TIMESINDONESIA, JOMBANG – Tinggal beberapa hari lagi kita akan mengakhiri puasa Ramadan, dan memasuki hari raya Idul Fitri. Bagi umat Islam, Idul Fitri merupakan momentum yang ditunggu saatnya tiba. Hari raya Idul Fitri merupakan kesempatan untuk saling bersilaturahmi antar sanak keluarga dan meminta maaf satu sama yang lainnya.
Bagi yang di luar kota, untuk bisa bertemu mereka berusaha pulang kampung, meski dengan biaya yang tidak murah dan harus rela berjibaku dengan kemacetan di jalan raya. Bila naik transportasi umum seperti kereta atau pesawat, mereka juga harus membeli tiket dengan harga paket Lebaran yang sangat fantastis. Mereka berusaha sekuat finansial agar bisa merayakan hari raya bersama keluarga besarnya.
Advertisement
Makna Hari Raya
Hari raya adalah hari yang penuh dengan kegembiraan. Karena itu, dianjurkan untuk saling memberikan selamat atas kebahagiaan yang diraih saat hari raya. Di antara dalil kesunnahannya adalah beberapa hadits yang disampaikan al-Imam al-Baihaqi, beliau dalam kitab Sunannya menginventarisir beberapa hadits dan ucapan para sahabat tentang tradisi ucapan selamat di hari raya.
Meski tergolong lemah sanadnya, namun rangkaian beberapa dalil tersebut dapat dibuat pijakan untuk persoalan ucapan hari raya yang berkaitan dengan keutamaan amal ini. Argumen lainnya adalah dalil-dalil umum mengenai anjuran bersyukur saat mendapat nikmat atau terhindari dari mara bahaya, seperti disyariatkannya sujud syukur.
Demikian pula riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang kisah taubatnya Ka’ab bin Malik setelah beliau absen dari perang Tabuk, Talhah bin Ubaidillah memberinya ucapan selamat begitu mendengar pertaubatnya diterima. Ucapan selamat itu dilakukan dihadapan Nabi dan beliau tidak mengingkarinya. Tidak ada aturan baku mengenai redaksi ucapan selamat ini. Salah satu contohnya “taqabbala allâhu minnâ wa minkum”, “kullu ‘âmin wa antum bi khair”, “selamat hari raya Idul Fitri”, “minal aidin wa al-faizin”, “mohon maaf lahir batin”, dan lain sebagainya.
Pada prinsipnya, setiap kata yang ditradisikan sebagai ucapan selamat dalam momen hari raya, maka sudah bisa mendapatkan kesunnahan tahniah ini. Bahkan, Syekh Ali Syibramalisi menegaskan tahniah juga bisa diwujudkan dalam bentuk saling bersalam-salaman. Karena itu, sangat tidak tepat klaim dari sebagian kalangan bahwa ucapan selamat hari raya yang berkembang di Indonesia tidak memiliki dasar dalil agama.
Berkaitan dengan ihwal tahniah ini, Syekh Abdul Hamid al-Syarwani menegaskan “Sebuah penutup. Al-Qamuli berkata, aku tidak melihat dari para Ashab (ulama Syafi’iyah) berkomentar tentang ucapan selamat hari raya, beberapa tahun dan bulan tertentu seperti yang dilakukan banyak orang. Tetapi al-Hafizh al-Mundziri mengutip dari al-Hafizh al Maqdisi bahwa beliau menjawab masalah tersebut bahwa orang-orang senantiasa berbeda pendapat di dalamnya. Pendapatku, hal tersebut hukumnya mubah, tidak sunnah, tidak bid’ah.”
“Al-Syihab Ibnu Hajar setelah menelaah hal tersebut menjawab bahwa tahniah disyariatkan. Beliau berargumen bahwa al-Baihaqi membuat bab tersendiri tentang tahniah, beliau berkata; bab riwayat tentang ucapan manusia satu kepada lainnya saat hari raya; semoga Allah menerima kami dan kalian;. Ibnu Hajar menyebutkan statemen al-Baihaqi tentang hadits-hadits dan ucapan para sahabat yang lemah (riwayatnya), akan tetapi rangkain dalil-dalil tersebut bisa dibuat argumen dalam urusan sejenis tahniah ini”.
Demikian penjelasan mengenai hal-hal yang disunnahkan saat hari raya Idul Fitri. Semoga di hari yang fitri, kita kembali bersih dari segala dosa dan segala penyakit hati.
Hari Raya Idul Fitri memang memiliki makna yang fenomenal bagi masyarakat. Pada hari tersebut, umat muslim merayakan karena telah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Pada masyarakat kita makna Idul Fitri diselaraskan dengan budaya lokal yang ada. Datangnya Idul Fitri disambut dengan penuh rasa syukur dan suka cita. Pada malam hari menjelang Idul Fitri, masyarakat tumpah ruah menggemakan takbir dan pagi harinya berbondong-bondong menunaikan salat Id. Acara kemudian dilanjutkan dengan silaturrahim. Kita saling bersalaman, bermaafan dan berkumpul bersama keluarga besarnya.
Idul Fitri tak hanya sekadar kembali suci, namun juga dimaknai sebagai bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas prestasi kemenangan yang diperoleh setelah menjalankan ibadah puasa Ramadan.
Tradisi silaturahmi ketika Lebaran merupakan warisan leluhur yang harus tetap dirawat dan lestarikan. Budaya silaturahmi mengandung kearifan lokal yang sudah mengakar di masyarakat. Silaturahmi memiliki makna persaudaraan, persahabatan, pertemanan dan penghormatan pada aspek kemanusiaan. Penghormatan anak pada orang tua. Penghargaan antar saudara, teman, tetangga dan sahabat.
Silaturahmi secara tatap muka, meminjam istilah Durkheim adalah bentuk solidaritas mekanis di masyarakat. Orang yang melakukan silaturahmi secara simbolis menunjukkan adanya keakraban sosial. Budaya silaturahmi ini menjadi penting dalam praktik sosial di masyarakat. Bila ada salah satu anggota keluarga (misal anak) yang absen bersilaturahmi, bahkan ada yang melabeli sebagai anak durhaka pada kedua orang tuanya. Silaturahmi telah berkembang menjadi simbol yang mengikat, bahkan pelakunya (yang tidak silaturahmi) akan mendapat sanksi sosial yang cukup berat dari masyarakat.
Pada saat ini makna silaturahmi telah berkembang tidak harus bertemu secara tatap muka. Silaturahmi tetap bisa dilakukan dengan cara virtual. Fenomena perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih telah mengubah segalanya dengan mudah. Media sosial berupa telpon, WA, Instagram, Facebook, email, dan Zoom Claud Meeting, merupakan sarana alternatif untuk melakukan silaturahmi. Media sosial telah berkembang dengan pesat dan saat ini hampir setiap orang sudah memiliki handphone.
Ada Pesan Perdamaian
Menjelang Idul Fitri biasanya mulai berseliweran ucapan “selamat hari raya” dari hampir semua grup WA dan ada juga yang di-share melalui WA pribadi. Pada WA akan sering muncul bunyi kling yang menunjukkan adanya notifikasi pesan masuk yang isinya tentang ucapan selamat hari raya Idul Fitri. Namun silaturahmi melalui media social dirasa belum cukup, karena manusia perlu perjumpaan secara face to face. Dalam perjumpaan secara fisik itulah ditemukan kesejawatan dan kehangatan dalam berinteraksi sosial.
Dari deskripsi tentang fenomena Idul Fitri ada satu pesan unik yang perlu disampaikan yaitu hadirnya perdamaian. Idul Fitri akan mempererat dan sekaligus memperkuat tali persaudaraan. Peristiwa silaturahmi akan dapat sebagai media untuk saling mendamaikan. Barangkali sebelumnya hubungan antar saudara, antar tetangga, antar teman seprofesi mengalami masalah, gangguan atau konflik maka melalui momentum silaturahmi dapat sebagai media untuk mendamaikan. Jadi hari raya Idul Fitri dapat sebagai cara untuk menciptakan kehidupan yang diwarnai perdamaian di masyarakat.
Idul Fitri juga dapat dipandang sebagai momentum bagi semuanya, terutama para pengambil kebijakan dan tokoh-tokoh politik, seperti anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk melakukan tabayun atau rujuk nasional. Bila sebelumnya mereka saling berantem, saling ngotot dengan argumentasi yang tidak jelas, saling mempertahankan egonya, maka saat Lebaran semuanya harus diakhiri. Kemenangan sejati adalah ketika seseorang mampu menaklukkan karakter egonya. Hidupnya menjadi pengamal nilai luhur dan pembela kemanusiaan. Harapannya pasca Lebaran mereka mampu menunjukkan sikap yang lebih toleran, moderat, merangkul dengan yang lainnya, sehingga atmosfir demokrasi nampak disemangati oleh perdamaian.
Idul Fitri juga dapat dimaknai sebagai momentum mengedepankan perilaku kebaikan bagi semuanya. Pasca Lebaran hendaknya kita bisa saling menghargai ikhtiar kebaikan yang dilakukan oleh siapa saja. Tradisikan mengapresiasi prestasi bukan mencaci, biasakan saling menyayangi bukan saling menyakiti. Bila keterulangan kebaikan menjadi pembiasaan, maka perilaku keburukan akan tersisihkan.
Mari kita bangun silaturahmi dalam sistem kehidupan kita, baik melalui tatap muka maupun secara tatap maya. Keduanya memiliki esensi yang sama, menjaga keharmonisan sosial. Mari kita maknai Idul Fitri 1444 Hijriah sebagai pesan menuju kehidupan yang dipenuhi dengan perdamaian. Kehidupan yang harmoni hendaknya menjadi misi suci dan spirit kita bersama di masa depan. (*)
***
*) Oleh : Bambang Cahyono, S.Pd, M.H., Guru Mulok Keagamaan Islam SDN Manduro 1 Kabuh, Jombang
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |