Kopi TIMES

All Eyes On Rafah, Dimanakah ‘Hari Anak Korban Perang’?

Jumat, 07 Juni 2024 - 16:22 | 54.20k
Wakil Sekretaris MUI Jatim, Dr. Lia Istifhama M.E.I
Wakil Sekretaris MUI Jatim, Dr. Lia Istifhama M.E.I
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYAHari Anak Korban Perang atau International Day of Innocent Children Victims of Aggression, telah berlangsung pada 4 Juni. Hari peringatan yang juga dikenal sebagai Hari Internasional Anak-anak Tak Bersalah Korban Agresi tersebut, ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bentuk keprihatinan atas situasi konflik atau perang dengan korban yang paling rentan adalah anak-anak.

Sejarah Hari Anak Korban Perang adalah pada 19 Agustus 1982 ketika PBB mengadakan sesi khusus yang membahas masalah di Palestina, karena banyaknya anak-anak di Palestina dan Lebanon yang menjadi korban agresi militer Israel sehingga PBB memutuskan 4 Juni diperingati sebagai Hari Anak Korban Perang.

Advertisement

Namun, dimanakah makna Hari Anak Korban Perang saat ini? Ketika kita terus diperingatkan akan kejahatan kemanusiaan di bumi Palestina, sesuai tagar yang viral hingga saat ini, All Eyes on Rafah.

Luka global, itulah potret jerit tangis anak Palestina yang terus memantik respon simpatik masyarakat dunia. Bukan hanya artis dunia yang turut menunjukkan dukungannya secara blak-blakan, tapi juga gelombang boikot produk Israel yang terus menggema. 

Jeritan kisah menyayat hati pun terus bergulir di atas negeri letak Baitul Maqdis yang pernah menjadi potret indahnya toleransi. Diantaranya adalah yang dicontohkan oleh Khalifah Umar tatkala berhasil merebut tanah Palestina. 

Satu hari sang Khalifah berkunjung ke Gereja Holy Sepulchre, lantas tibalah waktu shalat. Uskup Sophorius, pemimpin Kristen saat itu, mempersilakan sang Khalifah untuk shalat di gereja, tapi Umar menolaknya dengan mengutp surat Al-Kafirun ayat 6, yang artinya: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."

Lantas Khalifah Umar pun berkata: ”Andai saya shalat dalam gereja, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah masjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre.”

Bijaknya sikap toleransi oleh sang Khalifah juga ditampilkan oleh Sultan Salahuddin Al Ayyubi (Saladin). Bahkan kisah Saladin pun diabadikan dalam sebuah film epik berjudul Kingdom of Heaven, bahwa setelah Saladin berhasil merebut kembali Palestina (Yerusalem) pada tahun 1187, ia pun memberikan kebebasan dan kemerdeakaan beragama bagi semua warga.

Namun kisah indahnya toleransi beragama di tanah yang menjadi tempat bersejarah peristiwa Isra’ Mi’raj Rasulullah SAW tersebut, kini menjadi tanah penuh luka dan duka dengan segala getir perjuangan.

Sejarah kelam Palestina tepatnya setelah 1917, dimana Palestina yang saat itu merupakan salah satu bekas wilayah Ottoman Turki, ditempatkan di bawah pemerintahan Inggris oleh Liga Bangsa-Bangsa. Palestina harus menelan pil pahit nan getir tatkala Deklarasi Balfour pemerintahan Inggris mengumumkan dukungannya terhadap pendirian "rumah nasional bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Sedangkan saat itu populasi Yahudi minoritas. 

Hari-hari penuh duka pun semakin bergulir ketika tahun 1922 mandat Inggris memutuskan kemerdekaan semua wilayah yang berada di kekuasannya, kecuali Palestina. Selama Mandat Inggris tahun 1922 hingga 1947, terjadi imigrasi Yahudi dalam skala besar, terutama dari Eropa Timur seiring dengan kisah Nazi saat itu. 

Tuntutan warga muslim Arab sebagai mayoritas untuk kemerdekaan dan perlawanan terhadap imigrasi warga Israel, menjadi cikal pemberontakan pada tahun 1937. Upaya warga Palestina untuk merebut kemerdekaan pun tak henti dan babak kian pedih pun terjadi pada tahun 1967 dimana terjadi perang enam hari yang membuat Israel menduduki Jalur Gaza, Tepi Barat, dan termasuk Yerusalem Timur. Warga Palestina sebagai warga pribumi saat itu, justru harus ter-eksodus dengan jumlah sangat besar dan diprediksi setengah juta orang.

Hingga kini, luka dan duka pun menjadi identitas warga Palestina. Rangkaian genosida pun terjadi meski seringkali terbantahkan dengan sebuah gambaran bahwa yang terjadi di Palestina adalah pertempuran dua pihak, bukan perjuangan warga pribumi Palestina untuk mempertahankan tanah mereka. 

Sangat pedih, terutama ketika Israel yang kian berkuasa, menunjukkan kekuatannya menyerang jalur Gaza sejak serangan pada 7 Oktober 2023. Puluhan ribu ton bom pun sudah dijatuhkan. Korban meninggal pun sudah lebih dari 36.550 orang. 

Kementerian Palestina juga mendata bahwa setidaknya 82.959 orang terluka, dimana banyak orang masih terjebak di bawah reruntuhan dan di jalan karena tim penyelamat tidak dapat menjangkau para korban peperangan.

Jerit tangis anak kecil yang terluka, kehilangan orang tua dan keluarga, kehilangan tempat tinggal, bahkan kehilangan indahnya tawa riang dengan segala hari cerah ceria tanpa asap bom pun, seakan sudah menjadi identitas Palestina. Namun ketika tangis duka mereka kian menyayat hati masyarakat dunia, kisah jauh lebih pedih pun menyeruak ke publik. 

Tepatnya dengan serangan biadab pasukan Israel menggempur kamp pengungsi di distrik Tel Al-Sultan, kota Rafah pada Minggu malam, 26 Mei 2024. Serangan itu bukan hanya menimbulkan kebakaran para pengungsi yang merupakan warga sipil, tapi sekaligus membakar hidup-hidup para pengungsi yang sebagian besar anak-anak dan perempuan. 

Menteri Kesehatan Palestina mengatakan 45 orang tewas dan 249 orang lainnya terluka. Tak sedikit korban mengalami luka bakar parah dan anggota tubuh yang patah. Hingga membuat masyarakat dunia kian tak mampu meredam keprihatinannya.

Sebuah keprihatinan global, itulah yang menjadikan media sosial hingga saat ini dibanjiri seruan #AllEyesOnRafah. Sebuah solidaritas dunia akan pertanyaan besar, dimanakah humanisme dan perikemanusiaan? Dan dimanakah makna Hari Anak Korban Perang di atas bumi Palestina yang sarat akan kelaparan, keterasingan dari segala kemajuan dunia seperti listrik, tempat tinggal, namun justru kerap dihujani serangan brutal dari Israel? 

Dan sekali lagi, anak-anak menjadi korban dengan hilangnya rangkaian waktu yang seharusnya mereka isi dengan riang, ceria, tawa, senyum, dan belaian kasih sayang dari para orang terkasih. Namun masa kecil bahagia itu harus berselimut duka dan luka setiap waktu.

Anak-anak berhak bahagia. Berhak menggapai asa dan cinta. Mereka juga berhak atas cinta dan ceria, sebagaimana penggalan lagu legendaris atouna el toufoule (Beri kami masa kecil) yang dinyanyikan oleh Remi Bandali pada 1984, yang diartikan dalam Bahasa Indonesia, sebagai berikut:

Langit kami sedang bermimpi, bertanya kepada hari
Dimana matahari yang indah dan ke mana kepakan sayap burung merpati?
Wahai semesta, tanah kami telah dihancurkan
Tanah kami telah direnggut kebebasannya

Tanahku Kecil, seperti aku yang mungil
Berikan kedamaian, berikan kami masa kecil kami
Aku adalah seorang bocah
Yang ingin menyampaikan sesuatu

Tolong dengarkan aku
Aku adalah seorang bocah
Yang ingin bermain
Kenapa tidak kau biarkan aku.
(*)

 

*) Penulis: Dr Lia Istifhama, Sekretaris MUI Jawa Timur, Ketua DPP Perempuan HKTI Jawa Timur, Founder LBH 'Srikandi Bakti Insani' Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES