
TIMESINDONESIA, SEMARANG – “Do not attack me because if you do, something unacceptably horrible will happen to you” ("jangan menyerang saya, atau akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepadamu”). Begitulah pandangan Griffiths dan O’Callaghan (dalam Baylis, 2002) yang kira-kira bisa dikutip Iran untuk menggambarkan posisinya saat ini.
Usai misil Israel menghancurkan gedung dan menewaskan 16 orang, termasuk dua jenderal Garda Revolusi Iran (IRGC) yakni Brigadir Jenderal Mohammad Reza Zahedi dan Brigadir Jenderal Mohammad Hadi Haji Rahimi di Kantor Kedutaan Iran di Damaskus pada Senin (1/4/2024), Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei kemudian bersumpah untuk membalas aksi tersebut.
Advertisement
Sabtu (13/4/2024) malam waktu setempat, Teheran kemudian meluncurkan ratusan drone hingga rudal untuk melakukan serangan balasan ke wilayah Israel. Duta besar Iran untuk PBB, Amir Saed Iravani beralasan bahwa serangan Iran merupakan aksi bela diri usai Israel menyerang gedung Konsulat Iran di Suriah (Kompas, 14/4/2024).
Dunia Internasional pun heboh. Atas permintaan Israel, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menggelar rapat darurat. Lalu, Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat mengecam serangan Iran. Namun sebagian negara, termasuk Indonesia prihatin atas krisis Timur Tengah yang makin bereskalasi itu. Mereka ingin Israel-Iran, sama-sama menahan diri demi kepentingan dunia.
Usai dihujani misil Teheran, otoritas Zionis itu mengklaim bahwa kerusakan yang terjadi akibat serangan Iran amatlah minim. Juru bicara IDF (Pasukan Pertahanan Israel), Laksamana Muda Daniel Hagari, mengatakan beberapa misil Iran menghajar wilayah Israel dan hanya menimbulkan kerusakan kecil di satu pangkalan militer – tetapi tidak memakan korban (BBC, 15/4/2024).
Pesan terhadap Israel dan Dunia Arab
Serangan balasan Iran terhadap Israel merupakan aksi nyata negeri Persia tersebut. Serangan perdana sejak konflik berkepanjangan di Timur Tengah, Oktober 2023 lalu itu bukan sekedar gertakan semata. Bagi Iran, kantor diplomatik adalah bagian dari kedaulatan sebuah negara sehingga setiap serangan terhadap kompleks ini sama halnya dengan menyerang negara itu.
Pasal 51 Piagam PBB sendiri menyatakan setiap negara berhak membela diri dari serangan luar. Dan, pasal ini pula yang dipakai negara dengan julukan "Negeri Seribu Mullah" itu sebagai penguat aksi balasan ke Israel pada 14 April.
Teheran ingin memberi pesan kepada dunia bahwa ia tak akan berdiam diri, melainkan menjunjung tinggi kedaulatannya. Dalam pandangan Iran, Israel tak boleh dibiarkan terus-menerus mengeksekusi warganya tanpa ada balasan. Menyerang Israel adalah bagian dari unjuk kekuatan yang jika tidak dilakukan justru akan membuat Israel dan musuh-musuh Iran di dunia Arab serta kawasan lainnya menganggap Teheran sebagai pemerintahan yang lemah (Antara, 19/4/2024).
Untuk itu, usai menghujani Israel dengan rudal dan drone-nya, Teheran menggelar aksi 'show of force' dengan memamerkan drone, rudal dan pasukannya, Rabu (14/4/2024). Parade militer dengan berbagai peralatan militernya termasuk drone dan rudal balistik jarak jauh setidaknya menunjukkan kesiapannya dalam menghadapi respons apa pun dari Israel. Apalagi Tel Aviv telah bersumpah akan membalas serangan udara Teheran. Adapun, senjata yang ditampikan diantaranya terdapat beberapa versi drone Ababil, Arash dan Mohajer, kemudian juga rudal balistik jarak menengah Dezful dan sistem rudal pertahanan udara S-300 (detik.com, 18/4/2024).
Deterrence sebagai Pendekatan
Langkah serangan balasan Iran terhadap Israel ditinjau dari kacamata Ilmu Hubungan Internasional sebenarnya tak jauh dari praktik deterrence (pencegahan). Paul Huth (1999) mengemukakan deterrence sebagai konsep “as the use of threats by one party to convince another party to refrain from initiating some course of action” (penggunaan "ancaman" oleh suatu pihak yang bertujuan untuk meyakinkan pihak lain agar menahan diri dari memulai tindakan-tindakan yang pada dasarnya bersifat ofensif).
Kaitannya dengan konflik Iran-Israel, Teheran dalam hal ini berupaya untuk mencegah lawan dengan suatu "kekuatan" bahwa negara yang mengusung konsep republik Islam tersebut juga mampu menggunakan kekuatan militernya untuk melawan musuh-musuhnya, termasuk menjangkau Israel. Terdapat usaha untuk mencegah lawan menggunakan apa yang ingin dilakukan pihak yang lain, maksudnya adalah mencegah agar pihak lain tidak turut serta. Tujuannya, untuk mencegah terjadinya permusuhan secara lebih terbuka. Strategi ini juga merupakan sebuah strategi perlindungan (Agustini, 2014).
Primary deterrence dipakai Iran untuk mencegah agar potensial agresor (Israel) tidak menyerang kembali serta menyudahi konflik. Dalam konteks ini, Teheran dengan segenap kekuatan militer yang jauh lebih kuat dibanding kekuatan militer Israel, menggelar parade militer. Meski demikian Presiden Iran Ebrahim Raisi mengancam akan menyerang Israel secara membabi buta jika berani membalas gempuran Teheran pada Sabtu (13/4) lalu.
Huth (1999) memandang skenario deterrence akan dianggap berhasil, jika strategi yang dilakukan oleh negara tersebut berhasil membuat pihak lain percaya bahwa biaya yang akan dikeluarkan jika negara tersebut menyerang akan jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan didapat. Dan buktinya, Israel diketahui telah menghabiskan sekira 1,5 miliar dolar AS hanya untuk mencegat rudal dan drone yang dikerahkan Iran menuju Tel Aviv (zonajakarta.com, 15/4/2024).
Namun kenyataan sungguh tak seindah teori. Skenario deterrence yang diupayakan Iran nampak tak berarti. Kini negeri Zionis Israel meluncurkan rudal balasan terhadap Iran pada Jumat (19/4/2024) dini hari. Menurut kantor berita semi-resmi Iran FARS seperti dikutip CNBC (Jumat, 19/4/2024), sebuah ledakan terdengar di kota Ghahjaworstan di Iran (terletak di barat laut kota Isfahan).
Kantor berita resmi Iran, IRNA, melaporkan bahwa sistem pertahanan udara diaktifkan di beberapa wilayah sebagai pencegahan terhadap ancaman udara. Ditegaskan juga oleh IRNA dalam laporan terbarunya bahwa tidak ada kerusakan besar yang terjadi di wilayah Iran. Meski demikian, skenario Teheran dengan konsep deterrence patut gagal, apalagi negara itu masih ada dalam bayang-bayang serangan musuhnya: Israel!
***
*) Oleh : Didik T. Atmaja, Penstudi Politik Internasional dan Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |