Kopi TIMES

Paradigma Ekonomi Doughnut

Rabu, 03 Juli 2024 - 07:36 | 32.46k
Muhammad Syahrul Hidayat, S.Akun., M.E., CIMM., Akademisi.
Muhammad Syahrul Hidayat, S.Akun., M.E., CIMM., Akademisi.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Paradigma ekonomi dengan model Doughnut yang diperkenalkan oleh Kate Raworth, menawarkan sebuah pendekatan revolusioner yang menantang paradigma ekonomi konvensional. Model ini menggabungkan kesejahteraan manusia dengan batasan ekologis, yang berupaya memastikan bahwa kebutuhan dasar semua orang terpenuhi tanpa melampaui kapasitas planet. Ini merupakan visi ambisius yang menempatkan keseimbangan ekologis dan keadilan sosial di pusat kebijakan ekonomi. Namun, implementasinya masih menghadapi tantangan besar. 

Di satu sisi, model ini dapat dilihat sebagai solusi untuk masalah global seperti kemiskinan dan perubahan iklim, karena hal ini dinilai mendorong kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam jangka panjang. Di sisi lain, skeptisisme muncul karena hambatan politis, ekonomi, dan budaya yang membuat banyak orang melihatnya sebagai utopia yang sulit untuk diwujudkan. Meskipun demikian, meningkatnya jumlah kota dan negara yang mulai menerapkan prinsip-prinsip Doughnut Economics menunjukkan bahwa paradigma ini memiliki potensi nyata untuk mengubah cara kita memandang dan menjalankan ekonomi di abad ke-21.

Advertisement

Meskipun tantangan yang dihadapi dalam penerapan Doughnut Economics tidak dapat diabaikan, pendekatan ini memberikan peta jalan yang jelas menuju keberlanjutan jangka panjang. Para pendukungnya berargumen bahwa dengan mengadopsi kebijakan yang mendukung regenerasi sumber daya alam dan redistribusi kekayaan, kita dapat menciptakan sistem ekonomi yang lebih tangguh dan inklusif. Misalnya, Amsterdam telah mulai menerapkan model ini dengan mengembangkan strategi kota yang berfokus pada penggunaan ulang material dan pengurangan limbah, menunjukkan bahwa perubahan nyata bisa dicapai melalui komitmen lokal yang kuat.

Selain itu, Doughnut Economics juga mendorong inovasi di sektor bisnis, mendorong perusahaan untuk bergerak menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab secara sosial. Ini dapat menciptakan peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi yang tidak lagi bergantung pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Namun, untuk benar-benar merealisasikan potensi Doughnut Economics, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, dukungan kebijakan yang kuat, serta perubahan budaya yang mendasar.

Dengan tantangan global seperti krisis iklim dan ketidaksetaraan yang semakin meningkat, Doughnut Economics menawarkan sebuah kerangka kerja yang tidak hanya relevan tetapi juga mendesak dan mengajak untuk berpikir secara kritis dan bertindak dengan keberanian, mengingatkan kita bahwa ekonomi yang adil dan berkelanjutan bukanlah pilihan, tetapi keharusan. Oleh karena itu, meskipun ada yang melihatnya sebagai utopia, semakin jelas bahwa Doughnut Economics adalah peta jalan yang layak untuk diikuti demi masa depan yang lebih baik.

Dari perspektif ekonomi tradisional yang berfokus pada pertumbuhan PDB sebagai indikator utama keberhasilan, model donat menawarkan pendekatan yang jauh lebih holistik dan integratif. Sebagai contoh, negara-negara Nordik seperti Swedia dan Norwegia telah mengadopsi beberapa prinsip dari model ini dalam kebijakan mereka. Swedia, dengan populasi sekitar 10 juta, berhasil mengurangi emisi karbonnya sebesar 25% sejak tahun 1990, sementara tingkat kemiskinan tetap rendah di angka 1,5% pada tahun 2022. Ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan untuk mencapai keseimbangan antara kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

Namun, tantangan dalam penerapan model ini tidak bisa diabaikan. Dalam skala global, ketimpangan ekonomi sangat mencolok. Menurut laporan Oxfam tahun 2023, 1% orang terkaya di dunia memiliki kekayaan dua kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan 6,9 miliar orang lainnya. Selain itu, 700 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, dengan pendapatan kurang dari $1,90 per hari. 

Untuk negara-negara berkembang, yang masih bergantung pada eksploitasi sumber daya alam untuk pertumbuhan ekonomi, transisi ke model ekonomi donat bisa menjadi tantangan besar. Sebagai contoh, Indonesia, dengan populasi sekitar 273 juta, masih bergantung pada industri pertambangan dan perkebunan untuk pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2023, sektor pertambangan menyumbang sekitar 11% dari PDB nasional. Beralih ke model yang lebih berkelanjutan membutuhkan investasi besar dalam teknologi hijau dan perubahan struktural dalam perekonomian.

Selain itu, ada aspek politik yang perlu diperhitungkan. Penerapan model ekonomi donat memerlukan komitmen global dan kerjasama antar negara. Namun, dalam kenyataannya, kepentingan nasional sering kali lebih diutamakan daripada tanggung jawab global. Contohnya, Amerika Serikat, sebagai salah satu negara dengan emisi karbon terbesar di dunia, telah menarik diri dari Perjanjian Paris di masa lalu dan kebijakan iklimnya sering kali berubah seiring dengan pergantian administrasi. Ketidakstabilan politik semacam ini dapat menghambat upaya kolektif untuk mencapai tujuan keberlanjutan global.

Namun, ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa perubahan itu benar terjadi. Kota Amsterdam, dengan populasi sekitar 872 ribu, telah mengadopsi model doughnut ekonomi sebagai kerangka kerja untuk kebijakan kota. Mereka fokus pada mengurangi ketimpangan sosial dan dampak lingkungan dengan menerapkan kebijakan seperti mendukung ekonomi sirkular dan mengedepankan energi terbarukan. Hasilnya, Amsterdam berhasil mengurangi emisi karbonnya sebesar 17% sejak tahun 2012 dan meningkatkan akses ke perumahan yang terjangkau.

Inovasi teknologi juga berperan penting dalam mendukung model ini. Penggunaan energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, dan sistem pertanian berkelanjutan dapat membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan kelestarian alam. Sebagai contoh, Denmark, negara dengan populasi sekitar 5,8 juta, telah mencapai hampir 50% dari kebutuhan listriknya dari energi angin pada tahun 2022. Penerapan teknologi seperti ini secara luas dapat menjadi salah satu kunci keberhasilan model doughnut ekonomi.

Di tingkat komunitas, pendidikan dan kesadaran juga memainkan peran yang krusial. Masyarakat perlu memahami pentingnya keberlanjutan dan dampak dari gaya hidup mereka terhadap planet ini. Di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya serta University of Darussalam Gontor Ponorogo, pendidikan tentang ekonomi berbasis syariah dan keberlanjutan telah menjadi bagian dari kurikulum pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat menjadi alat yang kuat dalam mendorong perubahan paradigma.

Sehingga, apakah model dougnut ekonomi adalah solusi atau utopia tergantung pada sejauh mana komitmen global untuk menerapkan prinsip-prinsipnya. Model ini menawarkan kerangka kerja yang jelas untuk mencapai keseimbangan antara kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan. Namun, tanpa kerjasama internasional, inovasi teknologi, dan perubahan budaya, model ini bisa tetap menjadi sebuah utopia khusus nya di Indonesia.

***

*) Oleh : Muhammad Syahrul Hidayat, S.Akun., M.E., CIMM., Akademisi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES