
TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Sudah mafhum bahwa ibadah haji adalah salah satu bentuk ritual keagamaan kolektif yang sudah dikenal oleh banyak masyarakat kuno. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam ibadah mereka, meskipun bentuknya antara keyakinan yang satu dengan keyakinan yang lain. Sebagai contohnya adalah agama agama Mesir kuno.
Menurut orang Mesir kuno, perayaan haji merupakan perayaan suci. Di antara perayaan tersebut yang paling terkenal adalah perayaan penyembahan (Puster) terhadap dewa (Bobasthat). Herodot menceritakan bahwa perayaan ibadah di kota ini dipenuhi oleh para lelaki dan wanita yang datang dari berbagai negara. Pada saat bersembahyang di hadapan kiblat, mereka menyajikan berbagai kurban dalam jumlah yang sangat besar.
Advertisement
Dalam riwayat lain dikatakan, bahwa jumlah para pengunjung yang turut serta dalam perayaan tersebut tidak kurang dari 700.000 jiwa, bahkan terkadang lebih. Hanya saja, secara pasti, dalam perayaan tersebut dinding yang mengelilingi dewa (Bobasthat) dipenuhi oleh beberapa pengunjung sebagaimana kota Tonto dipadati oleh para pengunjung, dan juga dipenuhi dengan lantunan lagu-lagu yang didendangkan oleh para Kahim dan sekelompok manusia sebagai pujian terhadap dewa mereka. Sebagian mereka mendendangkan puisi-puisi keagamaan yang suci dan sebagian yang lain mendendangkan puisi-puisi patriotis.
Sedangkan dalam perayaan dewa Amon, di kota Aqshor atau Theba, dipersembahkan berbagai macam kurban, seperti sapi jantan yang gemuk yang dikhususkan untuk perayaan itu. Para Arkeolog dan ahli Mesir (al-Mishrologi) menjelaskan bahwa di antara syiar yang dijalankan dalam perayaan tersebut, khususnya di kota Munif, yang juga dijalankan oleh orang-orang mukmin adalah ibadah tawaf di sekitar bangunan suci. Tawaf di sekitar bangunan merupakan perayaan (ritual) tersendiri yang dilakukan di kota Munif. Terlebih lagi, adanya berbagai macam kurban yang dipersembahkan dalam perayaan yang berhubungan dengan sebuah peristiwa.
Tentang perayaan di Theba, ada beberapa nyanyian yang mengabadikannya, yaitu “Alangkah bahagianya dewa Amon pada tahun baru dengan berbagai macam kurban ketika dewa Amon menerima berbagai macam suguhan yang baru dan beratus ratus sembelihan sapi jantan”.
Perayaan Keagamaan
Dengan demikian, jelaslah bahwa ibadah haji, perayaan suci, atau ritual-ritual suci yang lain terhadap dewa-dewa tertentu atau dalam perayaan keagamaan merupakan ibadah utama bagi orang-orang Mesir kuno. Orang-orang mukmin yang melaksanakan ibadah haji ke kota suci juga mewarisi tradisi-tradisi seperti itu, di antaranya: pertama, menyembelih binatang kurban-diutamakan sapi yang gemuk dan dipersembahkan sebagaimana mereka yang telah mempersembahkan korban untuk dewanya dalam berbagai perayaan. Kedua, melantunkan nyanyian-nyanyian tertentu sebagai pengagungan terhadap Tuhan yang disembah. Ketiga, melakukan tawaf di sekitar bangunan suci.
Sebagai contoh mengenai nilai luhur yang ada pada masa lalu, sebelum Islam datang, adalah orang-orang Arab mendatangi kota suci Makah untuk menjalankan ibadah haji. Bahkan orang Yahudi dan Nasrani pun juga ikut serta di dalamnya, dengan menganggap Ka’bah adalah bangunan suci yang telah dibangun oleh Nabi Ibrahim. Demikian juga orang-orang yang menyembah binatang (ash-Shabiah) yang menganggap bahwa Ka’bah adalah salah satu bangunan suci baginya.
Jika orang Mesir kuno berbondong-bondong mendatangi kota sucinya dengan berkendaraan melalui sungai Nil, maka orang-orang Arab pergi ke Makah dengan mengendarai unta melewati gurun pasir. Mereka itu (orang Arab) melakukan ibadah haji dan putaran dan mendendangkan nyanyian (bacaan talbiyah). Hanya saja, sebagian mereka dalam bacaan talbiyah-nya menyertakan bacaan: “Tiada sekutu bagi-Nya. Dia vang milikmu dan ia adalah sang Raja.”
Menyuguhkan Macam Kurban
Tak hanya itu, mereka juga menyuguhkan berbagai macam kurban. Syiar tersebut yang diwarisi oleh orang Arab sebelum kenabian Muhammad Saw., seperti dalam ibadah haji, mempunyai kemiripan (kesamaan) dengan syiar yang dilakukan orang Mesir kuno dalam berbagai perayaan sucinya. Orang-orang Arab melakukan tawaf di sekeliling Ka’bah-sebuah bangunan suci-yang tertempel di dindingnya hajar aswad, dan mendendangkan bacaan talbiyah sebagaimana orang-orang Mesir kuno, baik para Kahin maupun sekelompok manusia, yang dalam istilah seorang sarjana Jerman, Estadov, sebagai pujian terhadap dewanya.
Orang Arab juga mempersembahkan berbagai macam kurban untuk dewanya sebagaimana orang Mesir kuno menyuguhkan hewan kurbannya. Lammenes menggambarkan tawaf yang dilakukan orang-orang Arab ketika itu, khususnya umrah pada bulan Rajab di Makah sebagai berikut: “Jalan-jalan dipenuhi oleh orang-orang yang melakukan ibadah, arak-arakan yang hidup mengelilingi batu, keindahan memenuhi ujung kepala mereka yang warna-warni, para pemimpin kaum itu berada di barisan paling depan memimpin mereka, kemudian disusul di belakangnya wanita-wanita cantik Quraisy, wanita-wanita itu mengurai rambutnya, menabuh genderang dan rebana, mereka sangat gembira dan bersemangat, hingga mereka semua sampai di halaman Ka’bah.”
Ilustrasi yang di gambarkan oleh Lammenes tersebut tidak jauh berbeda dengan perayaan penyembahan: (Bastat) dewa (Babasthat). Perayaan ini merupakan ungkapan kegembiraan dan kesenangan, karena sepanjang perjalanan pengunjung yang mendatangi perayaan itu bermain-main sampai ke Babasthat, dengan diiringi nyanyian dan lagu-lagu. Para wanita menabuh rebana sedangkan laki-laki memainkan seruling sambil bernyanyi.
Jadi syair haji yang dilakukan oleh orang Arab sebelum Islam memiliki kesamaan dengan perayaan suci yang dijalankan oleh orang Mesir kuno. Orang-orang Arab berkeyakinan bahwa haji merupakan warisan nenek moyang mereka, yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail. Ketika Islam datang, ibadah haji itu masih tetap ada dengan segala bentuk dan caranya, kecuali bacaan talbiah yang ada pada sebagian suku telah disucikan dari bentuk kemusyrikan.
Berdagang di Wilayah Hijaz
Orang-orang kaya Quraisy mengambil kesempatan dari ibadah haji dan umrah untuk kegiatan berdagang di wilayah Hijaz. Karena sangat tidak masuk akal seandainya ribuan orang Arab, yang berasal dari berbagai penjuru jazirah, datang ke Makah hanya bermaksud untuk melakukan ibadah haji saja tanpa sedikitpun memanfaatkan dan mengambil keuntungan.
Berkenaan dengan itu, langkah awal yang dilakukan oleh orang Quraisy adalah: “Menggaungkan hukum-hukum positif kesukuannya dengan syiar kepaganannya dan menggabungkannya dengan Ka’bah sehingga setiap orang yang membanggakan Quraisy, maka ia pasti membanggakan kesucian Ka’bah, dan barang siapa yang membanggakan kesucian Ka’bah maka ia membanggakan Quraisy.”
Meskipun ketika itu ditemukan lebih dari dua puluh Ka’bah di jazirah Arab, tetapi semuanya tidak dapat menandingi kesucian Ka’bah di Makkah. Hal ini karena kecerdikan orang-orang Quraisy hingga sumpah mereka dengan Ka’bah ini menyamai sumpah mereka terhadap dewa-dewa. Ini dapat kita temukan dalam puisi Zuhair bin
Abi Salma: Aku bersumpah demi Ka’bah yang sekelilingnya ditawafi Oleh para tokoh-tokoh Quraisy dan Jurhum
Demikian juga dalam puisi penyair lain yang sezaman dengannya. Ka’bah memiliki tingkat kesucian yang mampu menggugah orang-orang Arab di manapun mereka berada untuk melakukan ibadah haji ke sana, walaupun satu kali dalam seumur. “Dan orang- orang yang melakukan ibadah haji ke sana, jika mereka hendak kembali ke kampung halamannya yang jauh, mereka membawa bebatuan kecil yang ditemukan di halaman Ka’bah untuk ditaruh dirumahnya, dengan tujuan agar rumah mereka mendapat kemuliaan seperti Ka’bah.” Pada tingkat inilah propaganda yang dilontarkan oleh orang-orang Quraisy kepada para tokoh-tokoh suku untuk mengakui kesucian Ka’bah mencapai kesuksesan.
Demikian juga orang-orang Quraisy mendorong semua suku untuk memindahkan berhala-berhala mereka ke halaman Ka’bah. Dalam sebuah riwayat dijelaskan bahwa, jumlah berhala itu mencapai 360 berhala, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Kalbi dalam kitabnya al-Ashnam. Tujuan semua itu adalah menarik semua suku agar datang ke Makah untuk melakukan ibadah haji dan agar mereka lebih cenderung kepada berhala atau dewa-dewa sesembahannya yang berada dihadapan keagungan Ka’bah dan berkurban untuknya.
Sebagaimana dalam penjelasan terdahulu bahwa ketika terjadi perang Fijar dan penyerangan Abrahah, orang-orang Quraisy sangat sibuk dengan menjaga kesucian Ka’bah (al-Bait al-Athiq) yang telah dijaga Tuhannya dengan mengutus burung Ababil yang menghujani mereka dengan bebatuan dari neraka (Hijarah min Sijjil). Dalam hal ini, Ru’bah bin Al-Ajjaj dalam puisinya bersenandung: "Sungguh tentara gajah itu tidak dapat menyentuh, Mereka dihujani bebatuan dari neraka Yang dimainkan oleh burung-burung Ababil".
Orang-orang Quraisy disebut dengan sang Patriotik (al-Hums). Artinya yang memiliki jiwa patriotis terhadap agama, dan orang-orang yang terhormat (Ahl al-Haram). Oleh karena itu, semua orang Arab memandang bahwa ibadah haji ke tanah mereka dan menjalin hubungan dengannya merupakan suatu kemuliaan baginya. Dan kebanyakan orang Arab meminjam kepada orang Quraisy baju untuk tawaf, karena baju-baju mereka tidak layak untuk itu. Semua persoalan itu menjadikan Hijaz sebagai tempat tujuan, dan Makah sebagai tempat ibadah haji bagi seluruh manusia yang berada di segala penjuru jazirah.
Yang tidak dapat diragukan lagi adalah bahwa ada hal yang membantu orang-orang Quraisy dalam mengangkat (mempropagandakan) kesucian Ka’bah, yaitu penerimaan terhadap Nabi Ibrahim dan puteranya, Nabi Ismail, yang telah membangun Ka bah tersebut, di mana Nabi Ismail telah diyakini sebagai nenek moyang mereka. Atau dengan kata lain, Ka’bah merupakan warisan nenek moyang mereka.
Meskipun hari-hari haji adalah hari-hari ibadah, lalu apakah signifikansi hari-hari itu bagi perdagangan, keuntungan, dan penghasilan? Sesungguhnya orang-orang Quraisy adalah orang yang paling pandai dalam memadukan dua persoalan (antara ibadah dan perdagangan). Oleh karena itu, mereka kemudian mendirikan pasar-pasar yang berhubungan dengan haji, yang dilakukan pada waktunya.
***
*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |