Kopi TIMES Info Haji 2024

Spiritualitas Haji

Minggu, 30 Juni 2024 - 10:27 | 31.72k
Akh. Muzakki, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
Akh. Muzakki, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024
FOKUS

Info Haji 2024

Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTAToilet dan AC di Mina memang sebuah kekurangan
Tetapi, suka-duka haji seperti ini menjadi menarik
Atmosfir spiritual haji justeru ada di sini, di Mina ini
Betul-betul atmosfir spiritual haji
Kan terbayang, bagaimana Rasulullah menjalani haji

Itu adalah penggalan pernyataan yang disampaikan oleh KH. Mujahid Anshori. Kyai muda dari Surabaya yang menjadi jemaah haji dari kloter SUB 44. Dia mengingatkan kita semua tentang atmosfir spiritual haji. Yakni, kesadaran spiritual yang bisa menggerakkan kita untuk memahami secara mendalam bagaimana situasi Rasulullah menjalani haji 14 abad yang lalu. Kesadaran spiritual ini, menurutnya, justeru tak datang kecuali dari tantangan dan kesulitan ibadah haji tahun 1445 H/2024 M. Jika semua proses ibadah berhaji dalam situasi baik-baik saja, justeru di sana tidak ada effort besar untuk segera bisa menyadarkan kita tentang spiritualitas haji.

Advertisement

Kekurangan fasilitas toilet di Mina yang dimaksud oleh kyai muda di atas menujuk ke sebagian kecil toilet wanita. Desain letaknya yang harus naik membuat sejumlah lansia agak kesulitan. Juga, masalah AC yang dimaksud kyai muda di atas terjadi di sebagian tenda saja. Dingginnya AC masih belum dirasa mampu mengimbangi panasnya cuaca. Itu diperparah oleh banyaknya Jemaah di tenda.

Persoalan toilet dan AC di atas disebut oleh Kyai Mujahid Anshori di atas untuk memberi contoh tentang tantangan dan kesulitan yang bisa dihadapi oleh jemaah haji dalam menjalankan ibadah haji. Mabit di Mina adalah menjadi contoh saja dari serangkaian ritual haji. Bisa saja ada jemaah yang mendapati situasi lain di luar Mina. Mungkin saat berada di Madinah. Mungkin pula saat berada di Makkah. Atau mungkin pula saat berada di bandara Arab Saudi maupun Indonesia.

Hanya, Kyai Mujahid Anshori di atas mengingatkan kepada kita semua: Hai jangan lupa nilai spiritualitas haji. Kira-kira begitu sederhananya. Sebab bagaimanapun, berhaji adalah momentum untuk meneladani Rasulullah Muhammad SAW melalui kemampuan refleksi atas perjalanannya berhaji. “Suka-duka haji”, seperti dikutip di atas, adalah bagian tak terpisah dari ibadah haji. Jika hanya yang “suka” saja yang dirasakan dalam pelayanan haji, “atmosfir haji” dalam pernyataannya lebih lanjut, bisa tereduksi. Nilai spiritualitas haji akhirnya bisa terkoreksi.

Bahkan, dalam pernyataan lanjutannya, Kyai Mujahid Anshori menguraikan begini: “Satu sisi kita harus bersyukur mendapatkan pelayanan maksimal. Tapi sisi lain harus menghadapi tantangan. Lika-liku haji, ya seperti ini!” Ungkapan ini menarik ditelaah lebih jauh. Karena, kyia muda dari Surabaya tersebut menyebut dua frase penting: “suka-duka” dan lika-liku”. Dalam berhaji, suka hadir bersama duka. Dan itu menjadi bagian dari dinamika dan romantika haji yang disebut sebagai “lika-liku” itu.

Dan, semua Jemaah haji tampaknya penting untuk menjadikan “suka-duka” dan lika-liku” sebagai kesadaran berhaji. Bahkan, kyai muda tersebut mengingatkan: “Kelemahan itu kita jadikan sebagai refleksi perjalanan haji Rasulullah.” Ini artinya segala tantangan, kesulitan dan kerumitan dalam pelaksanaan ibadah haji patut dijadikan sebagai momentum untuk tumbuhnya kesadaran refleksional tentang perjalanan haji Rasulullah Muhammad SAW.

Pernyataan-pernyataan Kyai Mujahid Anshori di atas disampaikan saat dilakukan wawancara bersama sejumlah petugas haji. Ada Mahmud Syaltut dan saya selaku Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi. Juga ada Kepala Sektor 9, Sunaryo, dan Sekretarisnya, Nur Asik. Wawancara tersebut dilakukan seusai acara pemberangkatan jemaah haji kloter Surabaya lainnya dari Mekkah ke Madinah untuk menjalani ritual haji di Madinah dan proses kepulangan ke Indonesia pada Jumat (28/06/2024). 

Kutipan-kutipan di atas terasa penting sekali untuk diturunkan dalam tulisan ini. Kepentingannya untuk mendekatkan kita semua kepada detil situasi yang terjadi. Lebih dari itu, kutipan-kutipan di atas perlu disitir kembali sekaligus untuk mengingatkan kita semua tentang kesadaran berhaji. Khususnya untuk munculnya apa yang kemudian disebut dengan “spiritualitas haji”. Harapan akhirnya, agar berhaji tak boleh kehilangan kesadaran tentang nilai spiritualitas yang dikandungnya.

Mungkin kita semua ingat. Bahkan hafal. Atas pepatah berikut: pengalaman adalah guru terbaik. Bahkan, pepatah ini sering sekali direproduksi dalam banyak kesempatan. Tapi, tidak semua lalu bisa menarik makna substansial atasnya. Bahwa hikmah harus bisa dipetik dari setiap kejadian. Bahwa bukan pengalaman yang menjadi penting. Tapi, apa makna yang bisa dipetik di balik pengalaman. Itulah yang mendesak dilakukan. Apa pelajaran yang bisa ditarik. Itu yang harus bisa diperhatikan. Jangan biarkan kejadian berlalu begitu saja tanpa ada aksi ambil makna. Jangan biar peristiwa berlalu begitu saja tanpa ada aksi petik pelajarannya. Maka, jadikan pengalaman untuk menuai keberkahan.

Pengalaman hidup itu bisa positif, bisa pula negatif. Begitu pula kejadian dalam hidup. Kadang mengenakkan, kadang pula meresahkan. Kadang menyenangkan, kadang juga menyedihkan. Kedua nilai, positif-negatif atau mengenakkan-meresahkan atau menyenangkan-menyedihkan, selalu hadir dalam gerak hidup. Selama hayat di kandung badan, selama itu pula keduanya mewujud dengan cara masing-masing yang mungkin sebelumnya tak pernah terkira.    

Itu pula yang terjadi dalam ibadah haji. Terutama biasanya pada pelaksanaan ibadah di Armuzana (Arafah, Muzdalifah, Mina). Yang biasa mewah, harus dipaksa menghadapi semua apa adanya. Yang biasanya sendiri, harus siap berbagi. Yang biasa menjalani hidup suka-suka, harus siap bertenggang rasa. Yang biasa menyuruh-nyuruh, harus siap untuk mengerjakan sendiri ini-itu. Yang biasa dilayani, harus siap pula sendiri menjalani. Intinya, semua harus dilakukan negosiasi. Antara situasi yang terjadi dengan diri sendiri. Karena semua sedang dalam posisi jemaah haji.

Pada titik inilah, jika kedewasaan hilang, kematangan diri hanya seakan menjadi barang usang. Saat kemewahan tak bisa ditinggalkan, pemaknaan atas kesederhanaan hanya melahirkan gundah tak tertahankan. Komplain pun akan muncul melebihi harapan. Keluhan pun akan semakin terdengar menggelisahkan. Ini kalau kedewasaan dan kematangan diri tak bisa ditunaikan. Apalagi, ibadah haji adalah ibadah yang terkhususkan. Ketahanan fisik, secara spesifik, menjadi tuntutan.    

Mungkin ada yang bertanya-tanya? Apakah kesulitan dan tantangan akan dijadikan sebagai excuse atau pemakluman? Bukan. Sekali lagi, bukan. Bukan begitu yang harus dimaknakan. Kyai Mujahid Anshori di atas mengingatkan kepada kita semua tentang wilayah spiritual. Bahwa spiritualitas haji itu justeru hadir bersama suka-duka dan lika-liku haji. Spiritualitas haji itu butuh atmosfir. Dunia material memang bukan esensi dari berhaji, tapi keberadannya harus bisa menjadi pemantik atmosfir haji. Apa atmosfirnya? Ya, suka-duka dan lika-liku yang muncul dalam pelaksanaan ibadah haji itu.

Lalu, apa kepentingan kita terhadap atmosfir haji? Untuk menjadi bahan refleksi untuk tumbuhnya kesadaran diri mengenai nilai spiritualitas haji. Yakni sekali lagi, kesadaran untk meneladani dan mengambil makna mendasar dari sejarah perjalanan haji Rasulullah Muhammad SAW.  Karena itu, mendekati spiritualitas haji tak boleh hanya berhenti pada perspektif material semata. Mulai dari layanan transportasi, akomodasi dan bahkan konsumsi. Jemaah haji perlu menarik naik pengalaman berhaji dari dunia material ke dunia spiritual. Hanya dengan cara begitu, makna spiritual haji bisa ditarik. Esensi dasar dari ajaran berhaji bisa dipetik. 

Kesadaran spiritual di atas tak ada kaitannya dengan persoalan usia atau kelas ekonomi. Bijak itu tak identik dengan soal usia. Memang, bertambahnya usia biologis harusnya diikuti dengan meningkatnya usia psikologis. Apa itu usia psikologis? Ya, usia kematangan diri yang menjadi awal dan sekaligus menandai kesadaran spiritual. Pula, kesadaran spiritual tak ada kaitannya dengan kelas sosial ekonomi. Bukan berati bahwa mereka yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah ke atas lebih berpeluang untuk memiliki kesadaran spiritual haji itu. Begitu pula sebaliknya.

Kesadaran spiritual justeru lahir dari kecakapan hidup dalam mendekati pengalaman dan kejadian dalam pelaksanaan ibadah haji. Berada dalam situasi sulit bisa menjadi momentum untuk tumbuhnya kesadaran spiritual itu. Syaratnya, jangan berhenti dengan pemahaman dan kesadaran material semata. Itulah yang disebut dengan atmosfir kesadaran spiritual. Bahkan, saat seseorang dimanjakan oleh fasilitas layanan, atmosfir haji yang dibutuhkan bagi tumbuhnya kesadaran spiritual haji bisa terkoreksi.

Maka penting untuk ditanyakan lagi kepada setiap pribadi, saat layanan haji dari tahun ke tahun tahun semakin bagus sekali: di mana letak kesempatan bagi kita untuk bisa meneladani Rasullullah dari perjalanan hajinya? Layanan haji yang semakin baik tak boleh lalu mengurangi kesempatan untuk berefleksi atas perjalanan haji Rasulullah bersama dengan tingkat kesulitan dan kerumitan yang dihadapi. Inilah wilayan spiritual. Jangan diturunkan ke dalam wilayah material. Karena, itu hanya akan membuat engkau tak akan mampu memiliki kesadaran spiritual atas nilai ibadah haji.

Apalagi, bersama tantangan, kesulitan dan kerumitan, selalu hadir keberkahan. Nama lainnya bisa hikmah atau pelajaran.  Semakin tinggi tantangan atau kesulitan atau kerumitan itu, semakin terbuka lebar ruang hadirnya hikmah atau pelajaran. Bukankah kita sering diajarkan kaidah ini: al-ajru ‘ala qadr al-masyaqqah? Pahala bergantung pada tingkat tantangan atau kesulitan atau kerumitan. Dan ini wilayah spiritual. Syaratnya harus ada kesadaran diri dari awal. Di sinilah masing-masing diri sepatutnya mampu menciptakan atmosfir spiritual untuk lahirnya kesadaran internal. (*)

 

Oleh: Akh. Muzakki, Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya; Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES