Kopi TIMES

Masa Depan Lingkungan dan Peran Aktivisme Digital

Sabtu, 18 Mei 2024 - 22:21 | 56.46k
Destita Mutiara, S. Sos., M.A, Junior Researcher Center for Integrative Science and Islamic Civilization Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Destita Mutiara, S. Sos., M.A, Junior Researcher Center for Integrative Science and Islamic Civilization Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Gerilya Pandawara Group yang tersebar di media sosial TikTok dan Instagram @Pandawaragroup menjadi salah satu angin segar sekaligus alarm bahwa isu lingkungan hidup baik skala makro dan mikro tidak ada habisnya. Melalui video aksi yang memperlihatkan kegiatan bersih-bersih sungai dilakukan oleh 5 anak dengan moto “Bukan Membersihkan Tapi Mengurangi” membawa warganet untuk ikut berkampanye bersama demi bersih-bersih. 

Selain itu, gerilya yang sama juga terdengar dengan aksi swadaya lainnya di Timur Indonesia dengan menanam pohon di bagian hutan Nusa Tenggara Barat bekerja sama dengan warga sekitar menjadi indikasi bahwa masa depan tidak hanya seputar materil, namun juga hidup berdampingan dengan alam dan sebaran aksi lainnnya. 

Advertisement

Isu lingkungan hidup menjadi isu yang ramai diperbincangkan baik oleh publik maupun pemerintah di berbagai negara. Di Dunia Global secara masif gerakan sudah dimulai misalnya gerakan Friday For Future di Swedia, Generation Zero di Selandia Baru atau Youth for Climate Movement di Belgia dan gerakan melalui kampanye media sosial dengan tagar yang tersebar secara volunteer. 

Gerakan ini lahir sebab kenaikan suhu bumi yang menjadi indikator rusaknya lingkungan sudah kita rasakan. Terutama pada aspek lingkungan hidup. Secara definisi lingkungan hidup dapat diartikan sebagai sesuatu yang secara generatif dapat diwariskan kepada generasi setelahnya.

Dua decade terakhir Isu lingkungan hidup terus mencuat di belahan dunia manapun. Organisasi IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) sudah memberikan kode merah sebagai peringatan bahaya terkait lingkungan perubahan iklim untuk umat manusia diseluruh dunia tidak terkecuali Indonesia. 14 ribu studi menunjukkan sebesar 1.1 derajat Celsius kenaikan suhu bumi akibat perubahan iklim. 

Ini akan berkemungkinan terus naik jika fungsi hutan penahan pemanasan global terus di eksploitasi, tidak hanya itu fungsi hutan sebagai pengatur iklim juga akan terganggu sebab penggusuran lahan hutan untuk dijadikan lahan industri terus digalakkan, bukan tidak mungkin generasi yang akan datang tidak merasakan keseimbangan alam lagi. Tidak perlu jauh, ketidak seimbangan iklim sudah mulai dirasakan ditandai dengan perubahan musim yang tidak menentu dan bencana alam yang terus-terusan berdatangan.

Oleh karenanya gerakan mulai banyak oleh aktivis lingkungan untu mengantisipasi dan merecovery hal ini. Munculnya petisi yang dilakukan oleh kaum muda yang menuntut untuk membentuk regulasi yang jelas terkait dengan lingkungan dan penghentian eksploitasi lingkungan tidak hanya berada satu titik tolak yakni lingkungan, melainkan faktor lain juga saling terhubung yakni dengan politik, ekonomi-politik, politik-hukum.  

Meneropong Kondisi Lingkungan di Indonesia 

Masyarakat, lingkungan dan kehidupan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Indonesia sebagai paru-paru dunia tidak terkecuali mendapat hal yang sama. Kondisi lingkungan di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Ekploitasi hutan dan ancaman keadilan agraria mengalami eksploitasi oleh korporasi dengan terus digunakan dan disulap menjadi industri ekstraktif. Industri ekstraktif tidak hanya berdampak pada penyusutan lahan hutan dengan fungsi penyerap emisi karbon, melainkan juga mendukung laju pemanasan global dan medisharmonikan kehidupan puluhan juta masyarakat salah satunya merampas hak masyarakat adat.

Hutan yang dialihkan sebagai industri ekstraktif terbagi menjadi beberapa sektor peruntukan pengalihan. Hutan dialihkan menjadi perkebunan, pertanian, properti, tambang, kelautan dan infrastuktur. Pengalihan fungi hutan dengan kepentingan industri ini menghadirkan bermacam masalah. Masalah ini dirangkum menjadi yang selanjutnya disebut konflik agraria.

Konflik agraria dimaknai sebagai adanya pertentangan yang berkaitan dengan klaim oleh dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh kebijakan pejabat publik.  Kemudian, definisi agraria mengacu pada Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria menyatakan agraria sebagai “Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” oleh karenanya ruang lingkup agraria dimaknai lebih dari sekedar tanah.

Selanjutnya, penggunaan lingkungan sebagai sebuah sekop yang tidak dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat saat ini dan tindak tanduk manusia terhadap lingkungan mendapat kondisi yang tidak adil atas nama kemakmuran ekonomi.  Meskipun UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjelaskan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; kemudian undang-undang tersebut merupakan bentuk menjelaskan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan. 

“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum”.

Gerakan Sosial dan Aktivisme Media Digital yang Individual menjadi Kolektif 

Kecemasan akan masa depan lingkungan (climate anxiety) pada 10-50 tahun mendatang menjadikan manusia memikirkan tempat hidup untuk generasi selanjutnya. Untuk menepis hal ini pengobatannya yang dapat dilakukan hanya dengan melakukan langkah nyata agar kecemasan tidak benar-benar terjadi.  Gerakan memiliki pemaknaan yang beragam. Anthony Giddens mengemukakan bahwa gerakan adalah upaya kolektif untuk mengejar suatu kepentingan bersama yang dilakukan melalui tindakan kolektif diluar lembaga mapan.

Pemaknaan gerakan berubah seiring dengan perubahan zaman. Dalam gerakan di kenal dengan istilah gerakan baru dan lama. Singkatnya pada gerakan lama yakni melihat adanya kegelisahan mengenai kelas-kelas yang mendominasi dan gerakan baru lebih pada kesamaan hak antar manusia dengan gerakan kolektif tanpa melihat aliansi dari seorang pejuang. Gerakan baru memungkinkan sekali bagi gerakan sipil tanpa organisasi meluangkan pemikirannya terhadap satu isu dengan landasan emosi yang sama. 

Penggunaan media dengan ada konteks gerakan memang sudah lama digunakan. Media membantu gerakan mencapai target dengan lebih cepat dan membentuk solidaritas masyarakat terkait satu isu dengan tanpa batas ruang dan waktu. Ditambah lagi dengan akses terhadap media sosial yang mudah dan fleksibel dengan model konten yang beragam pula. Media sosial menghadirkan opsi gerakan yang mudah di akses, melalui tagar, reels foto, video dan informasi edukasi lainnya dengan menyasar berbagai usia. 

Pada saat ini bentuk dan model gerakan aktivisme digital cenderung lebih fleksibel digunakan. Namun konsep yang dibawa oleh media digital pada mulanya yakni konsep individualisasi. Dimana seseorang bebas melakukan sesuatu sesuka hatinya dengan apa yang tertera di genggamannya. 

Hal ini sedikit kontradiktif dengan konsep collective action yang harus ditanamkan ketika menghadapi sebuah aktivisme. Oleh karenanya peran dari kelompok aktivis dalam konteks ini aktivis lingkungan diperlukan untuk membuat penggunaan individual itu menjadi collective action. Aktivisme media digital adalah alternatif untuk menyuarakan tindakan individual menjadi tindakan kolektif. Era saat ini sudah menjadi barang tentu ketika menggunakan media digital. 

Permasalahan lingkungan sudah sangat disadari oleh anak muda. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Databoks 81% anak muda berusia 17-35 tahun menganggap melindungi dan melestarikan lingkungan lebih penting.

Aktivisme digital dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan secara komprehensif dan ekslusif menggunakan teknologi. Aktivisme dengan menggunakan jaringan digital pada praktiknya di berbagai negara akan meningkatkan partisipasi public dalam sebuah gerakan.

Aktivisme merupakan target yang bergerak. Isu yang diperjuangkan adalah target yang hendak dicapai. Cara untuk mencapai target akan terus bergerak dan beubah mengikuti perkembangan yang ada di masyarakat. Aktivisme terbagi menjadi 4 jenis: Taktik kolektif, kampanye, tindakan individu, dan gerakan . Namun dalam mencapai sesuatunya termanifestasi dengan kegiatan yang berbeda.

Penjabaran mengenai aktivisme sering digambarkan oleh para peneliti yang membaginya menjadi 4 aspek: peserta, penyebab, alat, dan taktik. Hal ini juga memberikan jabaran pertanyaan jika ingin menggunakan aktivisme sebagai penelitian yang melingkupi siapa yang terlibat, kenapa upaya mencapai tujuan muncul, bagaimana praktik yang diterapkan dan menggunakan apa seorang aktivis melancarkan tujuannya.

Penggunaan media dalam gerakan digital adalah salah satu bentuk penguatan gerakan. Fungsi media yang terbuka setiap hari membuat kita untuk terus mengemukakan gagasan terhadap gerakan tidak terbatas ruang dan waktu.  Selain itu penggunaan media dengan perantara tersebut akan menguatkan identitas kolektif untuk menyuarakan suatu isu. Computer Mediated Communication (CMC) memfasilitasi ini. Gerakan yang menggunakan komputer sebagai media yang sekarang terhubung dengan jaringan internet akan membuat identitas kolektif akan semakin kuat. 

Perkembangan media dengan pendekatan memungkinkan memadukan ide lain dalam aktivisme digital. Proses yang dihasilkan oleh diskusi yang kerapkali dilakukan untuk melancarkan gerakan dan menyajikannya pada publik juga merupakan salah satu bentuk mencapai tujuan. Hal ini bisa ditempuh dengan proses framing. Framing diharapkan mampu menjadi alat yang dapat mengkolaborasikan dari konsep dan proses sehingga keduanya dalam membangun satu sama lain dan mendorong eksplorasi, pembingkaian mobilisasi, baik secara teoritis dan empiris.

Pengoptimalan semua media dalam gerakan agar dapat saling terhubung dan membuat jalinan komunikasi, mengkolaborasikan berbagai teknologi untuk mencapai tujuan aktivis mereka. Oleh karenanya pada hal ini perlu untuk menggunakan media untuk membingkai dan menyebarluaskan gerakan. Sekaligus membingkai dan memastikan untuk tetap konsisten terhadap isu yang di bawa agar generasi kedepan tetap bisa hidup berdampingan harmonis dengan alam. 

***

*) Oleh : Destita Mutiara, S. Sos., M.A, Junior Researcher Center for Integrative Science and Islamic Civilization Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES