Indonesia Masa Depan: Ketika Jakarta Tidak Lagi 'Ibu Kota Negara'

TIMESINDONESIA, JAKARTA – PERAYAAN HUT Proklamasi, pada 17 Agustus 2024 nanti akan menjadi sejarah baru bagi Indonesia. Betapa tidak, perayaan ulang tahun kemerdekaan RI ke-79 itu menurut rencana tidak dipusatkan di Istana Merdeka di Jakarta lagi, melainkan di IKN Nusantara, Penajam Utara, Kalimantantan Timur. Begitula tekad bulat Presiden Joko Widodo, Kepala Negara Republik Indonesia saat ini.
Pertanyaannya, bagaimana nasib Jakarta yang selama hampir delapan dekade memainkan peran dan fungsi sebagai ibu kota negara?
Advertisement
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu merujuk ke Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) yang baru saja selesai dibahas pada rapat pleno tingkat I. Direncanakan dalam waktu dekat Badan Legislasi (Baleg) DPR akan membawa RUU ke sidang rapat paripurna DPR atau keputusan tingkat II sebagai Undang-Undang.
Sejatinya, ada beberapa poin penting RUU DKJ yang menjadi isu hangat selama pada beberapa waktu terakhir.
Di antaranya, konsep Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota hingga tahapan pemindahan lembaga negara ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, termasuk pemindahaan lembaga legislatif, DPR RI.
Jakarta, Kota Anglomerasi
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengungkapkan status Jakarta seusai tak lagi menjadi daerah khusus ibu kota (DKI), akan berubah menjadi ‘kota aglomerasi’ (urban angglomeation/angglomeration city).
Per defenisi, kota aglomerasi adalah perluasan wilayah kota yang terdiri dari kawasan terbangun di suatu tempat pusat dan setiap pinggiran kota yang dihubungkan oleh kawasan perkotaan yang berkesinambungan.
INSEE, Institut Statistik Perancis, menggunakan istilah unité urbaine, yang berarti kawasan perkotaan yang berkelanjutan.
Contoh kota anglomerasi di dunia antara lain Tokyo dan Osaka di Jepang, Delhi dan Mumbay di India, Beijing dan Shanghai di Cina, São Paulo di Brasil, Mexico City di Meksiko, Kairo di Mesir, dan Dhaka di Bengladesh.
Dalam konteks Jakarta, anglomerasi berarti pembangunan kota Jakarta akan diikuti dengan pembangunan kota-kota satelitnya yaitu Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur atau Jabodetabekjur.
Tito mengatakan, opsi kota aglomerasi ini dipilih dengan maksud agar arah pembangunan Jakarta tidak berubah. Artinya, secara administrasi Jakarta akan tetap dikembangkan menjadi kota megapolitian atau metropolitan.
Menurut Tito Karnavian, konsep kota aglomerasi dikenakan pada Jakarta karena saat ini kota tersebut tak memiliki batas wilayah secara alam. Lagi pula, warga masyarakat sudah bercampur dan berpadu dalam berbagai aktivitas sosial-ekonomi dan budayanya. Mereka pun menghadapi permasalahan yang sama, seperti polusi, sampah, banjir, kepadatan penduduk, hingga kemacetan lalu lintas.
Menurut dia, arah pembangunan baru Jakarta, dan statusnya sebagai daerah khusus sedang dibahas antara pemerintah, Baleg DPR, dan DPD melalui pembahasan RUU DKJ.
Jakarta: New York-nya Indonesia
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mengibaratkan bahwa setelah status Daerah Khusus Ibu Kota atau DKI dicabut dari Jakarta, maka arah pembangunannya akan menjadi kota bisnis seperti New York di Amerika Serikat dan Melbourne di Australia. Dengan kata lain, Jakarta menjadi ‘New-York’ atau ‘Melbourne’nya Indonesia.
Berkenaan dengan itu, RUU DKJ sangat penting dibahas secara cermat. Sebab hal itu akan menjadi landasan hukum pembentukan dan pembangunan Jakarta ke depan. Selain itu, dibutuhkan komitmen dan kolaborasi antara DPR, DPD, dan Pemerintah guna mewujudkan visi bersama yaitu membangun Jakarta menjadi kota kelas dunia.
Artinya, ke depannya, Jakarta akan dibangun menjadi kota internasional yang tidak lagi berkompetisi dengan kota-kota besar di kawasan ASEAN, melainkan bersaing dengan kota-kota besar di dunia seperti New York, Melbourne, Beijing atau pun Tokyo.
Meski tidak lagi menjadi pusat pemerintahan, kota Jakarta akan tetap memainkan peran sentral sebagai pusat perekonomian, jasa, perbankan, dan lain-lain.
Kewenangan Wapres
Mendagri Tito menjelaskan, pembangun dan pengelola Jakarta dengan konsep baru, akan ditangani langsung oleh Wakil Presiden atau Wapres. Peran Wapres yang memimpin pembangunan itu akan serupa seperti pembangunan Papua, melalui Badan Pengarah Papua (BPP).
Meski demikian, Wapres hanya akan berperan sebagai pihak yang mengharmonisasikan kebijakan, sinkronisasi, dan evaluasi. Artinya, wapres tidak mengambilalih kebijakan pembangunan dari pemerintah daerah atau pemda. Sebab, eksekusi kebijakannya tetap dilakukan oleh masing-masing pemda di wilayah yang termasuk aglomerasi, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur.
Gubernur Jakarta Dipilih Rakyat
Isu krusial lainnya yang mengemuka dalam RUU DKJ adalah soal gubernur Jakarta. RUU menetapkan bahwa setelah statusnya hilang sebagai daerah khusus ibu kota atau DKI, gubernur Jakarta tak lagi ditunjuk oleh presiden.
Artinya, gubernur Jakarta akan ditentukan melalui proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti yang berlaku pada daerah lainnya.
Aset Negara Tak Diserahkan ke Jakarta
Melalui RUU DKJ, pemerintah dan DPR juga sepakat untuk menghapus pasal yang mengatur mengenai ketentuan penyerahan aset pemerintah pusat ke pemerintahan Provinsi Jakarta.
Ketentuan itu mulanya masuk dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) 561 yang merancang Pasal 61 RUU DKJ. Pasal tersebut berbunyi: “Pemerintah Pusat menyerahkan kepemilikan dan pengelolaan Kawasan Gelora Bung Karno, Kawasan Monumen Nasional, dan Kawasan Kemayoran kepada Provinsi Daerah Khusus Jakarta.”
Pemerintah bersikukuh menghapus pasal itu, sebab kewenangan pengelolaan barang milik negara adalah tanggung jawab pemerintah pusat melalui menteri keuangan. DPR memahami sikap pemerintah sehingga sepakat untuk menghapus ketentuan itu. Namun dengan catatan menambahkan ketentuan mengenai kemudahan pemanfaatan aset yang diusulkan oleh DPR.
Data Pajak
Pemerintah dan Baleg DPR juga sepakat membatalkan ketentuan tentang bolehnya pemerintah provinsi Jakarta mendapat seluruh data perpajakan dari Kementerian Keuangan, saat rapat daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU DKJ.
Ketentuan itu sebelumnya diusulkan dalam draf Pasal 40 ayat 1 RUU DKJ yang berbunyi: “Dalam rangka pengelolaan pendapatan daerah, kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan memberikan seluruh data jumlah PPh 21, PPh 25, dan PPh 29 yang dipungut di wilayah DKJ sebagai dasar perhitungan dana bagi hasil.” Dalam rangka pengelolaan pendapatan daerah, rapat meneypakati agar ketentuan itu diubah.
Artinya, Pemprov DKJ hanya dapat meminta informasi penetapan dana bagi hasil (DBH) yang menjadi pendapatan Provinsi DKJ sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, karena adanya ketentuan kerahasian dalam UU Perpajakan.
Pemerintah dan DPR pun sepakat tidak menetapkan target waktu khusus untuk memindahkan seluruh kegiatan pemerintahan dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Hal ini juga tertuang dalam rumusan Pasal 65 RUU DKJ yang tengah dibahas oleh Baleg DPR bersama Pemerintah dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Nomor 572.
Rumusan Pasal 65 dalam DIM 572 itu berbunyi: “Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan pemindahan Ibu Kota Negara secara bertahap, penyelenggaraan urusan pemerintahan dan/atau kenegaraan termasuk tempat kedudukan lembaga Negara, lembaga dan organisasi lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan berkedudukan di Ibu Kota Negara, masih tetap dapat dilaksanakan atau berkedudukan di wilayah Daerah Khusus Jakarta sesuai dengan tahapan yang tertuang dalam peraturan presiden yang mengatur mengenai perincian rencana induk Ibu Kota Nusantara (IKN).”
Jakarta: ‘Ibu Kota Legislasi’?
Salah hal yang muncul dalam rapat antara DPR dan Pemerintah tentang daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU DKJ adalah usulan untuk menjadikan Jakarta sebagai Ibu Kota Legislasi, setelah menanggalkan status khusus DKI karena ibu kota pindah ke IKN Nusantara. Usulan tersebut merujuk pada praktik penetapan ibu kota yang terjadi di seluruh dunia saat ini.
Memang, terdapat total 195 negara di dunia saat ini, dengan masing-masing negara memiliki satu ibu kota pemerintahan. Namun, selain itu terdapat 13 negara di dunia yang memiliki beberapa ibu kota yaitu Afrika Selatan, Belanda, Benin, Bolivia, Chili, Georgia, Malaysia, Montenegro, Pantai Gading, Srilank, Swaziland, Yaman dan Tanzania. Afrika Selatan misalnya memiliki tiga ibu kota yaitu ibu kota untuk pemerintahan eksekutif di Pretoria, pemerintahan yudikatif berada di Bloemfontein, dan pemerintahan legislatif di Cape Town.
Pemerintah Indonesia berpendapat praktik di 13 negara tersebut tak dapat dijadikan rujukan karena Republik ndonesia adalah sebuah negara kesatuan. Satu prinsip penting dalam NKRI adalah pemerintahan meliputi tiga lembaga yang berjalan secara bersama-sama, yaitu lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif. Maka, DPR sebagai lembaga legislatif harus ikut pindah ke IKN sehingga dapat mengawasi jalannya pemerintahan NKRI dari dekat. Usulan menjadikan Jakarta sebagai ibu kota legislasi tidak masuk dalam kesepakatan tingkat satu rapat pleno antara DPR dan Pemerintah. (*)
* Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith Thoriqoh Al-Mu'tabarah An -Nahdliyyah (PP MATAN)
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Yatimul Ainun |
Publisher | : Sholihin Nur |