
TIMESINDONESIA, JOMBANG – Setelah melewati suhu panas politik pemilihan presiden dan pemilihan legislatif tahun 2024, tidak lama lagi kita akan menyambut kontestasi pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi pada tanggal 27 November 2024. Tidak akan ketinggalan, di Jombang yang lekat dengan sebutan Kota Santri tersebut juga akan digelar kontestasi politik lima tahunan.
Sebagai masyarakat biasa yang tidak memiliki jabatan, kekuatan maupun kekuasaan, penulis ingin sedikit menyuarakan riak yang mungkin bisa mewakili suara-suara kecil yang tidak terdengar. Jika tidak melalui tulisan kecil ini, apa yang bisa kita lakukan untuk sekadar dibaca dan didengar?
Advertisement
Tinggal di salah satu desa yang berada di Jombang, saya pikir masih terbilang aman dan tenang-tenang saja. Melihat sekeliling, masih bertetangga (nonggo), juga masih memiliki kebiasaan yang sama, bangun pagi, pergi ke sawah, anak-anak pergi ke sekolah, atau sedari pagi sudah standby di warung kopi pinggir jalan. Suasana khas desa yang tidak akan ditemui di kota yang akan tampak terlihat lebih sibuk.
Hal-hal yang dibahas dan dibicarakan di desa juga terbilang wajar, masih seputar kehidupan bermateri, pergi ibadah, sholat jama'ah, meski juga kadang ghibah. Ya pokoknya masih terbilang balance. Hal-hal sederhana seperti inilah, jangan sampai hilang hanya karena imbas politik sesaat. Apalagi tujuan berpolitik adalah membangun peradaban lebih baik, bukan merusak peradaban kemanusiaan yang telah mengakar di tengah masyarakat, khususnya di Jombang.
Politik yang Membangun
Beberapa nama tokoh telah bermunculan di pelbagai media sosial maupun media online yang telah menyatakan siap terjun dalam panggung pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Jombang. Sebut saja, ada kandidat incumbent Bupati Jombang, Hj Mundjidah Wahab, dan Sumrambah, Ketua Asosiasi Kepala Desa H. Warsubi, Mantan Ketua PCNU KH Salamanuddin Yazid, Ketua Baznas Jombang H. Didin Salahuddin, Kiai Muda dari Pondok Darul Ulum Peterongan Gus Zahrul Azhar dan mungkin masih banyak kandidat lain yang akan bermunculan.
Tokoh-tokoh yang bermunculan tersebut, jika dilihat track recordnya memiliki pengalaman politik yang tidak main-main, dan jelas bukan orang kemarin sore yang ujuk-ujuk ingin ikut dalam kontestasi. Hal tersebut, setidaknya cukup untuk menjadi jaminan untuk tidak melakukan politik hominem atau politik yang menyerang secara kotor.
Apalagi basicnya Jombang dikenal sebagai kota yang religius dan nasionalis. Dengan masyarakatnya yang beragam, tidak menjadikan Jombang mudah terpecah belah berkat usaha dan kerjasama seluruh elemen masyarakat Jombang. Selain akan banyak menjumpai pesantren di Jombang, kita juga akan banyak melihat tradisi Jaranan, Tari Remo Boletan, Patrol, Ludruk Jombang, dan lainnya yang masih lestari. Artinya, sejak lama Jombang telah lekat dengan agama dan tradisi yang saling berjalan beriringan atau bahkan berkelindan dengan sangat baik.
Barangkali munculnya tokoh-tokoh tersebut, juga ada sebagian pihak yang akan mengaitkan tokoh tertentu akan mewakili golongan tertentu untuk mengeruk massa. Begitupun juga tokoh yang lain akan dikaitkan dengan golongan yang lain yang merepresentasikan Ijo atau Abang. Namun, hal yang perlu kita sadari bersama sebagai masyarakat awam adalah kita tidak perlu terjebak terlalu dalam terhadap issue golongan.
Politik yang dilakukan secara sehat mulia juga akan menghasilkan proses dan hasil yang jauh lebih baik daripada politik bar-bar yang dilakukan hanya untuk mencapai target menang. Perihal baik dan buruknya, barangkali kita bisa dengan sungguh-sungguh menggunakan potensi akal dan hati dalam memilih seorang pemimpin. Politik adalah sebuah proses yang harus dilalui, suka maupun tidak suka dengan hiruk pikuknya.
Menenun Politik Kebangsaan dengan Kebhinekaan
Keberagaman yang ada di Jombang sudah semestinya dijadikan sebuah kekuatan besar untuk menjaga nilai-nilai kerukunan dalam beragama, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai digunakan untuk kepentingan politik praktis semata. Hal itu sama saja dengan merusak tatanan yang telah dirawat oleh para pendahulu.
Adanya pelbagai macam organisasi keagamaan, kepemudaan, dan kemasyarakatan di Jombang, barangkali juga dapat menjadi benteng yang dapat menahan pemicu politik hominem. Seperti adanya Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB), adanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengayomi organisasi keislaman, seperti Organisasi NU, Muhammadiyah yang kental dengan Islam Kebangsaannya dan organisasi lainnya yang banyak berperan perihal kerukunan dan toleransi.
Fungsi dari organisasi -organisasi tersebut sangat menyentuh hingga masyakarat akar rumput. Sehingga ketika terjadi gesekan kecil, peran organisasi tersebut sangat mampu meredam. Apalagi karakteristik masyarakat Jombang adalah laksana santri yang patuh terhadap dawuh sosok gurunya. Dengan perannya yang begitu besar, jangan sampai organisasi - organisasi ini justru menjadi alat kekuasaan semata. Semoga saja tidak!
Merawat politik kebangsaan memang tidaklah mudah. Perlu meletakkan ego masing-masing golongan untuk sama-sama menenun politik kebangsaan untuk menuju Jombang menjadi rumah semua golongan, rumah yang aman, nyaman, dan tanpa ketakutan. Menjadi rumah yang tidak perlu ketakutan menyuarakan kritik dan saran. Namun ingat, kita sebagai masyarakat sipil juga tidak boleh seenaknya ngawur dan menjadi bebal sendiri. Sebaiknya bersuara dengan data dan etika.
***
*) Oleh : Rifatuz Zuhro, Penulis Buku Sejarah Pendidikan Islam Nusantara.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |