
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Jika Nabi Ibrahim gelisah dalam “pencarian” Sang Pencipta. Kiai Basri gelisah melihat kondisi sosial agama masyarakat Darul Aman, Koncer, Bondowoso, Jawa Timur. Terutama dalam ilmu dan religiusitas beragama. Melihat kondisi yang demikian, Kiai Basri terus melakukan upaya-upaya memperbaikinya sembari terus melakukan komunikasi dan silaturahmi dengan para ulama dan para habib di Bondowoso.
Hingga pada suatu waktu, diadakanlah pertemuan dengan para ulama dan habib. Di antara tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut, Habib Muhammad Al-Muhdar, Habib Alwi Barkwan dan Kiai Basri. Dalam musyawarah dibahas bersama mengenai lahan atau pusat syiar dan dakwah Islam di tanah Bondowoso, setelah melalui beberapa pendapat dan pertimbangan diputuskan dan dipilihlah tanah Koncer sebagai pusat syiar dan dakwah ajaran-ajaran Islam di Kabupaten Bondowoso.
Advertisement
Sejak tanah Koncer menjadi pilihan dan dijadikan sebagai lahan dakwah dan syiar agama Islam. Maka saat itulah, awal mula adanya majelis pengajian, shalawatan, zikiran, yang diikuti oleh masyarakat Koncer dan sekitarnya yang dipimpin oleh Kiai Basri bersama para Habib. Tak ubahnya lahan yang baru disiram dengan mata air yang jernih, kesegaran dan kesejukannya begitu terasa. Begitulah gambaran masyarakat Koncer setelah mendapat sentuhan dan siraman mata air zikir, shalawat dan pengajian, mereka mulai merasakan kesegaran, kesejukan dan ketenangan jiwa.
Kiai Basri merupakan putra dari Kiai Abdus Shomad bin Zainal Abidin dan Ibu Nyai Aminah, Sumber Salam, Dumas. Kemudian mondok di Kiai Mariuddin Sentong Keraksaan, sebelumnya Kiai Basri sudah pernah mondok di daerah Bondowoso. Sepulang dari Pesantren, Kiai Basri menikah denqan Nyai Arba’iyah putri Haji Thohir dan Nyai Asmi yang berasal dari Bata’an Dusun Koncer Malang yang kemudian hari menjadi Koncer, Darul Aman.
Respon masyarakat Koncer dapat dibilang sangat positif terhadap berdirinya majelis zikir dan shalawat yang dilaksanakan Kiai Basri. Bahkan seiring berjalannya waktu, masyarakat mulai ada yang menitipkan putra-putrinya untuk belajar ilmu agama kepada Kiai Basri. Melihat respon masyarakat yang demikian, Kiai Basri semakin terdorong dan yakin untuk terus menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam, dan memahami kepercayaan masyarakat, sebagai amanah besar dari Allah untuk dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.
Dengan hati yang tulus, semata-mata niat nasyrul ilmi (menyebarkan ilmu Allah) dan mengharap Ridha Allah, Kiai Basri kemudian mendirikan Pondok Pesantren Nurul Huda pada tahun 1916. Kiai Basri menyadari bahwa dalam proses pendidikan dan pengajaran ilmu tidak cukup hanya dilakukan liqa’ (pertemuan) antara guru dengan murid, lebih dari itu butuh dukungan doa dan riyadhah yang dilakukan oleh guru terhadap para murid / santrinya sebagai pendidikan Rohani yang tidak dimiliki oleh lembaga pendidikan di luar pesantren.
Hal inilah, yang dilakukan oleh Kiai Basri. Selain mengajarkan ilmu-ilmu agama, beliau juga melakukan riyadhah (tapa). Di mana Kiai Basri memiliki rutinitas setiap malam, melakukan zikir keliling di sekitar lokasi pesantren hingga pukul 22:00 malam, kemudian baru masuk ke rumah. Ketika waktu menunjukkan pukul 3:00 dini hari, beliau sudah bangun untuk melaksanakan shalat malam, sembari melangitkan doa, zikir dan wirid di keheningan malam, hingga sampai waktu shalat subuh berjamaah, yang dilangsungkan dengan zikir dan wirid bersama, lalu dipungkasi dengan doa sampai terbit matahari, yang menjadi tanda bahwa pagi hari telah tiba.
Selain jarang tidur malam, Kiai Basri punya amaliah puasa tiga bulan menjelang Ramadlan. Ritual shaleh inilah yang dilakukan oleh Kiai Basri untuk mengisi hari-hari beliau dengan mengajar, mendidik dan meriyadhahi pesantren, santri dan keluarga hingga beliau wafat pada tahun 1984.
Kiai Basri terkenal dermawan terhadap masyarakat, tak jarang beliau memberikan bantuan terhadap Masyarakat yang dianggap kurang mampu dan butuh. Dari sifat dan akhlaknya inilah Masyarakat menaruk simpatik dan hormat kepada Kiai Basri. Di sisi lain, beliau terkenal tegas dan disiplin dalam mendidik anak dan santri-santri dalam menjalankan syariat Islam terutama pergaulan putra-putrinya.
Seiring berjalannya waktu, Pesantren Nurul Huda terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Dari yang hanya berupa majelis dzikir dan shalawat, hingga ada santri yang mondok, akhirnya Kiai Basri mulai membangun masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan yang dibantu langsung oleh putra beliau yakni Kiai Hasan Basri. Pesantren, selain sebagai pusat mendalami ilmu keagamaan (Tafaqqahu Fi al-Din) juga menjadi wadah mencetak pribadi yang siap mengabdi untuk agama bangsa dan negara.
Sejalan dengan perubahan dan kebutuhan zaman, Pesantren Nurul Huda mendirikan pendidikan formal (madrasah) sebagai wadah mempersiapkan santri yang bisa berkhidmah di tengah kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
Dalam proses perkembangan Pesantren Nurul Huda terus melakukan perbaikan manajemen pesantren. telah ada pembagian tugas dan peran. Dengan kedatangan Kiai Abdul Muiz Tirmidzi yang belajar ilmu agama di Rusyaifah Makkah dibawah bimbingan langsung ulama terkemuka Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.
Tepat pada tahun 1980 an Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki datang ke Indonesia dan di antara daerah yang didatangi oleh beliau adalah Pesantren Nurul Huda Koncer, Bondowoso, Jawa Timur. Saat itulah Sayyid Muhammad Al-Maliki menghadiahkan nama beliau kepada santrinya K.H Abdul Muiz untuk dijadikakan nama Pesantren Nurul Huda menjadi Pondok Pesantren Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
Kini, Pesantren Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Koncer, Bondowoso telah berkembang pesat, terlihat dari berdirinya beberapa lembaga pendidikan mulai tingkat PAUD, TK, MI, MTs, MA dan Sekolah Tingga Agama Islam Al-Maliki. Dan terdapat pula lembaga Tahfidhul Quran dan Kursus Bahasa Arab, tentu semua ini merupakan buah dari riyadhah Sang Pendiri Kiai Basri serta pantulan cahaya barakah Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.
***
*) Oleh : Noer Yadi Izzul Haq, Pemerhati Pendidikan Pesantren.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |