
TIMESINDONESIA, NTB – Setiap kita yang berpikir akan mengimani bahwa, kehidupan manusia akan selalu membutuhkan keselarasan dengan alam. Jika tidak, maka tumpang tindih yang terjadi akan menyebabkan bencana bagi kedua sisi ini. Keselarasan itu mestinya terbangun di mulai dari sumber mata pencaharian individu. Sayangnya, ini justru menjadi persoalan besar di hampir seluruh Indonesia.
Tumpuan perekonomian rakyat sebagian besar sangat bergantung pada alam. Di skala makro ada lahan batu bara, tambang emas, dan perkebunan sawit. Semua itu juga adalah satu di antara sumber keuangan negara. Di ranah konvensional, ada lahan pertanian seperti jagung, padi, cengkeh, pala, kopi, dan lain sebagainya.
Advertisement
Menurut BPS, per 2020 lahan pertanian kita tercatat mencapai 77,9 juta hektar. Di tahun yang sama, luas hutan kita termasuk hutan produksi mencapai mencapai 94,1 juta hektar. Tentu ini juga sangat menentukan keberlangsungan adat dan budaya setempat. Pasalnya, sebagian besar budaya kita memiliki korelasi erat dengan alam.
Dengan itu kita bisa menarik harapan bahwa, tidak boleh ada kebijakan atau aktivitas ekonomi yang menumbuh suburkan persoalan. Sayangnya, di beberapa tempat harapan itu kian terpatahkan. Kita ambil contoh di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Hampir seluruh Sumbawa dipenuhi lahan pertanian jagung.
Lahan hutan lindung dibabat. Kebutuhan akan lahan pertanian selaras degan praktik illegal logging. Kayu dan jagung dipandang memiliki harga jual tinggi yang mampu menopang kehidupan. Walhasil, suhu lingkungan semakin panas. Pada musim penghujan, banjir di wilayah kota juga kerap terjadi. Rumah warga yang hanyut bukan lagi pemandangan yang asing.
Dari persoalan ini, kita bisa menarik rumusan masalah; bagaimana pemerataan pembangunan ekonomi di sumbawa dilakukan? Mengingat, pembabatan hutan sampai hari ini betul-betul terpelihara atas alasan perut. Pertanyaan berikutnya; tidak adakah sumber pencaharian alternatif bagi masyarakat?
Pada posisi inilah Pendidikan menjadi sangat penting. Tentunya pendidikan mesti inovatif dan reaktif terhadap persoalan sosial yang ada. Pendidikan harus mampu menerangkan pikiran, membangun perspektif, dan menyajikan solusi bagi lingkungan. Inilah pendidikan yang era ini sedang digiatkan Kemdikbud Ristek.
Upaya itu diusung satu diantaranya melalui pendanaan terhadap Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Saya akan membawa pembaca sekalian pada contoh konkret kebermanfaatan PKM Kampus Merdeka bagi lingkungan. Program Kreatifitas ini muncul di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Teknologi Sumbawa (UTS).
Mahasiswa FEB UTS lolos pendanaan PKM Riset Sosial dan Humaniora (RSH). Kelompok mahasiswa ini mengangkat judul tentang Mapping Asset dan Strategi Penghidupan Pemburu Madu Hutan dalam Upaya Pelestarian Hutan Sumbawa. Penelitian juga berangkat dari data DLH dan Kehutanan Provinsi NTB yang menyebut; jumlah produksi madu hutan Sumbawa pada 2022 mencapai 1.155 liter.
Menariknya, kajian ini selaras dengan keharusan pelestarian hutan. Mengingat, dalam konteks ekonomi, kelestarian hutan menjadi bagian dari aset masyarakat. Di sisi lainnya, madu hutan bukan saja soal ekonomi melainkan juga kearifan lokal masyarakat. Analisis semacam ini tentu sangat bermanfaat bagi Pemerintah sebagai pihak yang merumuskan kebijakan. Dengan ini, kita mampu melihat perbedaan orientasi ekonomi setiap orang. Satu sisi lahan jagung dan satu sisi hutan madu. Tentu ini masih satu bentuk penelitian.
Dari satu riset ilmiah kita bisa menentukan prioritas dan alternatif. Bisa dibayangkan jika banyak riset yang dikembangkan oleh mahasiswa. Bayangkan berapa jumlah kampus, mahasiswa, dan ide yang berseliweran. Kita akan tumbuh sebagai masyarakat akademis dan solutif. Kearifan inilah yang kini terus dikembangkan Kemdikbud Ristek melalui Kampus Merdeka.
Contoh lainnya, PKM FEB UTS juga mengangkat isu pembangunan. Mereka mengusung judul Analisis Model Gravitasi Kabupaten Sumbawa Besar dan Sekitarnya, Sebagai Antisipasi Ketimpangan ekonomi Antar Wilayah di Sumbawa. Ada pula yang mengangkat inovasi produk yang olahan makanan, sampai dengan PKM mengenai saham.
Semua itu merupakan solusi yang selalu bisa dipakai. Bersama itu pula, kita bisa melihat fungsi-fungsi akademis telah direalisasikan oleh Kemdikbud, Kampus, dan mahasiswa. Tinggal setelahnya, maukah kita sebagai masyarakat membuka mata untuk menerima fakta akademis itu? Maukah kita sebagai Pemerintah Daerah meninjau penelitian ini sebagai pertimbangan berkebijakan?
***
*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |