
TIMESINDONESIA, MALANG – Tulisan ini sebuah respon kekhawatiran terhadap kerusakan alam. Dengan bekal kesabaran intelektual, baik secara sadar struktural maupun kultural, sebagai upaya. Marilah secara seksama berliterasi ekologi, yang merupakan upaya merawat lingkungan. Sebab setiap kesadaran yang berusaha terkait kondisi alam lebih baik atau memburuk, perlu direnungkan sekaligus ditemukan solusinya. Pelbagai jalan agar menemukan gejalanya, melalui teori di ruang akademisi dan peneliti dikembangkan. Namun, perspektif teoritis dan ideal itu belum cukup memadai, belum begitu tajam membedah dan memilih substansi permasalahan kerusakan alam.
Ekologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI. 2023) merupakan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan kondisi alam sekitar (lingkungan). Bentuk dari pengalaman itu merupakan pemahaman terkait alam perlu melalui berbagai cara, dengan kesadaran dan pengalaman orang lain semisal. Sejalan dengan tulisan Dewi (2022: 1) rekonstruksi terhadap alam yang rusak tidak dapat diselesaikan melalui pandangan etis praktis saja, melainkan melalui pemahaman ontologis tentang alam. Ontologi yang dimaksud berbeda dengan pemahaman sebelumnya, yaitu manusia dan alam dijelaskan terpisah melalui ontologi berbeda.
Advertisement
Dalam tradisi filsafat Barat semenjak pemikiran Cartesian, ada pemahaman yang melekat khususnya mengenai subjek adalah manusia yang memiliki inferioritas kesadaran, sementara alam adalah objek yang tidak memiliki inferioritas dan bekerja secara mekanistis Dewi (2022:1). Dengan bahasa lain, alam (lingkungan) sekitar sekedar objek (tidak punya relasi dengan hubungan manusia), misalnya tumbuhan, hewan, dan batu tanah dll. tidak mendapat perlakuan seperti halnya manusia oleh manusia. Adapun dalam hal ini, etika lingkungan masih gamang dalam menjelaskan alam sebagai entitas.
Menyadari alam-entitas-manusia dapat disadari dengan bijak dari awal mula penciptaannya. Upaya mencari telah dilakukan, mulai dari pelbagai elemen; disiplin ilmu, hingga pada gerakan sosial, filsafat lingkungan, yang tak kalah pentingnya termaktub dalam kitab suci agama Islam-yang kerap disinggung-pentingnya manusia dengan lingkungan. Dapat terjamah secara efektif dalam penerapannya setiap individu atau struktural, masih perlu berusaha dan berusaha.
Usaha mungkin saja tersebut dapat ditemukan di tempat ibadah-ibadah misalnya. Jarang kah di antara kita menemukan kampanye akan pentingnya menjaga, merawat alam (lingkungan) bertuliskan atau di bahasa lisankan, ‘pentingnya menjaga lingkungan’. Tidak dengan seruan kebersihan sebagian dari iman, walaupun seruan tersebut dalam skala kecil tidak spesifik terkait alam. Marilah sama-sama memulai dari sekarang.
Pondasi Literasi Ekologi Agama
Islam memberi pondasi secara tersurat terkait ekologi, dasar tersebut penting, dikelompokkan menjadi tiga batas saja; pertama hablum minallah (hubungan antara manusia dengan Tuhannya), dua hablum minannas (hubungan antara manusia sesama manusia), dan hablum minalalam (hubungan manusia dengan alam sekitar). Ketiga tersebut seolah-olah jadi pondasi penting paham ekologi, fiqih ekologi secara khusus di agama Islam telah jelas dan penting dipahami. Jika secara umum sebagai modal fiqih sosial. Marilah bermuhasabah untuk berupaya membenahi diri di bidang literasi ekologi, berbudaya, dan tradisi.
Pada paragraf sebelumnya, saya kira umum disampaikan para ulama, misalnya kyai menyerukan. Dengan kata lain sudah ‘klise’, tapi ini sekaligus sebuah umpan (pancingan mengiris-iris untuk pentingnya menjaga merawat lingkungan). Sejalan dengan isu yang akhir-akhir menonjok kepala kesadaran kader organisasi yang militan dan peduli terhadapnya (Organisasi), yaitu mengenai "Izin tambang dan pengelolaannya". Pernyataan dan pertanyaan dari banyak pihak tentu bermunculan, entah yang di dalam organ. Entah itu baik atau buruk tentu bersifat subjektif. Hal tersebut tentu pemangku bermuhasabah dengan menimbang suara banyak orang yang tentu akan memiliki kebenaran. Tujuannya menimbang evolusi alam yang beretika.
Pernyataan ketua organisasi itu seolah-olah alam sebagai objek semata. Dengan kata lain bukan menjadi bagian atau entitas, malah berposisi sebagai egoisme kesadaran manusia (subjek) bukan sebagai entitas. Aldo Leopold, penggagas konsep etika tanak (Land Ethics) dan pengamat alam liar, menuliskan bahwa peran manusia tidak lagi menjadi penguasa dari alam tetapi bersamaan dengan spesies lainnya (Dewi, 27:2022). Manusia merupakan bagian keluarga biotik yang lebih besar, segala keputusan tidak berpusat pada kepentingan spesiesnya semata tetapi pada kebaikan komunitas biotik tersebut (Dewi, 27:2022).
Menurut Leopold (Dewi, 26:2022) evolusi etika yang melibatkan alam tidak lagi menjadi kemungkinan, tetapi menjadi keniscayaan. Dalam perubahan secara etis Sedangkan untuk hal-hal umum tapi terkadang ada kerumpangan pemahaman ontologis tentang alam. Dengan kata lain pemahaman terhadap alam bagian dari manusia sebagai subjek dan alam diperlakukan sebagai objek— relasi tersebut perlu diputus pada kesempatan kepentingan bersama. Untuk mencapai perlu kesabaran intelektual: kesadaran, pengalaman, dan kesempatan, manusia bijaksana.
Kesabaran intelektual tentu tidak lahir dari sebuah dasar pondasi yang kosong, tanpa ada benturan antara rasa dan jiwa akan memandang agama bukan sekadar hubungan dengan Sang Maha Segalanya, tapi sekaligus sebagai sebuah upaya mengantarkan peta-peta penting mencapai hidup stragis-kalis (keindahan yang penuh kemanfaatan). Dengan sebuah kitab suci diberikan-Nya merupakan sebuah peta-peta besar yang mengantarkan umat manusia hidup di bumi tak sekadar imajinasi, tapi perlu kreasi. Kedua "imajinasi dan kreasi" berdasarkan kemampuan berpikir jauh untuk melangkah yang penuh perhitungan, dengan kata lain "mencapai hidup yang ideal dan praktial, bersikap parsial serta kontekstual, di alam sebagai entitas manusia.
Parsial dan kontekstual dalam mencapai kemaslahatan umat jadi perhitungan utama. Semisal sebuah kehidupan manusia sebagai makhluk sosial punya arah penting mencapai, maka perlu mencapai dengan sebuah cara yang telah ada di dalam ajaran agama secara khusus serta umum. Secara khusus mencapai kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Terukur. Sedangkan secara umum merawat stabilitas: hubungan Tuhan, manusia, dan alam.
Hubungan ketiganya tersebut semestinya penting ditanam pada diri umat Islam. Entah yang sholat subuh menggunakan kunut atau tidak menggunakan, itu tak perlu diperdebatkan sampai urat nadi kekar. Alangkah baiknya, dari keterkaitan tiga kata penting itu mampu dipadukan, cocokkan, dan bisa diterapkan secara tenang dan nyaman. Dengan kata lain sepakat bersama, terkhusus agama Islam punya moment setiap persoalan mampu mencangkok dari pondasi penting yang tersedia pada kitab suci atau ajaran agama lainya jika masih kurang dan perlu, untuk mencapai alam yang semestinya.
Adapun tugas tersebut semestinya perlu dijabarkan secara sederhana agar mudah diterima oleh setiap kalangan, terpenting dapat dilaksanakan secara kolektif. Kerap menjadi sorotan penting dalam dinamika negara Indonesia akhir-akhir ini. Pernyataan sikap terkait pengelolaan tambang seperti berseberangan dengan kepentingan bersama secara utama. Untuk memahami jelas tidak perlu terlalu membaca ulang, perlu sekali akan paham. Sebagai anak muda setengah mateng tumbuh besar di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dalam praktik atau secara pengetahuan masih setengah mateng NU-nya, perlu bersuara dengan tulisan singkat dengan pentingnya berliterasi ekologi.
Literasi Salah Satu Kunci
Saryono (15:2019) penguasaan literasi telah diyakini sebagai episentrum perkembangan dan kemajuan berbagai lapangan kebudayaan dan perbedaan, yang selanjutnya mampu membuat kehidupan kita sebagai manusia, bangsa, dan masyarakat lebih baik. Selaras dengan perkembangan sekarang di masyarakat rekat dengan informasi. Dengan bahasa lain semakin mampu menemukan inti dari literasi ekologi akan semakin baik mengambil keputusan.
Dalam memahami lebih luas dan ingin mengembalikan NU kepada khittohnya. Dalam menyepakati hal apapun tidak sekadar menggunakan kacamata kuda. Sungguh kurang memadai jika dikembalikan kembali pada tiga ajaran Islam yang dikelompokkan pada paragraf kelima di subjudul “Pondasi Literasi Ekologi Agama”. Walaupun misalnya dipaksa tetap menggunakan kacamata kuda dikhawatirkan akan jadi kaku Islam ini.
Tentu paling penting sejalan dengan pedoman sanad yang jelas. Namun diharapkan dapat di kontekstualkan agar tidak berpotensi kaku. Jika seperti benda akan mudah patah, padahal agama bukan benda melainkan sebuah cara manusia hidup beradab dengan iman pada Sang Pencipta alam semesta seisinya. Meminjam bahasa Kuntowijoyo yang berpendapat terkait agama Islam, yang menyebutnya “Pengilmuan Islam”—dari reaktif, menjadi proaktif pengilmuan Islam adalah proses.
Proses yang dimaksud dalam hemat penulis, islam sebuah agama yang memperhatikan proses–yang dapat diasumsikan bahwa membawa perkembangan manusia pada taraf lebih baik. Ke tahap yang membawa peradaban lebih baik, bukan memperkeruh bahkan memperburuk, itu kerap tidak diamini secara baik. Dengan kata lain agama telah mengajarkan proses penyesuaian hubungan manusia dengan alam, yang paham bahwa lingkungan dan manusia sebuah entitas.
***
*) Oleh : Akhmad Mustaqim, Tenaga Pendidik dan Pengajar enrichment book writing Thursina IIBS Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |