
TIMESINDONESIA, PADANG – Beberapa bulan yang lalu Indonesia disibukkan oleh Pemilukada serentak di seluruh Indonesia. Pemilukada menjadi babak baru dalam menentukan tonggak estafet kepemimpinan dan pemerintahan di Indonesia. Tentu isu ini banyak disoroti oleh berbagai aspek baik media maupun masyarakat dari berbagai generasi di Indonesia.
Memilih pemimpin tidak hanya identik dengan menentukan kepala negara. Lebih dari itu, ini akan menjadi penentu siapa yang akan menjadi kelompok petahana dan oposisi, apakah rezim hari ini akan mampu mempertahankan status quo atau jangan-jangan bisa di "kudeta" oleh kelompok oposisi. Bahkan yang lebih menarik lagi, akankah ada kelompok baru atau justru sebenarnya berada pada bayang-bayang pemain lama di Indonesia?
Advertisement
Tepat pada tahun 2019, Indonesia juga tengah ditodong untuk menentukan dua pilihan, yang memicu terjadinya dua kubu yang saling berlawanan. Kubu mudah terpecah karena kedua kandidat berada pada posisi yang sama-sama kuat dalam pemerintahan. Jokowi-Ma'ruf Amin yang mewakili masyarakat Jawa, Indonesia Timur, dan mengambil sedikit porsi kelas muslim Jawa, yaitu Ma'aruf Amin sendiri dari tokoh MUI.
Sedangkan kubu lainnya, Prabowo dan Sandi menarik kelompok muslim kelas menengah dan sebagian Sumatera, Kalimantan, serta Sulawesi yang kuat dengan tradisi Islam. Kaum Marhaenisme akan cenderung memilih Jokowi karena dianggap melanggengkan partai yang dibangun oleh Soekarno yaitu PDIP.
Kilas balik dari pemilu 2019 menurut beberapa artikel, tren memilih lebih banyak ditentukan oleh pandangan agama daripada status sosial ekonomi. Masyarakat banyak digiring oleh isu agama seperti gerakan-gerakan keagamaan dalam merespons pernyataan dari salah satu kepala pemerintah.
Islam sebagai agama mayoritas juga ikut terpecah dan tidak terintegrasi suaranya karena penggiringan isu ini. Sedangkan untuk non muslim akan memilih Jokowi yang dinilai lebih moderat daripada kandidat Prabowo karena banyak diusung oleh ulama yang dianggap memiliki fanatisme yang cukup tinggi.
Sedangkan jika ditelisik pada pemilu 2024, agaknya tren memilih mulai bergeser pada isu yang berbeda. Pertama, belum ada penggiringan yang terlalu kontras pada sentimental agama. Hal ini disebabkan karena dua kubu pada pemilu sebelumnya sudah terpecah menjadi tiga kandidat, satu lagi hasil asimilasi dari kandidat sebelumnya, bahkan kandidat lainnya yang justru sekarang malah berkoalisi. Akibatnya, isu agama menjadi isu yang tidak jelas karena kedua kandidat justru menjadi bagian yang diuntungkan.
Kedua, dinasti politik menjadi isu yang kontroversial. Bergabungnya Gibran pada koalisi Prabowo mengisyaratkan dua hal, apakah Jokowi sudah melepaskan diri dari rezim Megawati atau jangan-jangan ini adalah taktik di balik selimut untuk memenangkan pilpres dengan diibaratkan "main arisan di dua nama", setidaknya petahana bisa langgeng kalau berada di dua kemungkinan.
Hal ini terlihat dari banyaknya akses yang dimiliki Gibran untuk menjadi kandidat wakil presiden. Mulai dari akses yang mudah ke Mahkamah Konstitusi hingga mekanisme debat capres-cawapres yang sedikit dilonggarkan. Sedangkan petahana ada di rezim PDIP. Lagi-lagi possibilitas bermain di kedua nama bisa saja terjadi.
Dinasti Politik juga diasumsikan sebagai sebuah politik yang tidak beretika. Semua kemungkinan menjadi sangat accessible bagi semua keluarga oligarki, mulai dari tetesan paling atas (Presiden) hingga mengalir kepada kepala pemerintah daerah dan legislatif. Tetapi, perdebatan kemudian muncul, apakah politik memang selama ini ada etikanya jika kita percaya bahwa dunia politik bak siang makan ayam, malam makan tempe?
2024 juga menjadi momentum bagi datangnya pemain baru sebagai pemilih pemula, yaitu Gen Z. Gen Z atau yang biasa juga disebut dengan generasi digital dinilai memiiki orientasi memilih yang cukup berbeda dengan generasi sebelumnya. Gen X dan Y masih memiliki kesadaran kolektif untuk memilih, pilihan-pilihan yang diambil masih berhubungan kuat dengan komunitas yang ia tinggali walaupun Gen Y sudah berada pada era transisi.
Sedangkan Gen Z hidup dalam lingkungan yang individualis sehingga putusan-putusan hidupnya banyak bergantung kepada media dan romantisasi konten. Menurut Survei McKinsey, lebih dari 58% Gen Z menghabiskan waktu bersama gawai lebih dari 2 jam dibanding hidup dalam dunia nyata.
Karena itu, Gen Z memiliki tren memilih berdasarkan konten yang memengaruhi hidupnya. Beberapa waktu yang lalu, Prabowo-Gibran cukup sukses menarik perhatian Gen Z dengan citra gemoy atau lucu/menggemaskan bagi Gen Z. Situasi ini dimanfaatkan oleh kandidat ini dengan memasang baliho dengan animasi kartun, cukup berbeda dengan kandidat lainnya.
Terjunnya Gen Z sebagai pemerhati politik ditangkap oleh Prabowo sebagai sinyal sehingga pasar memilih karena gemoy makin laku dipasaran politik. Pasar politik Gen Z juga ditangkap oleh Ridwan Kamil sebagai mantan Gubernur Jawa Barat dengan segala perkontenan yang justru diikuti oleh Kang Emil.
Pertanyaannya adalah dari semua pola yang nampak dalam memetakan tren memilih di Indonesia, apakah kita bisa melihat pemilih mana yang mampu menentukan pilihan secara rasional? atau jangan-jangan tren memilih masih dilandasi pada keputusan-keputusan irasional dalam menuju menjalankan pemerintahan sebuah negara yang sangat rasional? Ini merupakan sebuah pernyataan refleksif yang perlu kita renungi bersama.
***
*) Oleh : Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |