Kopi TIMES

Sebab Hukum adalah Produk Politik

Senin, 04 Maret 2024 - 04:24 | 70.53k
Avika Mauidhotul Khasanah, S.H., Praktisi Hukum.
Avika Mauidhotul Khasanah, S.H., Praktisi Hukum.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAPASCA reformasi, diskursus demokrasi justru menjadi begitu lekat dan dikenal sebagai bagian dari sistem politik. Semua tata kelola penyelenggara sistem pemerintahan juga selalu dimulai dari pergulatan kompetitif untuk memperebutkan suara masyarakat. Namun sayangnya, masyarakat justru tidak lebih dari sekadar alat untuk mencapai kekuasaan, dimana kekuasaan seringkali menihilkan suara masyarakat sebagai bagian dari partisipasi publik.

Namun apalah arti suatu negara jika tidak ada instrumen hukum yang mengatur? Bila secara de facto negara dapat dibentuk berdasarkan terpenuhinya syarat suatu negara seperti adanya wilayah, rakyat, serta pemerintahan, maka jalannya roda pemerintahan akan selalu bertumpu pada kebijakan maupun regulasi yang digunakan sebagai dasar untuk mengatur dan membatasi setiap organ dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut secara bijak nan bajik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum (devoted to the public weal).

Advertisement

Masyarakat yang dalam hal ini sebagai penyelenggara kehidupan kenegaraan, sejatinya memiliki kekuasaan untuk ikut terlibat dan berperan dalam mengawasi setiap perumusan kebijakan atau regulasi. Sedangkan prosedur pembentukannya, dilakukan melalui keterwakilan lembaga negara yang memiliki kewenangan dalam membuat dan merumuskan segala Peraturan Perundang-Undangan.

"The Lincoln Formula" dari Abraham Lincoln yang menjelaskan sistem demokrasi "Government of the people, by the people, for the people", memang, sejatinya layak digunakan sebagai konsep demokrasi secara normatif  yang ideal bagi masyarakat untuk terlibat dalam arti seluas-luasnya. Namun dalam praktiknya, tentu tidak mudah untuk mewujudkan partisipasi publik karena selalu ada kepentingan politik yang melekat dalam wakil-wakil terpilih.

Di Bawah Kehendak Kekuasaan 

Sebuah regulasi yang lahir dari proses dan juga tahapan yang panjang, memang benar, semua itu dapat disebut sebagai produk hukum. Namun benarkah, intervensi politik membuat wajah hukum menjadi produk politik? 

Berbagai peristiwa hukum yang melahirkan sebuah kebijakan sesungguhnya hampir tidak pernah lepas dari gejolak kekecewaan, terlebih pasca pembacaan amar putusan pengujian materiil Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden yang digelar tepatnya pada tanggal 16 November 2023 dan telah resmi diputus secara final oleh palu hakim Mahkamah Konstitusi.

Ada beberapa kejanggalan yang sangat disayangkan dan paling disorot dalam proses legitimasi putusan MK tersebut. Pertama, mulai dari adanya dissenting opinion dari 4 orang Hakim Konstitusi yang menandakan ketidakseragaman pandangan sehingga melahirkan putusan yang prematur karena tidak memenuhi syarat mayoritas suara yang tertuang dalam Pasal 45 Ayat (8) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Kedua, siapa yang tidak mengenal Anwar Usman, yang memiliki hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi dan pada saat itu resmi menjabat sebagai ketua MK.

Rupanya bukan hanya prosesnya yang prematur, tapi putusan itu juga cacat secara formil. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pun memutuskan bahwa Anwar Usman terbukti melanggar sejumlah kode etik sebagai hakim konstitusi karena melanggar Sapta Karsa Hutama diantaranya adanya prinsip ketidakberpihakan.

Jika kita melihat bagaimana tataran tertinggi pengambilan keputusan berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang termaktub dalam Peraturan Bersama MA dan KY, seorang hakim yang memiliki hubungan keluarga memang tidak diperkenankan untuk mengadili kasus dimana terdapat anggota keluarga yang bertindak sebagai pihak yang berperkara. Tentu saja subjektifitas akan selalu memaksa seseorang memiliki keberpihakan, terlebih kepada keluarga. Maka tidak salah, bila putusan itu lekat sekali dengan konflik kepentingan. 

“Dibawah kekuasaan, kehendak penguasa adalah titah kun-fayakun, segala yang dikehendaki, maka terjadilah”.

Lahirnya putusan tersebut memang memberikan angin segar bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto. Namun, sebuah regulasi yang seharusnya dibuat berdasarkan prosedur yang tepat justru melegitimasi pencalonan Gibran yang telah cacat sedari awal. Sayangnya putusan tersebut dianggap benar karena hukum telah mengatur secara demikian. Maka tidak heran, bila khalayak dengan ramai menyoroti bagaimana dinasti politik di Indonesia sedang dibentuk, secara terang-terangan.

Sederet UU Kontroversial 

Sebagaimana kacaunya produk hukum hari ini, masalah yang lahir dari pengesahan beberapa regulasi telah menunjukkan adanya intervensi politik yang tak dapat melepaskan diri dan membawa pengaruh terhadap dasar pembentukan produk hukum.

Gelombang penolakan yang dilakukan masyarakat terhadap berbagai pengesahan regulasi pun selalu hadir sebagai bentuk keresahan yang tak berkesudahan. Sebut saja polemik Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang telah mengundang banyak reaksi dan kecaman dari masyarakat. Selain dinilai substansinya banyak merugikan kepentingan para pekerja, pembahasannya pun dinilai diputus secara tergesa-gesa.

Sementara itu, perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang terjadi pada tahun 2019 juga turut menyita perhatian publik. UU KPK yang telah diubah menjadi UU No.19 tahun 2019 secara nyata berdampak pada pelemahan kedudukan dan menghancurkan independensi KPK. Belum lagi UU Ibu Kota Negara (IKN) yang dibahas secara singkat hanya dalam waktu 42 hari.

Sayangnya, keberadaan masyarakat sebagai instrumen kontrol dalam proses perumusan kebijakan hampir selalu tidak pernah dilibatkan. Semua produk hukum justru dibuat hanya melindungi kepentingan para pemegang kekuasaan dan elit politik.

Kini, bukan lagi hal yang mengejutkan bila produk hukum telah menjadi mata pisau bagi elit politik yang dapat dengan mudah dipesan melalui oknum-oknum lembaga negara yang berada dalam lingkar kekuasaan untuk menebang dengan bebas apapun yang menjadi tujuannya. Masalahnya begitu jelas, sebab hukum selalu dipengaruhi oleh adanya kekuatan diluar hukum, dimana dunia politik terlalu banyak perjuangan yang didasarkan pada kepentingan dan tujuan kelompok.

Konfigurasi Politik terhadap Wajah Hukum 

Politik akan selalu hadir dan mewarnai jalannya perumusan kebijakan publik, namun karakteristiknya akan dapat dinilai berdasarkan representasi dari produk hukum yang dihasilkan. 

Sebuah regulasi yang inkonstitusional dan nir partisipasi publik akan menggambarkan dengan jelas betapa konfigurasi politik tersebut mengarah pada karakter yang otoriter sehingga seringkali melahirkan produk hukum yang elitis dan ortodoks. Menurut Robert A. Dahl, "rule by one" ataupun "rule by the few" menjadi identitas dari adanya sistem monarki dan oligarki dimana pengesahan regulasi tidak bertumpu pada rights of political partisipasi.

Inilah saatnya menyebut zaman otoritarianisme elektoral, zaman dimana rezim dengan watak otoriter berusaha merumuskan kebijakan untuk menciptakan suasana yang demokratis, namun supremasi hukum yang lahir justru bukan menjadi instrumen yang mengatur, tetapi menjadi senjata yang mampu memberi perlindungan bagi penguasa untuk mencapai tujuan (kekuasaan) sekaligus mengendalikan authority.

Pada akhirnya, kita butuh kerjasama antara para akademisi, cendekiawan dan masyarakat sipil agar mampu berada pada posisi yang bebas dari kepentingan politik demi menjaga sistem dan menjadi pengawas atas terselenggaranya praktik penegakan hukum. Sekali lagi, kita semua, yang bebas dari kepentingan politik harus mampu menjadi intelektual bebas, pemilik pemikiran besar untuk melawan musuh besar demokrasi dan memastikan bahwa berbagai kebijakan dan regulasi yang hadir nantinya bukanlah hasil dari kesewenang-wenangan penguasa.

***

*) Oleh : Avika Mauidhotul Khasanah, S.H., Praktisi Hukum

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES