Kebijakan Kenaikan UKT di Indonesia: Tumpukan Beban bagi Mahasiswa

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Sebagai mahasiswa, kami terus dihadapkan pada tantangan finansial yang membebani. Namun, belakangan ini, kebijakan kenaikan golongan/UKT di Indonesia telah menambah beban kami yang sudah berat. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini merupakan sebuah keputusan yang kontroversial, memicu berbagai perdebatan tentang aksesibilitas pendidikan tinggi bagi semua kalangan masyarakat.
Salah satu argumen utama yang disuarakan adalah bahwa kenaikan golongan/UKT tersebut tidak sejalan dengan semangat inklusivitas pendidikan. Seharusnya, pendidikan tinggi haruslah menjadi jembatan bagi kemajuan sosial dan ekonomi, bukan sebuah tembok yang membatasi akses bagi mereka yang kurang mampu secara finansial. Mahasiswa dari latar belakang ekonomi menengah ke bawah merasakan beban yang semakin berat akibat kebijakan ini. Mereka harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari sambil tetap fokus pada studi mereka.
Advertisement
Selain itu, kenaikan golongan/UKT juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan. Apakah kenaikan tersebut memang benar-benar diperlukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ataukah hanya sebagai cara untuk mengatasi defisit anggaran institusi pendidikan? Mahasiswa dan masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas bagaimana dana pendidikan digunakan dan apakah kenaikan biaya tersebut sebanding dengan peningkatan kualitas pendidikan yang dijanjikan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan tinggi memerlukan investasi yang besar. Namun, pemerintah dan institusi pendidikan harus mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan, yang tidak hanya membebani satu pihak saja. Alternatif seperti pemberian beasiswa berbasis kebutuhan, skema pembiayaan yang lebih fleksibel, dan peningkatan efisiensi pengelolaan dana pendidikan bisa menjadi langkah-langkah yang lebih baik dalam mendukung aksesibilitas pendidikan tinggi bagi semua kalangan masyarakat.
Jika sekarang UKT dinaikkan secara tidak terukur, akses pendidikan tinggi akan makin sempit bagi anak-anak orang biasa.
Anak-anak rakyat akan terkena “tersierisasi” pendidikan tinggi. Statemen pejabat tinggi Kementerian bahkan menyatakan tentang tersier ini. Kampus akan lebih ramah bagi kalangan berada. Anak-anak dari orang-orang yang “kurang ada” akan makin kecil kesempatannya. Ini adalah tragedi Lalu mahasiswa bisa apa?
Diam saja? Atau merasa terpanggil dengan kepedulian pada mahasiswa yang kesusahan? jangan sampai ternyata kita ini iblis, pemimpin kita itu iblis, sistem yang mengendalikan hidup kita ini iblis. Perlu diperjelas secara ilmiah siapa iblis. Mustahil menjalankan sebuah aturan tanpa mengenal iblis. Tidak mungkin mengamalkan Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa mempelajari iblis. "siapa mengerti dirinya maka mengerti tuhannya".
Jadi, jelas sudah: siapa tak mengenali iblisnya, tak mengenali tuhannya. Supaya tidak terlalu sukar, lupakan iblis hehe, sebagai eksistensi wujud suatu "diri". Cukup sementara kita rumuskan iblis itu potensi, energi atau korban api didalam diri kita. Demikian juga Tuhan dan Malaikat. Iblis "yuwaswisu fi shudurinnas, minal jinnati wannas" membakar dan memprovokasi hati manusia yang berasal dari area jin dan dari dalam diri kita sendiri.
Ayo buat seminar nasional tentang iblis demi kebaikan. Mari para mahasiswa jadilah iblis yang baik untuk melangkah dan memberikan tindakan untuk memperjuangkan potongan UKT. Jangan sampai pemimpin kita jadi iblis yang jahat dengan tidak mendengarkan aspirasi kita. Ayo pak dengarkan suara kita, suara mahasiswa! Kami tahu dosen, petugas, staff kampus harus digaji. Tapi setidaknya harus ada kebijakan, Jadi mana kebijakannya? Saya tunggu kabar terbaiknya!
Pertanyaan terakhir, boleh kan? Oke, silahkan. Bagaimana Universitas mengemas aspirasi dan keresahan mahasiswa? Seberapa efektif aksi tuntutan mahasiswa lewat secuil aspirasi yang di kemas dalam tulisan receh ini? Lantas, saya juga akan mempertanyakan bagaimana komitmen mahasiswa dalam mengambil peran? Jangan bilang mahasiswa kalau tidak bisa memberikan perubahan! Jangan bilang mahasiswa kalau tidak bisa control keadaan yang penuh kegelisahan ini.
Dengan demikian, penting bagi pemerintah dan institusi pendidikan untuk mendengarkan suara mahasiswa dan masyarakat dalam menentukan kebijakan terkait kenaikan golongan/UKT. Langkah-langkah yang diambil haruslah mencerminkan semangat keadilan dan kesetaraan, sehingga pendidikan tinggi benar-benar dapat menjadi motor penggerak perubahan yang inklusif dan berkelanjutan bagi Indonesia.
***
*) Oleh : Dandi Amar Rizky B.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Irfan Anshori |
Publisher | : Sholihin Nur |