
TIMESINDONESIA, MALANG – Secara terminologi urip iku urup berarti “Hidup Itu Menyala”. Jika kita mulai tafsirkan secara pengertian awam kata “nyala” mungkin dapat merujuk pada sifat dari api. Keberadaan api dalam kehidupan merupakan sesuatu yang esensial setidaknya seperti sifat “nyala” yang memiliki arti untuk penerangan kehidupan.
Pepatah jawa “urip iku urup” memanglah sudah sangat tua dan lama dikenal juga dihormati terutama oleh masyarakat Jawa hingga saat ini. Namun pada prinsipnya ajaran “urip iku urup” tidak cukup hanya dihormati. Tetap perlu adanya laku seperti dalam ungkapan Ronggowarsito bahwa “Ilmu iku kelakone kanti laku” yang artinya Ilmu itu harus sampai pada pengamalannya.
Advertisement
Arti dari “urip iku urup” banyak ditafsirkan sebagai suatu keharusan bahwa hidup harus saling memberikan manfaat bagi sekitarnya. Ibaratkan lilin yang menyala menerangi gelapnya malam selalu ada manfaat yang dapat kita rasakan. Mungkin dapat kita persepsikan bahwa ungkapan “urip iku urup” sangat begitu klasik dan universal.
Namun sesungguhnya keberadaan ajaran ini tidak dikekang oleh waktu. Artinya kita pun masih dapat mengamalkan ajaran ini dalam kehidupan sehari-hari.
Sebuah filosofi jawa, Satu dari sekian banyak filosofi jawa membimbing kita menjadi orang yang lebih baik. Makna dari ungkapan-ungkapan Jawa ini seringkali tidak dipahami oleh sebagian besar keturunan etnis Jawa di era modern ini. Maka tidak salah, jika muncul sebutan, "Wong Jowo sing ora njawani". Tidak heran kalau filosofi ini minim sekali untuk dapat kita laksanakan mengingat aura duniawi amat kuat dan kental menyelimuti kita. Filosofi Jawa dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Warisan budaya pemikiran orang Jawa ini bahkan mampu menambah wawasan kebijaksanaan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Urip Iku Urup “Hidup itu Nyala”. memiliki makna hidup itu hendaknya dapat memberi manfaat bagi orang lain disekitar kita, semakin besar manfaat yang kita berikan tentu akan semakin baik bagi kita maupun orang lain, tetapi sekecil apapun manfaat yang kita berikan kepada orang lain jangan sampai kita menjadi orang yang meresahkan masyarakat.
Dalam Islam sendiri, hal tersebut kerap dikaitkan dengan hadis berbunyi khoirunnas anafauhum linnas yang menjelaskan bagaimana seorang manusia seharusnya berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. sesuai anjuran Rasulullah SAW, sebaiknya manusia ialah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Manusia dianjurkan untuk menebar kebaikan dan tolong menolong kepada sesama. Makna filosofi ini luar biasa, bahwa kita dilahirkan di dunia ini bukan untuk berdiri sendiri, berkuasa dan semua hanya untuk diri sendiri, akan tetapi kita lahir untuk saling memberi, saling menolong dan saling membantu sesama tanpa ada rasa pamrih. Semua agama banyak mengupas hal ini bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial harus saling interaksi dan menolong kepada sesama, bahwa kita hidup didunia ini hanyalah sebuah ujian untuk mendapatkan kehidupan yang kekal dan lebih baik di kehidupan berikutnya.
Janganlah hidup kita selalu membuat resah masyarakat, mengganggu ketenangan karena hal itu tidak sesuai kodrat kita sebagai makhluk mulia. Andai kita berbuat sesuatu yang keliru itu adalah lupa, tetapi kalau kekeliruan itu berulang berarti sudah menjadi wataknya.
Apabila kehadiran kita mempunyai arti untuk orang lain, orang-orang disekitar kita. Semakin besar manfaat yang kita bisa berikan pada orang lain maka hidup akan semakin baik. Dan begitu sebaliknya apabila kita hadir namun tak memberi manfaat, maka sesunggunya kita mati.
Pandangan arif dalam masyarakat Jawa ini merupakan salah satu bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar. Besar dalam hal ini tidak hanya luasnya wilayah namun juga disertai dengan luasnya pikiran dan hati dari setiap elemen bangsa ini. Lalu apakah jika ini merupakan ajaran masyarakat Jawa maka selain masyarakatnya tidak dapat mengamalkannya? Tentu saja tidak.
Setiap daerah tentu memiliki pandangan arifnya masing-masing namun pada dasarnya kebajikan yang universal itu tetaplah ada sebagai substansi kehidupan terlepas darimana kita memandangnya. Ajaran “urip iku urup” juga merupakan panggilan kemanusiaan tidak hanya bagi masyarakat Jawa namun juga bagi seluruh alam semesta.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |