Kopi TIMES

Esensi Halal Bihalal

Selasa, 30 April 2024 - 12:27 | 50.73k
Oleh: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Oleh: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Salah satu tradisi yang selalu hadir saat bulan syawal tepatnya pada waktu hari raya Idulfitri yakni Halalbihalal. Biasanya Halalbihalal dilakukan dengan bersilaturahmi ke rumah tetangga, saudara, dan kerabat. 

Pada acara Halalbihalal, tiap orang akan saling memaafkan dan bersalam-salaman. Halalbihalal menjadi tradisi yang terus berkembang hingga saat ini. Halalbihalal juga berkembang menjadi ajang "open house", di mana sebuah rumah atau instansi mengundang orang untuk datang bersilaturahmi. Halalbihalal ternyata memiliki sejarah sendiri di Indonesia. Tradisi ini merupakan tradisi asli Indonesia yang tak dapat ditemukan di negara-negara lain. Nah, seperti apa sejarah Halalbihalal dan apa maknanya?

Advertisement

Halal bihalal memang terdengar seperti berasal dari bahasa Arab. Halal bihalal sebenarnya berasal dari kata serapan 'halal' dengan sisipan 'bi' yang berarti 'dengan' (bahasa Arab) di antara 'halal'.  Namun, Halalbihalal sebenarnya bukan berasal dari Arab, melainkan merupakan tradisi yang dibuat di Indonesia. 

Kata Halal bihalal bahkan sudah dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Dalam KBBI, Halal bihalal berarti hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dan sebagainya) oleh sekelompok orang. Halalbihalal juga diartikan sebagai bentuk silaturahmi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sejarah halal bihalal terdokumentasikan dalam catatan sejarah, namun yang menjadi patokan adalah gagasan yang disampaikan oleh KH Abdul Wahab Chasbillah pada tahun 1948 di kala Presiden Soekarno meminta solusi pada Mbah Wahab untuk menyelesaikan konflik yang terjadi pada elite politik di pemerintahan.

Sowan yang dilakukan Bung Karno itu membuahkan jalan keluar, yakni diselesaikan dengan silaturahim. Hanya saja istilah itu sudah lumrah dikenal masyarakat. Akhirnya, sambungnya, Mbah Wahab menggantinya dengan istilah baru, yakni halal bihalal. Para elite politik yang tak mau bersatu dikumpulkan dalam suatu meja supaya mereka tidak punya dosa atau harus dihalalkan dosanya. Hingga kini cerita legendaris ini dikenal oleh masyarakat luas.

Gagasan Mbah Wahab menjadi dua argumentasi ilmiah. Pertama, adanya thalabu halal li thariqi halal. Maksudnya, menyelesaikan masalah dalam sebuah keharmonisan dengan cara mengampuni sebuah kesalahan. Kedua, membedakan kesalahan yang dibalas dengan kebebasan atau memaafkan. Makanya saat lebaran, warga menggunakan istilah kosong-kosong.

Jadi esensi halal bihalal adalah memberikan maaf pada orang lain. Istilah halal bihalal semakin berkembang yang kini dikenal dengan sebutan temu kangen atau reuni yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri. Berdasarkan pengamatan sosial,halal bihalal konten pemersatu lewat silaturrahim, hakikatnya adalah adanya kelapangan dada untuk melepas rasa sakit, menciptakan suasana yang kondusif, membangun sesuatu yang baik bagi agama, bangsa, dan negara. 

Halal bihalal harus menggembirakan. Lewat acara makan-makan, minun-minuman yang enak, besenda gurau, cerita masa lalu, dan lainnya, menjadi bumbu halal yang berkembang saat ini atau tidak sekedar maaf-maafan. Bahkan ada pula ajang cari jodoh.

Intinya banyak hikmah di balik halal bihalal., Rangkaian kegiatan halal bihalal tidak lepas dari watak masyarakat Indonesia. Karena watak masyarakat mengedepankan adat ketimuran yang ramah, santun, toleran, tolong menolong. Hasil survei tahun 2009 menyatakan, 98 persen warga Indonesia murah senyum. Ini menunjukkan bahwa masyarakat suka berbagi, berkumpul dan saling memaafkan. "Covid-19 yang dibatasi jarak ditentang.

Karena masyarakat suka berkumpul dan mengalah pada orang. Ketimbang ribet, kita mengalah. Kendati halal bihalal menggunakan kecanggihan teknologi, media online, masyarakat lebih suka dengan pertemuan agar masalah bisa diselesaikan. Perkembangan halal bihalal tidak sekedar mengunjungi sanak famili. Kini yang viral adalah di ajang tahunan ini masyarakat mengenakan seragam khusus.

Dengan demikian, halal bihalal bukan sekedar ritual keagamaan, tapi menyangkut kemanusiaan. Karena silaturrahim berasal dari dua kata, yaitu silah bermakna positif dan rahim bermakna kasih sayang. Dalam momentum halal bihala, carilah perkara halal dengan cara yang halal, yaitu dengan cara saling meminta maaf supaya tidak ada dosa antara satu dengan yang lainnya. Karena dengan semacam ini bisa menjadikan manusia bisa terbebas dari haqqul adami.

Tradisi halalbihalal memiliki nilai lebih. Tidak hanya sekadar bermaaf-maafan dan menyambung tali silaturahim. Lebih dari itu. Tradisi halalbihalal dapat menghidupkan nilai-nilai sosial di tengah kehidupan bermasyarakat. Dalam ilmu sosiologi agama menjelaskan bahwa sudah sepatutnya agama dapat menangani masalah-masalah yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. 

Problematika yang paling dominan adalah aspek psikologis yang bukan hanya bersifat pribadi (private), tetapi lebih dari itu, publik (public). Oleh karena itu, ketika wilayah (domain) teknologi dan teknik institusi tidak dapat menyelesaikan problematika manusia, maka agama dengan kekuatan supernaturalnya yang dijadikan alternatif mengatasi keterbatasan tersebut.  ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES