Modal Sosial Keistimewaan Yogyakarta Hadapi Masalah Sampah

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sejak awal Mei 2024, asap dan bau polusi dari pembakaran sampah di Yogyakarta kembali meningkat. Masyarakat yang timbunan sampahnya di rumah tidak terangkut, kemudian memilih membakar sampahnya (Rukmorini, 2024). Bedasarkan data pada situs iqair.com, kualitas udara di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami pemburukan semenjak masuk bulan Mei 2024. Bahkan pada 9 dan 15 Mei masuk ke dalam kategori tidak sehat. Sesuatu yang sebelumnya sangat jarang tercapai di Sleman.
Tren pembakaran sampah rumah tangga di DIY kembali meningkat sejak Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan, Kabupaten Bantul, DIY ditutup permanen. Terhitung sejak 1 Mei 2024, TPST Piyungan, secara resmi ditutup oleh Pemerintah DIY (Humas DIY, 2024). Akhir perjalanan TPST Piyungan ini menandai dinamika desentralisasi pengelolaan sampah di DIY yang sudah diputuskan sejak Oktober 2023. Melalui Peraturan Gubernur DIY nomor 658/11898 tanggal 19 Oktober 2023, Pemda DIY menetapkan kebijakan bahwa sampah harus dikelola secara mandiri oleh masing-masing Kabupaten/Kota di wilayah DIY. Karena desentralisasi tersebut, maka TPST Piyungan yang selama ini dikelola oleh pemerintah provinsi, sudah tidak difungsikan kembali.
Advertisement
Proses transisi pada cara pengelolaan sampah yang baru nampaknya belum berjalan dengan lancar. Hal tersebut sebenarnya sudah dapat diprediksi jauh hari. Konsep pengelolaan sampah oleh kabupaten/kota di DIY tidak lagi menggunakan model open dumping, yang sampahnya hanya dibuang begitu saja pada tempat pembuangan akhir. Selama berpuluh tahun, masyarakat Yogyakarta terbiasa dengan sistem konvensional tersebut. Sistem serupa juga masih diterapkan oleh hampir semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia (Fitri dkk, 2019, h.12).
Kendala dalam proses transisi ini adalah kapasitas pengelolaan sampah oleh kabupaten/kota di DIY yang masih terbatas. Sebagai contoh, menurut Rukmorini (2024), Pemerintah Kota Yogyakarta baru dapat mengolah sampah sebanyak 73 ton per hari. Jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan volume sampah Kota Yogyakarta yang mencapai 200 ton per hari. Sedangkan di wilayah Kabupaten Sleman, dari 576 ton sampah per hari, Pemkab Sleman baru dapat mengolah sebanyak 40 ton saja tiap harinya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, dapat diketahui bahwa solusi dalam pengelolaan sampah di DIY masih berfokus pada penanggulangan di titik akhir. Artinya masih dibutuhkan upaya transformatif dan kolektif untuk bisa mencari solusi atas permasalahan sampah di DIY. Selama pencarian solusi masih berkutat pada sektor hilir, maka problem sampah di DIY akan terus berulang.
Seperti diketahui, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di DIY belum menerapkan kebijakan untuk melarang penggunaan kantong plastik, styrofoam dan barang/kemasan plastik sekali pakai lainnya. Padahal beberapa kota besar lain di Indonesia sudah berani menerapkan kebijakan tersebut. Sebut saja ada DKI Jakarta, Kota Bogor, Bali, Kota Palangkaraya, Kota Surabaya, Kota Blitar dan lain sebagainya.
Peraturan Daerah untuk membatasi penggunaan barang dan kemasan plastik sekali pakai diklaim efektif dalam menekan beban timbulan sampah di lingkungan pemukiman maupun tempat pemrosesan akhir (Pandu, 2020). Kota Bogor sebagai contoh, Peraturan Walikota Bogor berhasil menekan rasio penggunaan plastik per orang per tahun, dari yang sebelumnya 700 lembar, menjadi 216 lembar saja (Pandu, 2020).
Sampai akhir 2023, sudah ada 113 kabupaten dan kota di Indonesia yang menerapkan perda terkait pembatasan atau pelarangan penggunaan plastik sekali pakai (Aranditio, 2023). Meskipun banyak dari kebijakan tersebut baru menyasar pelaku usaha ritel, namun dampaknya sudah dapat dirasakan di masing-masing daerah.
Lebih lanjut, menarik untuk melihat karakteristik masyarakat Yogyakarta serta potensi modal sosial budaya komunitas sebagai upaya pencarian solusi pengelolaan sampah. Jika pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota belum menelurkan kebijakan terkait larangan penggunaan plastik sekali pakai, maka modal sosial masyarakat Yogyakarta bisa menjadi pilihan alternatif.
Sebenarnya, inisiatif swadaya masyakarat DIY dalam mengelola sampah sudah banyak dilakukan. Sebut saja pengolahan sampah berbasis community-based solid waste management oleh 28 kelompok di Kabupaten Bantul, aktivisme Bank Sampah Pelangi 07 oleh Komunitas Jogja Obah, gerakan sedekah sampah oleh sekolah-sekolah Muhammadiyah di DIY, gerakan bank sampah oleh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) Brama Muda di Dusun Dayakan, Sleman, dan pengelolaan sampah mandiri berbasis masyarakat di Kampung Tompeyan, Kota Yogyakarta.
Berbagai bentuk aksi swadaya yang dilakukan oleh berbagai komunitas masyarakat di DIY ini menunjukkan bahwa ada nilai sosial yang bisa menjadi modal pengelolaan sampah yang unik dan khas. Modal sosial ini sudah dibuktikan juga pada berbagai kondisi seperti aktivitas Jogja Tetulung di kala pandemi Covid-19 (Sunartono, 2024; Ishartanti & Krisdyatmiko, 2023), modal sosial inklusif masyarakat lereng Merapi, Yogyakarta ketika merespons erupsi tahun 2010 (Wardyaningrum, 2016), dan sistem jimpitan sebagai metode pengumpulan dana komunitas (Harsono, 2014). Modal sosial tersebut membuktikan bahwa masyarakat Yogyakarta itu berdaya.
Semua hal baik tersebut akan menjadi sia-sia jika tidak ada koordinasi dan kolaborasi antar pihak. Maka di titik inilah pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota bisa mengambil peran. Perlunya jalinan komunikasi yang menghubungkan simpul-simpul masyarakat ini sehingga pengelolaan sampah berbasis komunitas akan berjalan. Kita tidak perlu menunggu hadirnya local heroes untuk bergerak bersama.
Prinsip komunikasi pembangunan berkelanjutan nampaknya relevan dengan aktivisme khas masyarakat Yogyakarta ini. Mefalopulos (2015) menegaskan bahwa komunikasi untuk pembangunan berkelanjutan memerlukan partisipasi dari berbagai sektor untuk memahami, menjalankan dan mengevaluasi proyek berkelanjutan. Krainer dkk (2018) juga mengingatkan bahwa ada berbagai tantangan dan hambatan dalam pelaksanaan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada konteks pengelolaan sampah, berbagai hambatan tersebut nampaknya akan lebih mudah diselesaikan mengingat kuatnya modal sosial masyarakat Yogyakarta.
Pilar utama komunikasi pembangunan yaitu partisipasi dan pemberdayaan (Mefalopulos, 2005). Pada konteks masalah sampah di Yogyakarta, maka kedua prinsip tersebut sudah dapat dipenuhi. Tanpa adanya komando, masyarakat Yogyakarta telah menunjukkan inisiatifnya dalam melakukan pemberdayaan komunitas lokal dalam pengelolaan sampah. Contoh baik yang sudah dilakukan beberapa pihak ini tentu akan memberikan dampak multiplikasi jika pemerintah daerah mampu menyatukan simpul-simpul komunikasi yang ada. Maka bisa jadi, DIY belum membutuhkan perda pembatasan atau pelarangan plastik sekali pakai jika aktivisme bottom-up masyarakat Yogyakarta bisa dikelola secara komprehensif.
***
*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |