
TIMESINDONESIA, MALANG – "Membaca fiksi itu penting, karena membawa kita ke possible world-dunia yang mungkin, yang tidak mungkin ada di sini." Karlina Supeli (Filsuf dan Dosen STF Driyarkara)
Masuknya sastra ke dalam kurikulum pendidikan kita patut dibanggakan, cita-cita negara untuk meningkatkan literasi kepada masyarakat selalu digaungkan, baik secara struktural dan kultural. Tujuannya, lain tidak lain dan tidak bukan demi kepentingan masyarakat untuk meningkatkan kualitas dirinya lebih baik dari waktu ke waktu.
Advertisement
Eksistensi sastra dari sebelum-sebelumnya berkurang. Kalau ada pertanyaan terkait karya sastra dianggap tidak kenal atau tidak tahu. Masalah tersebut seolah-olah sastra eksklusif, dengan masuknya ke dalam kurikulum esensi dan eksistensi sastra dapat dikenal dengan mudah dan menikmati karya-karya sastra Indonesia.
Sebagai tenaga pendidik seperti saya punya dua sudut pandang terkait sastra masuk ke dalam kurikulum; pertama, bangga karena lebih punya ruang lebih luas tanpa ada alasan pihak sekolah menuntut di luar sastra saja diprioritaskan. Kedua, memupuk literasi akan jadi tugas pendidik yang mengajar bahasa Indonesia, tentu tak ada beban bagi pembaca yang punya semangat mengikuti perkembangan literasi khususnya terkait buku yang baru baru setiap bulan, atau beban literasi di bidang sains perlu dilakukan pula.
Kemendikbud Nadiem Makarim menyatakan, "jadi yang benar-benar terdampak paling besar itu sebenarnya secara global adalah literasi membaca." Pernyataan tersebut seolah-olah memojokkan setiap individu yang malas baca, tidak punya motivasi baca, membaca seperti pekerjaan sia-sia. Dengan kata lain masyarakat atau generasi bangsa punya tak ada keinginan membaca, tapi perlu koreksi, bisa jadi karena masih kesulitan dengan akses buku bacaan.
Paling tidak kemerdekaan membaca telah tidak dibatasi. Tidak ada lagi buku merah berbahaya atau penulis berbahaya dalam kurikulum sastra ini. Salah satunya Bumi Manusia karya legenda sastrawan Indonesia yang pernah karyanya tidak boleh dibaca masa Orba. Dan kini para peserta didik dapat menikmati buku tersebut dengan mudah. Hal itu impian banyak orang pegiat sastra dan pegiat literasi, sebab buku tersebut termasuk buku penting dibaca--lantaran mengisahkan antara pribumi dan kolonialisme.
Adapun cita-cita kita semua yaitu menebarkan minat baca secara luas dapat meningkatkan klaster nasional maupun internasional yang perlu diperjuangkan. Walaupun di bidang literasi STEM dan Humaniora terus diupayakan. Paling tidak di dunia pendidikan mampu menjawab, cepat atau lambat kelak.
Salah satu usaha peran efektif pemerintah ketika memasukkan sastra ke dalam kurikulum bersama dengan pedoman para pendidik. Setiap jenjang yang telah disediakan setiap buku, dengan kata lain peta buku bacaan yang ideal dibaca bisa terstruktur. Sehingga akan membantu para peserta didik untuk mengenal dan membaca buku yang telah direkomendasikan.
Kemendikbud tepat menyusun buku bacaan di luar polemik di sebagian orang. Hal tersebut seolah-olah diasumsikan kalau ada kaitan dengan kanonisasi karya sastra--yang pada dasarnya itu tidak terlalu banyak diamini diberbagai kalangan sastrawan, kritikus, dan akademisi, mungkin. Namun ada beberapa tujuan yang membuat para pendidik jurusan bahasa Indonesia terbantu, bahkan sangat terbantu. Berikut tujuan sastra masuk kurikulum, yang tentu para kurator dengan rendah hati terus membuka pembaruan ketika ada usulan.
Tujuan Sastra Masuk Kurikulum
Di buku Panduan Sastra Masuk Kurikulum yang terdiri dari 771 halaman itu, dalam pengantar tersebut dituliskan tujuannya. Program masuknya sastra ke kurikulum adalah turunan dari program episode Merdeka Belajar 15: Kurikulum Merdeka dan Platform Merdeka Mengajar. Adapun lima tujuan ideal itu sebagai berikut:
Pertama, Sastra Masuk Kurikulum penting karena melangkah ke dunia yang terbuka, dengan kata lain memanfaatkan karya sastra dalam implementasi kurikulum merdeka untuk meningkatkan minat, menumbuhkan empati, dan mengasah kreativitas.
Kedua, Menyikap Misteri Kreativitas, melalui sastra kita memasuki dunia di mana imajinasi kenyataan, cerita-cerita menakjubkan, puisi-puisi, dan drama-drama yang memukau menjadi jendela ke dalam kekayaan kreativitas manusia.
Ketiga, Memahami Manusia dan Masyarakat, di dalam cerita, kita menemukan cermin yang mencerminkan kemanusiaan kita. Sastra membawa kita ke dalam pikiran dan perasaan karakter-karakternya. Membuk kita terhadap pengalaman manusia yang beragam dan komplek.
Keempat, Mengasah Keterampilan Kritis. Sastra tidak hanya membaca cerita-cerita, tetapi juga tentang menganalisis dan menafsirkan pesan-pesan tersembunyi di balik kata-kata. Ini membangun keterampilan berpikir kritis yang penting.
Kelima, Mengabadikan Warisan Budaya. Sastra dapat memperkenalkan dan membantu memahami sejarah dan budaya bangsa Indonesia. Sastra juga memberikan gambaran tentang bagaimana karakter dan identitas manusia Indonesia, ini akan membangun kesadaran berbangsa dan bernegara.
Kelima tujuan sastra masuk kurikulum tidak dapat berdiri sendiri, tanpa ada korelasi serta kolaborasi antar sektor, dalam hal ini pendidikan akan lebih efektif--yang di dalamnya terdapat tenaga pengajar yang begitu dekat dengan para peserta didik. Dengan kata lain pendidik punya peran aktif secara esensi dan eksistensi untuk mencapai kelas yang aman dan nyaman belajar sastra.
Pendidik, Tantangannya Kurikulum Sastra
Bagaimana tenaga pendidik dapat mengimplementasikan program tersebut? Mula-mula tugasnya mengeksplorasi diri seluas-luasnya, khususnya dalam pengalaman berdasarkan. Tenaga pendidik dan peserta didik khususnya diharadapat sama-sama membaca karya-karya sastra Indonesia, mengobrolkan secara aman dan nyaman di ruang kelas, sehingga dapat memaknai perjalanan bersastra ini sebagai pengalaman yang mengesankan.
Buku-buku yang baik dibaca di kelas telah ditulis di dalam buku pedoman sastra masuk kurikulum, sehingga tugas tenaga pendidik membawa sesuai dengan jenjang sekolah. Dengan begitulah kemudahan didapat, untuk mencapai itu semua tenaga pendidik diminta lebih melebarkan sayap peta bacaan sastra atau pengalaman komprehensif mampu diinterpretasikan kepada orang lain yaitu peserta didik.
Cara-cara sederhana dapat dilakukan oleh para peserta didik atau tenaga pendidik juga, yaitu teknik membaca yang perlu diperhatikan. Sebab kekhawatiran kita akhir-akhir ini yaitu ketika membaca sebuah buku bagus ditulis oleh penulis tak dapat diragukan secara teknik serta gaya menulis yang menarik, tapi pembaca tidak bisa membangun struktur berpikir terkait ide tulisan tersebut, dengan kata lain tidak dapat mengkonprehesifkan dengan interpretasi yang tepat dan baik, karena karya sastra butuh keahlian itu.
Adapun para kritikus di Indonesia menduduki posisi paling sedikit daripada para penulis dan sastrawan. Dalam buku sesuatu Indonesia karya Afrizal Malna Sesuatu Indonesia (2000) meminjam data Jakop Sumardjo misalnya, terdapat 237 sastra Indonesia yang hidup sejak tahun 1920 - 1986, menghasilkan komposisi seperti ini: 49,3% terdiri penyair, 47,6% terdiri dari cerpenis, dan 4% untuk kritikus. Dalam data tersebut terdapat perspektif kalau karya sastra Indonesia tidak semua dapat mendapat kritik dari kritikus, sehingga pembaca dituntut sekaligus jadi kritikus bagi dirinya dari buku yang dibaca.
Mengapa demikian, karya sastra terdapat dunia yang kompleks butuh keseriusan dan ketekunan untuk menangkap isi karya. Namun jangan sampai merasa tertekan adanya program ini, jadikan program ini dengan pedomannya jadi jalan baik untuk mengajar di kelas yang menyenangkan dan berkesan. Cukup administrasi saja yang cukup dipikirkan, secara praktik di kelas cukup dinikmati.
Sejalan dengan tujuan kurikulum sastra, semisal menyederhanakan tujuan literasi itu, meminjam bahasa Kang Maman penyair, bahwa literasi itu ada tiga: enlightenment (mencerahkan), enrichment (meluaskan), empowerment (memberdayakan).
Selamat menjalankan program baru yang baik serta lapang hati, untuk para tenaga pendidik dan pejuang pendidikan. Semoga sehat selalu dan kesejahteraan hidup hinggap di hatinya yang sesak tapi tetap kedap.
***
*) Oleh: Akhmad Mustaqim, Tenaga Pendidik dan Pengajar Enrichment Book Writing Thursina IIBS Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |