
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pasca ditetapkannya RUU Desa menjadi UU 6/2014 Desa tak lagi mejadi objek dari pembangunan, tapi menjadi subjek dari Pembangunan tersebut, dan kemudian negara berkewajiban memberikan anggaran kepada desa yang kita kenal dengan istilah Dana Desa (DD).
Tentu saja ini menjadi angin segar bagi Pemerintah Desa yang selama ini hanya sebagai ‘alat’ legitimasi atas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Adanya UU Desa, Desa menjadi otonom dan dapat membangun wilayahnya sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Advertisement
Sepanjang periode 2009-2024 Dana Desa yang telah disalurkan ke masing-masing Rekening Kas Desa (RKD) mencapai 400 triliyun lebih, tentu saja anggaran yang besar ini selaras dengan apa yang telah di terima dan lakukan oleh pemerintah desa. Berdasarkan laporan dari Kementerian Desa PDTT, sepanjang tahun 2015-2023 setidaknya ada 350.775 km jalan desa yang sudah dibangun dan diperbaiki guna menunjang ekonomi warga serta sebanyak 26.565 unit polindes dibangun guna meningkatkan kualitas kehidupan warga serta penyediaan sarana air bersih sebanyak 1.742.886 unit yang dibangun menggunakan dana desa.
Urgensi Masa Jabatan Panjang
Disamping itu adanya dana desa berdampak positif terhadap penurunan tingkat kemiskinan di desa, berdasarkan tabulasi yang dilakukan oleh Kementerian Desa PDTT rentang 2015-2023 terdapat penurunan angka kemiskinan yang ada di desa hampir 2 persen, hal ini tak lepas dari dana desa yang ‘diberikan’ oleh pemerintah pusat kepada pemerintah desa.
Bicara tentang masa jabatan kepala desa yang panjang, tentu tidak bisa lepas dari dinamika politik lokal sekaligus meredam eskalasi dalam pemilihan kepala desa, tentu saja ini akan berdampak pada tingkat keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah desa nantinya.
Sejak awal wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 8 tahun sudah menjadi polemik, meski tak berujung pada konflik horisontal tapi terjadi polarisasi di ranah akar rumput dampak dari rencana perpanjangan masa jabatan kades.
Padahal jauh sebelum UU Desa di gagas, tahun 1979 periodisasi masa jabatan sudah 8 tahun dan dapat dipilih kembali, hal tersebut tertuang dalam UU 5/1979 tentang pemerintah desa Lantas apakah setuju dengan masa jabatan kades diperpanjang, tentu saja harus diperpanjang.
Pengalaman saya saat mendampingi desa kala terjadi proses transisi dari kades lama ke kades baru terpilih, sangat melelahkan dan memakan waktu yang lama meskipun cukup beruntung tak sampai bertahun-tahun dan tentu saja ini tak dapat di digeneralisir sebab antara wilayah satu dengan yang lain tidak sama pola masalah dan penanganannya bahkan di beberapa wilayah dampak konflik pilkades berujung kehilangan nyawa.
Eskalasi konflik pilkades inilah yang dapat menghambat proses pembangunan di desa sehingga perpanjangan masa jabatan wajib dilakukan agar pembangunan di desa bisa optimal. So, ini bukan soal politisasi desa terlebih menyuburkan oligarki di desa.
Optimalisasi Dana Desa dan Peran Kepala Desa
Kini Presiden Joko Widodo sudah menandatangani perubahan ke dua UU 6/2014 menjadi UU 3/2024 secara otomatis memperpanjang masa jabatan kades menjadi 8 tahun, tentu ini waktu yang cukup panjang untuk melakukan banyak perubahan di desa.
Perpanjangan waktu ini diharapkan bisa menjadikan desa lebih baik lagi, setidaknya di tahun 2025 nanti ada 22.912 desa berstatus mandiri serta kepala desa diharapkan mampu berimprovisasi serta mengembangkan diri dan mampu mengoptimalkan potensi yang ada di desa masing-masing.
Belajar kejadian kemarin, salah satu media nasional memberitakan dua anak yatim piatu harus meregang nyawa terjun dari jembatan karena faktor ekonomi jangan sampai terjadi lagi, peran pemerintah desa utamanya kepala desa sangatlah dominan tentu saja dengan bertambahnya masa jabatan ini kebijakan yang dikeluarkan mampu menjadi solusi dari seluruh persoalan yang ada tak hanya itu, basis data desa harus diperkuat dan selalu up to date dengan prinsip No One Left Behind.
Lahirnya UU 3/2024 membawa secercah harapan akan kebangkitan desa, peka zaman serta lebih partisipatif dan berkeadilan tak hanya itu, tata kelola dana desa harus lebih akuntabel serta memperketat pengawasan pengelolaannya, berdasar data Indonesia Corruption Watch (ICW) rentang 2015-2021 terdapat 592 kasus korupsi yang melibatkan kepala desa, ditaksir Rp 433,8 milyar kerugian negara tentu ini harus jadi pelajaran bersama, sehingga tidak menambah deretan panjang korupsi yang melibatkan kepala desa. Mari bersama-sama kita kawal desa. Percaya desa, desa bisa!
***
*) Oleh : Moch. Efril Kasiono, Pegiat Desa.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |