
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Untuk memperingati Hari Lahir Pancasila dan hari Lingkungan Hidup Dunia, Makara Art Center UI (MAC UI) bekerjasama dengan komunitas Bakul Budaya Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI) menyelenggarakan event “Ritual Sedekah Hutan” dari tanggal 1 -5 Juni 2024. Ada beberapa kegiatan yang digelar dalam event ini diantaranya ritual adat, kirab budaya, sarasehan, workshop pembuatan eco enzim dan eco brick, tanam pohon, tebar benih ikan di danau UI dan pagelaran seni.
Event Ritual Sedekah Hutan ini merupakan respon civitas akademika UI terhadap munculnya berbagai problem lingkungan sebagai akibat terjadinya deforestasi (laju penurunan luas hutan) yang kian massif. Berdasarkan data Global Forest Wacth, selama kurun waktu 21 tahun (2001-2022) Indonesia mengalami deforestasi seluas 29,4 juta hektar (ha). Meski ada kecenderungan, namun proses deforestasi ini masih terus berlangsung hingga hari ini.
Advertisement
Dampak dari deforestasi yang terus menerus ini adalah terjadinya pemanasan global (global warming), perubahan iklim (climate change) dan berbagai bencana alam yang dapat mengancam kehidupan manusia. Data analisis stasium BMKG terhadap suhu udara rata-rata bulan September 2023 di Indonesia menunjukkan terjadi anomali positif sebesar 0.4 derajat Celsius. Angka ini merupakan nilai anomali tertinggi ke-4 sepanjang periode pengamatan sejak 1981. Munculnya bencana alam (banjinr, longsur, angin puting beliung) yang terjadi sepanjang tahun dengan frakwensi dan intensitas yang makin meningkat. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan pada tahun 2022 terjadi 3.522 bencana alam di Indonesia. Dari jumlah tersebut 1.520 bencana adalah banjur.
Data-data meningkatnya bencana ini menunjukkan ada kerusakan alam dan lingkungan yang makin parah. Meningkatnya bencana alam memang bukan semata-mata karena terjadinya deforestasi, tapi karena perilaku manusia yang mena-mena terhadap alam dan lingkungan. Penggunaan minyak fosil, freon, batubara yang terus meningkat sehingga meningkatkan emisi karbon dan polusi adalah penyebab pemanasan global dan rubahan cuaca dapat mengundang bencana. Namun jika hutan tidak dirusak secara massif, ekosistem lingkungan tidak dihancurkan secara brutal maka keseimbangan alam terjaga dengan baik, sehingga bencana akan dapat diminimalisir.
Sebagai jawaban atas masalah ini, MAC dan Bakul Budaya berupaya menggali berbagai tradisi dan ritual adat yang dimiliki masyarakat Nusantara, khususnya yang terkait dengan pelestarian hutan dan lingkungan. Tradisi dan ritual tersebut merupakan cerminan dari kearifan lokal masyarakat adat Nusantara yang bersumber cari pandang mereka terhadap hutan. Misalnya, mayarakat Baduy Banten menganggap hutan adalah jantung kehidupan yang menjadi sumber kelangsungan hidup anak cucuk.
Pandangan sejenis juga dimiliki Masyarakat Dayak Punan yang ada di Kalimantan. Mereka memandang hutan adalah sosok seorang ibu yang mengalirkan air susu sebagai sumber penghidupan. Tanaman yang ada ada di hutan tidak ada untuk memenuhi kebutuhan makan, tetapi juga menjaga kesehatan, karena banyak tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat untuk pengobatan. Hutan menjaga kehidupan seperti ibu merawat dan menjaga anak agar bisa hidup, tumbuh dan berkembang. Pandangan seperti ini juga dimiliki masyarakat Wana (Taau Taa Warna Bulang) di Sulawesi Tengah dan suku-suku lain di Nusantara.
Jelas di sini terlihat, bagi masyarakat adat hutan bukanlah sumber daya alam yang dapat dieksploitasi dan dikuras untuk memenuhi kenikmatan hidup. Hutan bukanlah benda mati yang dapat diperlakukan secara semena-mena oleh manusia. Hutan adalah bagian dari kehidupan mereka. Dalam pandangan masyarakat adat, eksistensi manusia sejalan dengan eksistensi hutan dan lingkungan. Kelestarian hutan dan alam adalah kelestarian Kehidupan manusia. Jika hutan rusak, keseimbangan alam terganggu maka kehidupan akan terancam, dan tu artinya eksistensi manusia juga terancam.
Dari cara pandang yang seperti ini, maka lahir spirit menjaga hutan yang kemudian termanifestasi dalam berbagai bentuk ritual adat dan tradisi untuk menjaga hutan. Misalnya, sebagai upaya menjaga kelestarian hutan, masyarakat Baduy membagi hutan menjadi tiga yaitu hutan larangan, hutan dudungusan dan hutan garapan (ceep Eka; 2010).
Hutan larangan adalah hutan lindung yang berfungsi sebagai penjaga alam dan lingkungan. Hutan ini harus dijaga, tidak boleh dimasuki sembarangan. Untuk menjaga hutan ini maka dibuatlah suatu mitos bahwa hutan ini merupakan tempat bersemayam para leluhur, para karuhun yang suci sehingga harus dijaga keberadaannya. Untuk menjaga kesucian hutan ini, maka hanya boleh digunakan untuk tempat melakukan pemujaan, mengubur Sasak Domas atau Pusaka Buana. Hutan Dudungusan adalah hutan yang ada di hulu. Menurut kepercayaan masyarakat Baduiy harus dijaga dan dilindungi karena memiliki keramat untuk menjaga dari bencana. Sedangkan hutan garapan adalah hutan yang dapat digarap untuk pertanian guna memenuhi kebutuhan hidup masyarakat Baduy.
Masyarakat tidak boleh sembarangan membuka hutan dan menanam pohon, di kalangan, masyarakat adat Dayak Punan ada ritual yang harus dilakukan ketika hendak membuka hutan untuk berladang. Ritual tersebut dimaksudkan untuk menghormati leluhur dan penjaga hutan. Di kalangan masyarakat Wana, ada 14 bentuk praktik ritual untuk menjaga kelestarian hutan. Beberapa tirual tersebeut dianyaranya ritual Manziman Tana (mohon izin), Monguyu sua (ritual penanaman pertama), Mpopondoa Sua (memberikan kekuatan hidup pada pohon), Palampa Tuvu (menolak bahaya), Nunju (mengusir roh jahat), Ranja (mengusir wabah), dan Polobian (pengobatan). Semua ritual ini dimaksudkan agar masyarakat tidak bertindak sembarangan dan semena-mena terhadap hutan. Dengan demikian sumber daya ala yang terdapat dapat terjaga kelestariannya.
Semua praktek ritual ini akan dianggap takhayul dan mistis oleh masyarakat modern. Kemudian dianggap remeh dan dipandang pejoratif karena tidak masuk akal. Namun jika dicermati secara mendalam, dibalik ritual yang terlihat takhayul, mistis dan tidak masuk akal itu ternyata tersimpan sistem pengetahuan yang canggih yang tidak saja rasional tetapi juga nilai-nilai dan kearifan yang justru dapat menjawab berbagai problem lingkungan yang justru ditimbulkan oleh sikap rasional dan tekhnologi.
Di balik ritual adat yang terlihat mistis dan takhayul itu, Ada logika-logika pengetahuan yang tidak dapat dipahami dan diterima oleh logika rasional yang positifitik dan material. Logika-logika pengetahuan inilah yang perlu digali dan dikembangkan supaya menjadi pengetahuan alternatif untuk menjawab problem kekinian. Inilah yang disebut dengan proses saintifikasi terhadap kearifan lokal dan berbagai ritus tradisi yang dilakukan oleh masyarakat adat.
Hal ini penting dilakukan karena menurut menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO) dan Fun for The Development of the Indegeneus of Latin America and the Carribean (FILAC) banyak fakta yang membuktikan bahwa masyarakat adat di wilayah Amerika Selatan dapat menjaga hutan dengan baik dan mencegah deforestasi secara efektif.
Spirit melakukan saintifikasi terhadap sistem pengetahuan, kearifan lokal dan berbagai falsafah yang ada di balik ritual adat inilah yang mendorong MAC dan Bakul Budaya, sebagai bagian dari civitas akademika UI, melakukan ritual Sedekah Hutan di kampus UI. Menggali tradisi adalah langkah strategis membangun peradaban di masa depan.
***
*) Oleh : Ngatawi AL-Zastrouw, Budayawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |