
TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur secara jelas mengenai faktor penyebab dilakukannya Pemungutan Suara Ulang (PSU). Namun dalam prakteknya, sebagian besar rekomendasi PSU dilakukan dengan latar belakang penyebab di luar ketentuan peraturan perundang-undangan. Keputusan untuk melaksanakan PSU, memiliki konsekuensi tidak sederhana. Menyangkut penyediaan anggaran, kesiapan logistik, limit waktu terbatas, menurunnya tingkat kehadiran pemilih hingga meningkatnya tensi politik lokal. Karenanya, semestinya PSU diharapkan bisa mengobati persoalan administrasi Pemilu yang terjadi di tempat pemungutan suara.
Potensi munculnya PSU, terjadi pada pelaksanaan tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara. Tahapan ini menjadi krusial bagi semua pihak. Baik KPU, Bawaslu, pemilih maupun peserta Pemilu. Bagi KPU dan seluruh jajarannya, sebagian besar profesionalitas dan integritas Pemilu dipertaruhkan pada tahapan ini. Pengaturan yang terang benderang, tegas serta rinci akan memudahkan tahapan ini dilakukan. Utamanya, menyangkut pemenuhan hak pilih warga negara yang harus dijamin hak konstitusionalnya.
Advertisement
Pengaturan PSU
Ketentuan PSU diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 372 ayat (1) bahwa pemungutan suara di TPS dapat diulang apabila terjadi bencana alam dan/atau kerusuhan yang mengakibatkan hasil pemungutan suara tidak dapat digunakan atau penghitungan suara tidak dapat dilakukan.
Selain itu, pada ayat (2) disebutkan bahwa pemungutan suara di TPS wajib diulang apabila dari hasil penelitian dan pemeriksaan pengawas TPS terbukti terdapat keadaan : a. Pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Petugas KPPS meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan; c. Petugas KPPS merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah, dan/atau; d. Pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Ketentuan yang sama dan lebih jelas juga diatur dalam pasal 80 Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023.
Persoalan menjadi pelik, ketika pada hari pemungutan dan penghitungan suara pada tanggal 14 Februari 2024 lalu, terdapat pemilih luar daerah yang tidak mengurus pindah memilih dengan serta merta mendatangi TPS sesuka hati dan meminta kepada KPPS agar dilayani. Bagi KPPS yang berkeyakinan bahwa hanya pemilih pemegang Formulir Model A-Pindah Memilih yang bisa dilayani, mereka dapat menyampaikan argumen untuk mengarahkan pemilih tersebut menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai alamat yang tertera di KTP Elektronik.
Namun di beberapa TPS, tak pelak terjadi adu argumen antara pemilih ber-KTP Elektronik luar daerah dengan KPPS dan Pengawas TPS. Bahkan, terdapat pemilih yang mampu merubah keyakinan KPPS dengan berargumen pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di BAB II Ketentuan Pidana Pemilu pasal 510. Hal ini tentu menambah beban psikologis KPPS di tengah fisik yang mulai menurun. Adu argumenpun berakhir dengan diperbolehkannya pemilih tersebut menggunakan hak untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Tidak Tepat Diterapkan
Secara faktual, tidak dipungkiri adanya pemilih yang memiliki KTP Elektronik luar daerah, sementara dirinya telah terdaftar dalam DPT sesuai alamat KTP Elektronik, tanpa mengurus formulir Model A-Pindah Memilih sebelumnya dan dilayani untuk menggunakan hak pilihnya di TPS lain. Inilah yang menjadi faktor penyebab munculnya rekomendasi PSU. Di satu sisi, pemilih tersebut memenuhi syarat untuk menggunakan hak pilihnya. Yang pada kondisi demikian, ketika pemilih diarahkan untuk menggunakan hak pilihnya di TPS sesuai alamat KTP Elektronik sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak memungkinkan dilaksanakan oleh pemilih dikarenakan jarak dan waktu tempuh.
Hal ini, membuat penyelenggara (baca: KPPS dan Pengawas TPS) mengalami situasi bak makan buah simalakama. Melayani pemilih dengan menggunakan hak pilihnya akan mendapat rekomendasi PSU. Bila tidak melayani pemilih di TPS tersebut, nyatanya syarat sebagai penduduk yang memiliki hak pilih telah terpenuhi. Apabila kita cermati lebih teliti, alasan direkomendasikannya PSU karena faktor ini, sama sekali tidak masuk ke dalam kualifikasi yang dipersyaratkan oleh Undang-undang maupun PKPU.
Keadaan inilah yang dialami 3 TPS di Kota Probolinggo. Yakni di TPS 13 Kelurahan Jati Kecamatan Mayangan, TPS 8 Kelurahan Jrebeng Wetan dan TPS 3 Kelurahan Jrebeng Kulon Kecamatan Kedopok. Dalam rekomendasi PSU pada 3 TPS tersebut, tidak terjadi bencana alam maupun kerusuhan. Juga demikian, petugas KPPS tidak melakukan pelanggaran prosedur pada saat pembukaan kotak dan/atau berkas pemungutan dan penghitungan suara. Mereka juga tidak meminta pemilih memberikan tanda khusus, menandatangani, atau menuliskan nama atau alamat, pada surat suara yang sudah digunakan. Termasuk tidak ada upaya merusak lebih dari satu surat suara yang sudah digunakan oleh pemilih sehingga surat suara tersebut menjadi tidak sah.
Adapun alasan bahwa PSU direkomendasikan untuk diselenggarakan karena penyebab terakhir mengenai pemilih. Yakni, pemilih yang tidak memiliki kartu tanda penduduk elektronik dan tidak terdaftar di daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Yang semestinya rekomendasi PSU tidak tepat diterapkan. Mengingat, mereka adalah penduduk yang memiliki KTP Elektronik dan telah terdaftar di TPS asal sebagai pemilih tetap. Frasa kalimat yang menggunakan kata sambung “dan” mengandung arti bahwa 3 syarat tersebut bersifat kumulatif.
Kepemilikan KTP Elektronik juga menandakan bahwa mereka adalah sebagai penduduk yang telah memenuhi syarat menjadi pemilih. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (32) dan ayat (34) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan bahwa penduduk adalah Warga Negara Indonesia yang berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar negeri dan pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin juncto pasal 348 ayat (1) huruf d. penduduk yang telah memiliki hak pilih. Kemudian, untuk menggunakan hak pilihnya ditegaskan dalam pasal 348 ayat (9) Penduduk yang telah memiliki hak pilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat memilih di TPS/TPSLN dengan menggunakan kartu tanda penduduk elektronik.
Perlu Formula Pengaturan Tambahan
Penyelenggaraan Pemilu harus memenuhi prinsip berkepastian hukum. Pengabaian atas prinsip berkepastian hukum akan berujung pada runtuhnya integritas Pemilu yang demokratis. Dalam kasus rekomendasi PSU di atas, terdapat kondisi nyata bahwa ada pemilih memenuhi syarat untuk memenuhi hak pilihnya yang oleh karena jarak dan waktu tempuh tidak bisa menggunakan hak pilihnya di TPS asal. Kondisi ini di luar ketentuan peraturan perundang-undangan.
Maka, agar tidak terjadi kekosongan hukum berkaitan dengan faktor penyebab di atas, perlu disikapi dengan mengambil dasar hukum lain yang lebih substantif. Pertimbangan utamanya, menempatkan penyelenggaraan Pemilu tetap berkepastian hukum. Sebab, apabila peristiwa penggunaan hak pilih secara tidak prosedural dibiarkan, maka selamanya Pemilu akan berada dalam ruang remang-remang. Dan, menjebak pada ijtihad penafsiran atas ketentuan penyebab PSU berada di dua cabang; selesai atau berkepanjangan.
Sampai di sini, menjadi perlu untuk mencari formula pengaturan tambahan mengenai ketentuan penyebab PSU. Rekomendasinya sederhana, perubahan regulasi di tingkat Undang-undang. Apabila ada pengaturan tunggal dan menyeluruh mengenai hal di atas, tidak akan ada keragu-raguan bagi penyelenggara untuk menegakkan Pemilu yang berintegritas dan demokratis. Dan yang mendasar, pemilih yang memiliki hak pilih terpenuhi hak konstitusionalnya sebagai penduduk Warga Negara Indonesia.
***
*) Oleh : Akhmad Faruk Yunus Putra, Mantan Ketua Presidium Komite Independen Pemantau Pemilu Daerah (KIPP-DA) Kota Probolinggo dan Anggota KPU Kota Probolinggo Periode 2019-2024.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |