
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja melihat keluhan mengenai sulitnya meningkatkan literasi siswa di Indonesia, alasannya siswa dibebani banyak tugas sehingga tidak sempat membaca buku seperti novel, buku pengembangan diri dan buku lainnya yang dianggap dapat meningkatkan literasi.
Memang, jika dilihat di berbagai angka survei, literasi kita masih dianggap rendah. Dengan beberapa kriteria nilai yang harus dipenuhi, siswa dan masyarakat di dunia pendidikan dituntut untuk menaikkan angka-angka itu agar Indonesia angka literasinya naik.
Advertisement
Saya enggan menyalahkan siapapun mengapa angka literasi kita rendah, akan tetapi jika kita lihat secara garis besar tanpa harus terpaku kepada nilai-nilai survei, sebetulnya angka literasi kita tidak begitu rendah bahkan cenderung naik. Namun perlu melihat dalam literasi yang lebih luas sehingga kenaikan terlihat.
Misalnya, saya melihat beberapa siswa saat ini banyak dibebani tugas berupa praktik baik itu ranah sosial atau pun sains. Dan ternyata banyak yang sudah menguasai tugas-tugas praktik di luar membaca buku novel, juga tentunya pengalaman mereka sebagai siswa lebih banyak dibandingkan saya saat menjadi siswa.
Bukan hanya itu, tidak sedikit juga siswa yang berhasil meraih banyak prestasi di bidang ilmu masing-masing, hanya tidak terekspos saja di media seperti oknum artis yang sering viral padahal tidak punya prestasi apapun. Lantas masih pantas melihat literasi kita rendah?
Merdeka Belajar dan Naiknya Angka Literasi Siswa
Merdeka Belajar melalui Kurikulum Merdeka memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan salah satunya adalah meningkatkan literasi peserta didik, hal ini diatur dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada PAUD, Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.
Setidaknya melalui Kurikulum Merdeka, proses pembelajaran memiliki beberapa prinsip pertama adalah pembelajaran yang berpusat pada muatan esensial yang digunakan untuk mengembangkan kompetensi serta karakter murid agar dapat memahami pembelajaran yang mendalam dan bermakna, hal ini disebutkan agar dapat menjawab tantangan literasi seperti literasi finansial, iterasi digital serta literasi dasar.
Tidak hanya itu, prinsip fleksibel dalam kurikulum merdeka dapat menyesuaikan kebutuhan pengembangan kompetensi murid sesuai konteks lingkungan dan budaya lokal di masing-masing daerah, sehingga pendidik dapat menilai dan melakukan proses pembelajaran yang fokus terhadap literasi jika di rasa, literasi di sana masih kurang.
Di luar kurikulum merdeka, merdeka belajar pun pada episode 23 yaitu buku bacaan untuk literasi Indonesia sebagai upaya peningkatan literasi peserta didik, sehingga sudah banyak yang dilakukan oleh siswa dan pendidik untuk meningkatkan kemampuan membaca, berhitung dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Kurikulum Merdeka pun memasukkan literasi dalam Asesmen Kompetensi minimal melalui Asesmen Nasional. Hal ini bertujuan agar pemerintah dan sekolah dapat melihat kemampuan literasi peserta didik di satuan pendidikan. Jika nilai literasinya masih rendah maka satuan pendidikan bisa berfokus untuk meningkatan kemampuan literasi siswannya.
Firdaus dan Hadi (2023) dalam jurnalnya mengatakan sebenarnya Kurikulum Merdeka memberikan penekanan pada pengembangan kemampuan berbahasa termasuk keterampilan berbicara, membaca, menulis dan mendengarkan. Membaca dan menulis merupakan kompetensi dasar literasi yang harus dimiliki peserta didik.
Ada beberapa contoh aksi nyata literasi dalam kurikulum merdeka, pertama adalah pembiasaan membaca buku di 15 menit sebelum pembelajaran di mulai, lalu membiasakan siswa untuk membaca dan bercerita ketika proses pembelajaran hingga peserta didik dapat menjelaskan suatu persoalan yang sedang dipelajari.
Peningkatan literasi yang sudah terjadi pada siswa saat ini, misalnya setelah proses pembelajaran, banyak siswa yang gemar membaca buku, bercerita dan bahkan menyelesaikan masalah, ini dibuktikan dengan banyaknya prestasi siswa dalam melakukan inovasi di kehidupan sehari-hari dan ini tidak didapatkan di kurikulum sebelumnya.
Peningkatan lainnya adalah saat ini, banyak siswa yang sudah menjadi penulis bahkan membuat buku walaupun masih buku kumpulan tulisan. Bayangkan, karya-karya siswa sekolah sekarang sangat mudah ditemui di google book maupun aplikasi perpustakaan nasional yaitu Ipusnas. Tentu ini sebuah kemajuan dan peningkatan literasi di Indonesia.
Penguatan dan peningkatan literasi pada siswa sebetulnya sudah perlahan naik, hanya saja mereka tidak terpublikasi dengan baik. Alasannya tentu tidak memiliki daya jual. Bahkan bisa dikatakan “Apa kerennya peningkatan literasi siswa dibandingkan mereka yang viral dengan tidak kebermanfaatan di media sosial.”
Bahkan data rapor pendidikan 2024 yang sudah dirilis oleh Kemendikbudristek mengatakan capaian literasi merdeka belajar lebih baik dari K-13 dengan bukti-bukti yang saya sebutkan di atas sebagai karya nyata siswa, Dan ini tentunya masih harus ditingkatkan sehingga perlahan hasilnya akan terlihat.
Literasi Meningkat, Mengapa Indonesia Masih Berada di Posisi Bawah
Peningkatan literasi yang dilakukan oleh siswa sebetulnya sudah dirasakan, namun masih menjadi pertanyaan mengapa posisi literasi Indonesia masih dalam posisi terbawah bahkan kalah dengan beberapa negara di Asia dan tertinggal jauh?
Jawabannya mudah, peningkatan literasi kita tidak sesuai dengan poin atau nilai survei yang ditanyakan oleh peneliti seperti yang saya sampaikan di awal tulisan ini, sehingga berdampak pada rendahnya nilai literasi kita, Namun, jika kita menyesuaikan peningkatan literasi sesuai yang lembaga survei inginkan, kita tidak mendapatkan pengalaman literasi secara luas.
Lalu, pantaskah kita masih mempertanyakan mengapa literasi Indonesia Rendah? Apalagi menganggap guru dan siswa kita rendah literasinya karena sistem pendidikan yang seperti ini?
***
*) Oleh : Fathin Robbani Sukmana, Pemerhati Pendidikan
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |