konten di sosial media, dan lain sebagainya. Dengan demikian, setiap mata pelajaran di sekolah akan saling mengisi sesuai porsi masing-masing dan di sisi lain akan tercipta juga bahan ajar yang berwawasan lingkungan.
Ada banyak bentuk pembelajaran berbasis lingkungan yang dapat diterapkan oleh sekolah. Umumnya, siswa diajak untuk berinteraksi langsung dengan lingkungan, baik lingkungan sekitar ataupun lingkungan tertentu di suatu daerah. Sebagai contoh, siswa diajak untuk berpetualang (outing class) untuk menyadari kondisi lingkungan di suatu tempat. Kegiatan ini akan mendorong mereka untuk melakukan refleksi atas kontribusi mereka terhadap lingkungan selama ini, baik positif maupun negatif. Baik satu hela nafas, ataupun satu pijakan kaki mereka nyatanya berdampak pada lingkungan.
Siswa juga dapat diminta mengadakan proyek yang bertujuan untuk mengatasi permasalahan di suatu lingkungan, seperti pembuatan instalasi pupuk kompos, dan lainnya. Hal ini dapat melatih kemampuan pemecahan masalah, sehingga mereka siap untuk menjadi agen perubahan. Proyek ini menjadi kontribusi nyata dan menjadi saluran dalam membangun pemahaman bermakna bagi siswa. Komunitas ataupun relawan lingkungan hidup juga dapat dilibatkan untuk bertukar pikiran dengan siswa.
Proses pembelajaran seperti ini akan memuaskan rasa ingin tahu mereka, karena dapat leluasa untuk berdiskusi dengan ahlinya. Siswa juga dapat diikutsertakan dalam agenda komunitas tersebut. Tentu kita semua tahu aksi sekelompok pemuda dalam Pandawara Group yang dapat menggetarkan hati banyak insan untuk bergerak bersama. Momentum seperti ini amat sayang untuk dilewatkan oleh sekolah.
Di sisi lain, perlu ada penguatan kompetensi guru dalam mengemas pembelajaran berbasis lingkungan. Hal ini harus dilakukan secara berkelanjutan agar tidak ada ketimpangan dan muncul kesan ketinggalan zaman. Evaluasi pembelajaran yang adaptif juga dibutuhkan untuk menilai ketercapaian tujuan pembelajaran berbasis lingkungan. Selain itu, materi pembelajaran perlu diperkaya melalui perspektif yang lebih makro. Maksudnya, bahwa ada banyak variabel yang dipengaruhi ataupun mempengaruhi lingkungan secara kompleks. Hal ini akan membantu siswa mendapatkan gambaran besar tata kelola lingkungan, utamanya pada negara sebesar Indonesia. Dengan demikian, diharapkan ruang dialogis akan semakin terbuka dan pemikiran kritis semakin terasah.
Pemanfaatan lingkungan sebagai basis pembelajaran diharapkan tidak hanya diterapkan pada sekolah berlabel adiwiyata saja, namun juga di seluruh sekolah sebagai bentuk inklusivitas. Selain itu, yang perlu ditekankan juga adalah jangan sampai pembelajaran berbasis lingkungan hanya menjadi kegiatan insidental belaka. Sebagai penutup, ada sebuah kutipan dari Mahatma Gandhi yang perlu kita renungi bersama, “Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed”.
***
*) Oleh : Nur Arviyanto Himawan, M.Pd., Gr., Pengamat Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |