Ketupat dan Lepet: Perspektif Sejarah, Budaya, dan Agama

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Ketupat dan lepet, dua makanan tradisional yang umumnya ditemukan di berbagai budaya di Asia Tenggara, memiliki signifikansi yang dalam pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari perspektif sejarah, budaya, dan agama, ketupat dan lepet bukanlah sekadar makanan biasa, melainkan juga membawa makna yang mendalam yang diwariskan dari generasi ke generasi. Tradisi kupatan yang merupakan hasil dari akulturasi budaya tidaklah bertentangan dengan syariat Islam. Karena dalam praktiknya tradisi kupatan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam, yaitu ajaran untuk berdoa kepada Allah SWT, sedekah, dan menyambung tali silaturahmi sehingga membentuk integrasi sosial yang kuat.
Secara historis, ketupat dan lepet diyakini berasal dari tradisi masyarakat agraris di Asia Tenggara. Para petani menggunakan daun kelapa atau janur sebagai wadah untuk mengemas nasi yang kemudian dimasak dalam air mendidih. Proses memasak ini menghasilkan tekstur yang padat dan kompak, menjadikan ketupat dan lepet makanan yang tahan lama dan cocok untuk dibawa saat bepergian. Sejarah lebaran ketupat diperkenalkan pertama kali oleh salah satu wali songo, yakni Sunan Kalijaga. Kala itu Sunan Kalijaga memperkenalkan istilah ba’da atau bakda lebaran dan bakda kupat yang artinya sesudah lebaran atau sesudah kupat.
Advertisement
Pembuatan ketupat dan lepet bukanlah sekadar proses memasak, melainkan juga suatu upacara tradisional yang memperlihatkan kebersamaan dan kekompakan dalam masyarakat. Biasanya, pembuatan ketupat dan lepet dilakukan bersama-sama oleh keluarga atau komunitas pada saat-saat khusus seperti menjelang hari raya atau perayaan budaya lainnya. Aktivitas ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial antarindividu, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai seperti kesabaran, kerjasama, dan kebersamaan. Kemudian terciptalah tradisi pembuatan ketupat dan diantarkan ke kerabat dekat atau orang yang lebih tua. Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh masyarakat jawa yang selalu digelar setelah perayaan hari raya Idul Fitri sebagai harapan agar dapat saling memaafkan.
Dalam beberapa kepercayaan dan agama di Asia Tenggara, ketupat dan lepet juga memiliki makna spiritual yang dalam. Misalnya, dalam agama Islam, ketupat dan lepet seringkali dihubungkan dengan puasa Ramadan atau Idul Fitri. Makanan ini dianggap sebagai simbol rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Tuhan serta sebagai sarana untuk berbagi dengan sesama yang kurang beruntung. Dalam konteks agama, ketupat dan lepet tidak hanya merupakan sekadar makanan lezat, tetapi juga menjadi bagian penting dari ritual keagamaan di beberapa masyarakat Asia Tenggara, terutama dalam agama Islam. Makna agama dalam ketupat dan lepet tercermin dalam beberapa aspek:
Pertama, Puasa Ramadan dan Idul Fitri: Ketupat dan lepet sering kali menjadi bagian dari hidangan khas yang disajikan saat berbuka puasa atau saat menyambut Idul Fitri. Masyarakat Muslim memandang hidangan ini sebagai simbol keberkahan dan berkat dari Tuhan yang diberikan kepada umatnya setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Konsumsi ketupat dan lepet pada saat-saat istimewa ini mencerminkan rasa syukur atas nikmat Tuhan dan sebagai sarana untuk memperkuat ikatan sosial antarindividu.
Kedua, Simbol Kesederhanaan dan Kepedulian Sosial: Dalam ajaran agama Islam, kesederhanaan dan keprihatinan terhadap sesama adalah nilai-nilai yang ditekankan. Ketupat dan lepet, sebagai makanan yang relatif sederhana dalam proses pembuatannya, mengajarkan umat Islam untuk menghargai nikmat Tuhan bahkan dalam hal-hal yang sederhana. Selain itu, makanan ini seringkali dibagikan kepada yang kurang beruntung sebagai bentuk kepedulian sosial dan solidaritas dalam masyarakat.
Ketiga, Menyatukan Umat dalam Keberagaman: Ketupat dan lepet tidak hanya dimakan oleh umat Muslim, tetapi juga menjadi hidangan yang disukai oleh berbagai komunitas etnis dan agama di Asia Tenggara. Dalam konteks ini, makanan ini memainkan peran penting dalam menyatukan umat dalam keberagaman, mengingatkan mereka akan persamaan nilai-nilai kemanusiaan dan persaudaraan di antara mereka.
Dengan demikian, makna agama dalam ketupat dan lepet melampaui sekadar aspek kuliner, melainkan juga mencakup nilai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan solidaritas sosial dalam ajaran agama Islam. Konsumsi dan pemanfaatan makanan ini dalam konteks keagamaan menjadi pengingat bagi umat untuk senantiasa bersyukur atas nikmat Tuhan, berbagi dengan sesama, dan memperkokoh ikatan sosial dalam masyarakat.
Beda halnya, dalam tradisi Jawa, ketupat dan lepet memiliki makna yang mendalam dan menjadi bagian integral dari berbagai perayaan dan ritual budaya. Berikut adalah beberapa makna dan konotasi ketupat dan lepet dalam tradisi Jawa: Pertama, Simbol Keseimbangan dan Keselarasan: Dalam filsafat Jawa, konsep keseimbangan dan keselarasan (harmoni) sangat penting. Bentuk segi delapan pada ketupat dianggap sebagai simbol keseimbangan dan keselarasan antara langit dan bumi, serta antara manusia dengan alam semesta. Dalam konteks ini, ketupat dan lepet menjadi representasi dari prinsip keharmonisan yang dijunjung tinggi dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Kedua, Perlambang Kebatinan dan Spiritualitas: Di samping dimaknai secara fisik, ketupat dan lepet juga memiliki makna kebatinan dan spiritualitas dalam tradisi Jawa. Masyarakat Jawa seringkali mengaitkan bentuk segi delapan pada ketupat dengan filosofi alam semesta, yang melambangkan pencarian makna hidup dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Ketiga, Simbol Kesetiaan dan Persaudaraan: Pembuatan ketupat dan lepet seringkali dilakukan secara bersama-sama oleh keluarga atau komunitas, menggambarkan nilai-nilai seperti kebersamaan, kesetiaan, dan persaudaraan dalam masyarakat Jawa. Aktivitas ini tidak hanya menguatkan ikatan sosial antarindividu, tetapi juga memperkuat rasa solidaritas dan kebersamaan di antara anggota masyarakat.
Keempat, Tradisi Ritual dan Perayaan: Ketupat dan lepet seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai upacara adat dan perayaan di Jawa, seperti Lebaran, pernikahan, dan acara-acara keagamaan lainnya. Konsumsi makanan ini tidak hanya menjadi simbol kebahagiaan dan kesuksesan dalam perayaan tersebut, tetapi juga menjadi cara untuk menghormati leluhur dan meneruskan tradisi nenek moyang kepada generasi mendatang.
Kelima, Penguatan Identitas Budaya: Dalam konteks yang lebih luas, ketupat dan lepet juga menjadi simbol dari identitas budaya Jawa yang kaya dan beragam. Melalui pembuatan, konsumsi, dan perayaan yang terkait dengan makanan ini, masyarakat Jawa menjaga dan memperkuat akar budaya mereka serta melestarikan warisan nenek moyang.
Dengan demikian, ketupat dan lepet bukan hanya sekadar makanan dalam tradisi Jawa, tetapi juga merupakan simbol dari nilai-nilai kehidupan, spiritualitas, persaudaraan, dan identitas budaya yang melekat dalam masyarakat Jawa. Keberadaan makanan ini memperkaya makna dan simbolisme dalam berbagai aspek kehidupan dan tradisi budaya di Jawa.
***
*) Oleh : Khoirul Umam, Kaprodi PAI FAI Unhasy Tebuireng Jombang
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |