Kopi TIMES

Hitam-Putih Presiden Jokowi

Selasa, 27 Februari 2024 - 12:34 | 43.86k
Abdul Mukti Ro’uf, Kolomnis, Tinggal di Bintaro Tangsel.
Abdul Mukti Ro’uf, Kolomnis, Tinggal di Bintaro Tangsel.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Gejolak pasca pilpres masih terus berlangsung. Unggulnya suara Paslon Prabowo-Gibran dalam laporan real count KPU masih terus dikritisi karena dugaan kecurangan sejak sebelum pilpres terutama oleh perangkat kekuasaan yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi. Maka tidak heran jika sasaran utama kritik tertuju kepada berbagai kebijakan pemerintah yang cenderung menguntungkan paslon tertentu. 

Kini, kritik itu terdengar makin nyaring dan membuka jalan ke ranah hukum dan politik sekaligus. Ranah hukum akan bermuara pada pelaporan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sedangkan pada ranah politik akan berlangsung pada pengusulan hak angket DPR untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah terutama kepada presiden. 

Advertisement

Selain dua agenda itu, berbagai aksi massa dari mahasiswa dan masyarakat sipil akan menghiasi hari-hari sebelum penetapan hasil pilpres oleh KPU pada tanggal 20 Maret dan sidang-sidang di MK. Meskipun pilpres 2024 terlihat damai di permukaan namun ternyata menyimpan bara api yang berpotensi membakar jika tidak dilakukan langkah-langkah antisipasi yang menyeluruh.

Bermula dari Istana

Harus diakui, kekisruhan justru bermula dari cawe-cawe (campur tangan) Presiden terhadap proses suksesi kepemimpinan nasional. Presiden Jokowi menunjukkan sikap yang ambigu antara bersikap netral dan tidak netral. Ambiguitas itu akhirnya berujung pada pemihakan terhadap paslon tertentu yang mau tidak mau membetot kekuatan eksekutifnya untuk digerakkan baik secara samar-samar maupun terbuka. 

Hasilnya, Paslon yang didukung Presiden meraih angka elektoral yang melampaui prediksi dan berujung pada potensi menang dalam sekali putaran. Kemenangannya tentu saja banyak disumbang oleh faktor Jokowi yang masih berkuasa penuh hingga akhir masa jabatannya pada Oktober 2024. Dan memang, sejak awal, prediksi kemenangan pasangan Prabowo-Gibran, setidaknya versi quick count, telah menjadi issu justru jauh sebelum pilpres berlangsung dengan berbagai alasan. Yang paling kuat adalah campur tangan presiden dengan seluruh kekuatan kekuasaannya terutama kebijakan penyaluran sembako di tahun politik yang dalam banyak hal dipersonalisasi sebagai “kebaikan presiden” dan berimbas pada Paslon yang didukungnya. 

Tindakan politik istana karena itu telah mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi secara terbuka demi visi dan ide “keberlanjutan” dan demi masa depan politik anak kandungnya sendiri. Ijtihad politik presiden Jokowi pada akhirnya berujung pada kemenangan elektoral. Yang lebih dramatis, basis suara PDIP di Jawa Tengah dan Bali tergerus signifikan lagi-lagi oleh pengaruh Presiden Jokowi. 

Tetapi diakui atau tidak, keunggulan elektoral Paslon Prabowo-Gibran telah menyisakan luka moral yang mengancam masa depan demokrasi. Luka-luka demokrasi itulah yang sedang diributkan oleh para akademisi, tokoh agama, tokoh masyarakat, simpul-simpul masyarakat sipil dan mahasiswa. Elemen masyarakat yang menggugat pelaksanaan pilpres tidak selalu datang dari partai politik yang berpotensi kalah dalam pilpres. Melainkan dan terutama yang datang dari kelompok masyarakat non partisan. Lantas, akankah  presiden Jokowi terjungkal oleh proses angket DPR ataukah akan ada bentuk-bentuk kompromi sebagaimana biasanya?

Ujung Jalan Presiden Jokowi

Keinginannya untuk kembali ke Solo dengan tenang pasca Oktober mendatang agaknya masih dihantui oleh gemuruh aksi protes terhadapnya. Upaya untuk bisa bertemu dengan Megawati masih belum menemukan jalan. Luka Ibu Megawati terlalu dalam karena prlikau “anak durhaka”. Ia dilahirkan dan dibesarkan, lantas menggigitnya. Memang, masih banyak misteri kenapa presiden Jokowi berlaku sedemikian. Apakah semata karena persolan politik kuasa atau ada “some thing” yang hanya mereka berdua yang tau. 

Nasib presiden Jokowi akan berujung antara lain: Pertama, jika Paslon Prabowo-Gibran benar-benar akan dilantik dan politik berujung pada kompromi, maka Jokowi masih akan “berkuasa” dengan representasi Gibran di dalamnya sebagai wapres. Meskipun demikian, tidak ada jaminan presiden terpilih akan berpikir dan bertindak sama persis seperti sebelum terpilih. Prabowo selalu memiliki dua kemungkinan: mengajak dan atau meninggalkan Jokowi. Dalam politik, kemungkinan itu selalu terbuka. Bergabungnya Prabowo di kabinet Jokowi dan meninggalkannya Jokowi dari Megawati adalah kemungkinan yang sebelumnya dianggap tidak mungkin. Maka yang berlaku adalah, “mungkin segalanya mungkin”. 

Kedua, gejolak politik benar-benar berujung pada pemakzulan politik atas presiden Jokowi sebelum lengser pada Oktober mendatang. Jika itu terjadi, situasi nasional akan berubah secara radikal dan dapat mengganggu hasil pilpres 2024. 

Ketiga, dan ini yang paling mungkin terjadi, semua kekuatan partai politik dan civil society akan bersatu kembali demi masa depan bangsa dan negara dengan kompromi-kompromi tertentu. Tetapi, meskipun terjadi kompromi politik, luka demokrasi itu akan selalu melekat pada sejarah presiden Jokowi sebagai pemicu dan pelaku atas penodaan demokrasi. Dan pada saat yang sama, Jokowi akan tetap dikenang sebagai “presiden negarawan” yang berhasil berekonsiliasi dengan Prabowo pada tahun 2019. Ia juga tetap akan dikenang sebagai presiden yang totalitas dalam membangun infrastruktur meski dengan penumpukkan hutang luar negeri.

Singkatnya, Presiden Jokowi akan segera pulang ke Solo dengan meninggalkan warna “hitam-putih”. Noda hitam ia torehkan di atas demokrasi justru di ujung kekuasaannya. Warna putih, selain dalam simbolisasi kemejanya, ia menorehkan jejak infrastruktur dan terutama mega proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Memang, sejarah tidak selamanya berwarna putih, ia malah sering meninggalkan jejak noda hitam.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Kolomnis, Tinggal di Bintaro Tangsel.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES