
TIMESINDONESIA, JAKARTA – MENGAPA sejarah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) wajib didudukkan di atas meja selektivitas dan perdebatan setiap kali ada peralihan kepemimpinan di negara demokrasi seperti Indonesia dalam skala nasional atau pun daerah? Jawabannya singkat saja: karena pelanggaran tersebut korbannya adalah manusia. Bisa saya, bisa Anda, bisa keluarga kita atau keluarga tetangga kita. Dan siapa saja yang disebut manusia.
Dalam sejarah pelanggaran HAM, khususnya lagi di Indonesia, mereka-mereka yang menjadi korban adalah manusia yang tak berdosa dan sekaligus yang lemah. Mereka adalah "tumbal" dari keserakahan. Dan pelakunya relatif sama, mereka adalah penguasa yang bermental kroco, otoriter, klaim paling demokratis dan sejenisnya.
Advertisement
Kemanusiaan adalah di atas segala-galanya. Termasuk syarat dalam pemilihan kepemimpinan. Asas itu wajib dinomorsatukan. Salah satu yang perlu dicek di "dokumennya" adalah, apakah ia pernah memiliki sejarah kelam pelanggaran HAM? Jika terlibat sedikit saja, atau diduga, apalagi terbukti di pengadilan, sosok tersebut tak pantas menjadi pemimpin manusia di negeri manapun. Apalagi di negeri Indonesia, rakyatnya yang berbudaya dan religius.
Namun dewasa ini, publik seperti disuguhi dengan tontonan-tontonan elite politikus yang meremehkan pelanggaran HAM tersebut. Mereka bahkan seakan mau mengajak masyarakat untuk berdamai, melupakan dan amnesia secara massal, karena peristiwa tragis itu dinilai sudah berlalu dan jauh. Padahal, sebelum-sebelumnya mereka yang mengajak agar selalu "jas merah" terhadap kejahatan masa lalu tersebut.
Bahkan ada sebagian elite yang sempat memakai isu HAM untuk mendongkrak elektoral. Namun karena sudah tak relevan dengan koalisi dan peta politiknya, tak menguntungkan secara kursi, isu itu pun ingin dihapus dari ingatan publik. Apa mau dikata, politik sebagai jalan kekuasaan semata, memang sering kali disalahgunakan. Jangankan etika berpolitik dan ber-konstitusi yang dilanggar, etika kemanusiaan yang diletakkan di atas segala-galanya juga diterabas tanpa merasa takut dan berdosa. Mereka membaca dan hafal Pancasila yang salah satu isinya: "Kemanusiaan yang adil dan beradab." Namun, bagi politikus macam ini, semua itu hanya hafalan formalitas dan kosong tanpa makna.
Franz Magnis Suseno dalam bukunya: Demokrasi, Agama, Pancasila (2021) pun sudah menyebut, hak-hak asasi manusia merupakan pengejawantahan seluruh Pancasila. Malah hak-hak asasi manusia dapat dipahami sebagai operasionalisasi Pancasila. Akan tetapi, secara khusus hak-hak asasi manusia termuat dalam sila kedua, "Kemanusiaan yang adil dan beradab". Sila kedua menuntut agar manusia diperlakukan sebagai manusia, dan itulah maksud hak-hak asasi manusia. Jadi lewat sila kedua Pancasila, hak-hak asasi manusia masuk ke dalam etika dasar kenegaraan Republik kita.
Penutup
Ketidakpatutan di atas yang mesti masyarakat kritisi secara nyaring dan masif. Karena motif para elite politik yang masih belum "akil baligh" tersebut tentu adalah transaksi-transaksi di bawah meja untuk kepentingan kelompoknya saja. Masyarakat tak boleh mau lagi dipermainkan dan dikelabui oleh bahasa "santun" yang digunakan oleh mereka.
Membiarkan keburukan artinya sama saja menjadi pendukung pelaku keburukan. Membiarkan kebatilan artinya sama saja mendukung pelaku kebatilan. Membiarkan pelanggaran HAM terhapus oleh sejarah, artinya sama saja mendukung pelaku pelanggaran HAM. Dan pada pihak-pihak yang terakhir itu, sebenernya tak patut hidup di bumi manapun, termasuk di Indonesia.
Saya dan Anda tentu masih terus berharap-harap, Indonesia di suatu waktu, di masa depan, memiliki elite-elite politik berjiwa negarawan yang akan memimpin negeri ini. Sosok-sosok ini dipastikan tak akan bertoleransi terhadap para pelaku pelanggaran HAM. Sebaliknya, memberikan respect tertinggi pada korban dan keluarga korban kejahatan kemanusiaan. Yang sejak 2007 silam, setiap satu minggu setia menyelenggarakan aksi Kamisan di depan Istana Negara.
Entah kapan, kita ikhtiarkan saja. (*)
***
*) Penulis Moh Ramli, Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |