
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada tahun 2015 lalu, Paus Fransiskus mengeluarkan sebuah ensiklik yang mengangkat dan mendiskursuskannya secara serius isu tentang lingkungan. Ensiklik ini dinamakan Laudato Si’. Lengkapnya, Laudato Si’, mi Signore yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Terpujilah Engkau, Tuhanku.
Kalimat tersebut merupakan sebuah ungkapan (madah) Santo Fransiskus dari Asisi yang mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama adalah seperti seorang saudari yang berbagi hidup dengan kita, dan seperti seorang ibu rupawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka (Ensiklik Laudato Si’, 2018).
Advertisement
Namun, ibu rupawan, saudari kita ini, demikian Paus Fransiskus, sekarang sedang menjerit akibat kerusakan yang disebabkan oleh manusia, penghuni bumi. Kita, manusia, telah dengan tidak bertanggung jawab menghancurkan rumah bersama ini, tempat di mana kekayaan telah diletakkan Allah.
Sejak dipublikasi, ensiklik ini diakui telah memengaruhi dan mengalihkan perhatian dunia internasional terhadap isu lingkungan, bumi sebagai rumah bersama, tempat tinggal makhluk bernama manusia dan makhluk-makhluk lain di sekitarnya.
Eksploitasi alam yang kian gencar dan didalangi oleh sistem besar bernama kapitalisme, telah meluluhlantakkan alam, merusak keseimbangan kosmos, memusnahkan sekian banyak binatang liar, tumbuh-tumbuhan, dan akhirnya mengganggu kehidupan manusia itu sendiri. Atas alasan ini, Paus Fransiskus, melalui ensiklik Laudato Si’, berani mengeluarkan seruan kritis dan menggaungkan kepada dunia bahwa bumi kita sedang tidak aman-aman saja. Bumi dilanda krisis akibat ulah manusia yang tidak bertanggungjawab.
Oleh karena itu, perlu ada komitmen serius dari semua elemen untuk menghentikan perbudakan terhadap alam dan memulai aksi-aksi baru menyelamatkan bumi sebagai rumah, saudari kita bersama.
Menelaah Krisis
Di tengah pesatnya kemajuan teknologi pada sejumlah bidang kehidupan manusia, kita perlu was-was. Sebagai makhluk yang selalu berdinamika dengan sistem dan pola kehidupan dari yang konservatif-konvensional sampai perkembangan teknologi digital, kita perlu bersyukur, karena dalam banyak hal pekerjaan yang dahulu sulit, lama, dan menghabiskan banyak energi, sekarang semakin mudah, cepat, efisien, dan sangat hemat tenaga.
Melalui internet, misalnya, kita dapat mengakses informasi tanpa batas ruang dan waktu. Transportasi yang memudahkan perjalanan kita dari satu tempat ke tempat lain. Atau penciptaan produk-produk teknologi yang melengkapi kebutuhan-kebutuhan kita. Transformasi teknologi perlu disambut baik untuk tujuan-tujuan yang baik pula. Dalam bahasa Paus Fransiskus, kita “bersukacita atas kemajuan ini dan bersemangat dengan peluang-peluang besar yang terus terbuka di hadapan kita oleh hal-hal baru itu”.
Meski demikian, sikap curiga perlu mendapat ruang dalam kesadaran kita sebagai makhluk rasional. Dalam Laudato Si’ ini, Paus Fransiskus sudah memberi kita awasan bahwa di balik kemajuan yang dibawa teknologi, ada segelintir (satu) kekuatan yang menyetir seluruh umat manusia dan seluruh dunia. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan dan kekuatan ekonomi (kapitalis) yang dapat menggenggam dunia hanya dalam satu tangan.
Herbert Marcuse, seorang filsuf dan kritikus sosial berdarah Yahudi, juga telah cukup lama melihat dan mengkritik bagaimana kekuatan kapitalis menguasai ruang kehidupan manusia dewasa ini. Teknologi ialah piranti dominasi yang memaksa manusia secara halus melalui sejumlah tawaran yang menggiurkan dan memudahkan. Manusia, menurut Marcuse, diperbudak teknologi. Dan situasi ini tidak berbeda jauh dengan perbudakan masa lalu.
Perbedaan mendasar bentuk perbudakan pada masyarakat teknologis dibandingkan perbudakan kentara sebelumnya ialah munculnya ciri mekanis atau dalam bahasa Marcuse, “perbudakan yang termekanisasi: segala sesuatu membuai dan bukan menindas, dan mereka membuai instrumen-instrumen manusia–tidak hanya tubuhnya tetapi juga pikiran dan bahkan jiwanya” (Herbert Marcuse, 1964).
Semarak kemajuan teknologi yang dirasakan manusia dewasa ini, sebetulnya tidak dibarengi pengembangan manusia dalam hal tanggung jawab, penanaman nilai-nilai positif, dan penajaman hati nurani. Menurut Paus Fransiskus, ketiga hal ini penting diberi perhatian. Justru ketika ketiganya terabaikan, orang akan dengan mudah menyalahgunakan kekuasaannya, lenyapnya nalar kritis rasional, raupnya determinisme diri, dan tumpul daya-daya etis manusiawi.
Sulit dielakkan bahwa teknologi dan kemajuan-kemajuan yang menyertainya saat ini merupakan hasil eksploitasi terhadap alam dan manusia sebagai pekerja. Ada sekian banyak pengorbanan, mengeksploitasi, penindasan yang kerap tidak disadari banyak orang. Dengan demikian, kita memahami bahwa sasaran pengeksploitasian itu, pada akhirnya, menyasar pula subjek-subjek manusia di bawah logika teknokratis-instrumental.
Krisis bukan hanya pada alam, melainkan juga pada subjek manusia itu sendiri. Subjek kapitalis memperbudak subjek-subjek lain yang lebih lemah (dalam logika kapitalisme disebut pengobjekkan) tanpa disadari atau merasa diperbudak. Perasaan sejahtera dan bebas ialah paradigma yang didesain secara teknokratis yang membuai para pekerja (subjek lemah) dan subjek-subjek pengguna teknologi.
Paradigma Teknokratis
Paus Fransiskus menegaskan, masalah mendasar dari permasalahan ekologis yang disebabkan oleh manusia dewasa ini ialah cara pandangan atau paradigma yang terlampau teknokratis. Menurut Paus, “model ini mengagungkan konsep subjek yang, dengan menggunakan prosedur yang logis dan rasional, secara progresif mendekati dan mengontrol objek yang ada di luar”.
Manusia, tanpa henti, telah melakukan campur tangan terhadap alam. Alam tidak lagi dibiarkan mengatur dirinya sendiri, tetapi karena ketamakan dan kerakusan manusia, ia diperas dan dieksploitasi demi kepentingan parsial dan dalam rangka menumpuk kekayaan. Paus Fransiskus berkesimpulan bahwa kondisi tersebut yang menyebabkan manusia dan benda alam tidak lagi saling mengulurkan tangan dengan ramah; hubungan telah menjadi konfrontatif.
Manusia, dalam hal ini para pemodal, teknologi, penguasa birokrat, telah menguras alam habis-habisan demi kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan kepentingan akan keseimbangan alam. Mereka mengklaim bahwa di bumi masih tersedia energi-energi dan sumber daya alam yang tetap dengan cepat dapat diperbarui walau terus menerus dikeruk, dihisap habis-habisan dan dampak-dampak negatif dari kerusakan alam itu dapat ditangkal dengan mudah. Oleh karena itu, menurut Paus, dapat dikatakan bahwa akar dari banyak masalah dunia sekarang adalah kecenderungan, yang tidak selalu disadari, untuk menetapkan metode dan tujuan teknosains menjadi paradigma pemahaman yang menentukan kehidupan individu dan cara kerja masyarakat.
Akibatnya ialah degradasi lingkungan. Paus juga menekankan bahwa produk-produk teknologi sebetulnya tidak netral, karena mereka menciptakan kerangka kerja yang pada akhirnya membentuk gaya hidup dan mengarahkan peluang-peluang di masyarakat ke arah kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa. Beberapa pilihan yang tampaknya mengenai peralatan teknis, dalam kenyataannya, adalah pilihan tentang corak kehidupan sosial yan ingin dikembangkan.
Bagaimana pun juga, paradigma teknokratis atau teknologis cenderung membawa logika dominasi dan bukan kesejahteraan manusia. Kesejahteraan menyeluruh hanya jargon belaka, karena tujuan sesungguhnya ialah keuntungan segelintir orang super kaya. Sistem yang bermain di balik itu adalah sistem kapitalisme yang menciptakan ragam kebutuhan manusia, menyediakan kemudahan-kemudahan, dengan mengorbankan alam melalui pengerukan-pengerukan dan eksploitasi besar-besaran.
Komitmen Bersama
Paus Fransiskus mengeluarkan seruan yang pada dasarnya mendesak semua elemen, seluruh keluarga manusia untuk mencari suatu pengembangan berkelanjutan dan terpadu. Paus meminta agar diadakan dialog baru tentang bagaimana kita membentuk masa depan planet kita.
Bagi dia, perlu ada percakapan intensif yang melibatkan semua orang, karena tantangan lingkungan yang kita alami serta akar manusiawinya menyangkut figur-figur manusia dan menjadi keprihatinan bersama. Paus mendorong terciptanya gerakan ekologi di seluruh dunia. Perjuangan ini, seperti diakui Paus sendiri, memang tidak mudah. Orang-orang yang punya komitmen besar terhadap isu merawat bumi dikalahkan oleh orang-orang kuat, kekuatan-kekuatan kapitalis yang dapat dengan mudah menyetir orang-orang kecil.
Namun, sebetulnya bukan tidak mungkin aksi penyelamatan bumi akan terjadi di banyak kalangan masyarakat. Menurut Paus Fransiskus, “kita semua dapat bekerja sama sebagai sarana Allah untuk melindungi keutuhan ciptaan, masing-masing sesuai dengan budayanya, pengalamannya, prakarsanya, dan bakatnya sendiri”.
Manusia tetap mempunyai kebebasan untuk membatasi dan mengarahkan teknologi untuk kepentingan-kepentingan positif, yang lebih sehat, lebih manusiawi, lebih sosial, dan lebih utuh. Manusia bisa terbebas dari paradigma teknokratis melalui suatu komitmen yang betul-betul menghindari kemungkinan mencemarkan, entah alam, orang lain, atau bahkan diri sendiri.
Paus Fransiskus mengangkat contoh pembebasan diri dari paradigma teknokratis, misalnya ketika koperasi pengusaha kecil memilih cara produksi yang kurang mencemarkan, sambil mendukung suatu model hidup, kebahagiaan dan kehidupan bersama yang kurang konsumeristis; atau ketika teknologi terutama diarahkan pada penyelesaian masalah konkret orang lain dalam semangat untuk membantu mereka hidup lebih bermartabat dan kurang menderita.
Memang kita tidak disarankan untuk kembali ke zaman konvensional dan konservatif. Akan tetapi, kita perlu menyambut perkembangan teknologi dan kemajuan-kemajuan yang dibawanya secara positif dan berkelanjutan sembari memperbaiki nilai-nilai dan tujuan-tujuan luhur dengan memuliakan alam.
***
*) Oleh : Astra Tandang, S.IP, MA., Pengurus Pusat PMKRI Periode 2022-2024
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |