Kopi TIMES

Makna Karra Dalam Solidaritas Masyarakat Islam Alor

Sabtu, 06 Juli 2024 - 08:36 | 24.64k
Wahid Hasyim TRA Beni, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Wahid Hasyim TRA Beni, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Munculnya Alor Sebagai Nama salah satu Kabupaten Di Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki Nilai Historis dimana nama tersebut tidak lepas dari perjalanan kemajuan peradaban Islam di wilayah Kabupaten Alor. diberbagai Media elektronik maupun cetak memberikan gambaran tentang Masuknya Islam di Kabupaten Alor Khusunya Pulau Alor diawali dengan datangnya Para Mubalik dari kesultanan Tenate dan Mubalik Lokal yang belajar di Kesultanan Mananga serta Para Pedangang muslim yang berasal dari Maksasar.

Salah satu Peradaban Islam yang teranam dalam kehidupan Masyarakat Kabupaten Alor Khususnya masyarakat Suku Alor di Kecamatan Alor Barat Laut adalah Khitan atau Sunat, dimana Ritual Khitan menjadi Suatu Kekuatan Besar dalam menjadi salah satu media dalam membangun Solidaritas Masyarakat Islam Alor, karena masyarakat suku Alor menjunjung tinggi Darah dalam Konteks Adatiah mereka menyebut dengan istilah Bela Baja (Tradisi Minum darah), sebagai sebuah perjanjian untuk membangun Ikatan Solidaritas Masyarakat dalam Tatanan Ikatan Darah Kakak Adik Ipar Kandung Laki-laki Perempuan Gunung dan Pantai yang dalam Falsafah adat bagi suku Alor disebut dengan Istilah ” Kakari Opung Anang Kafini Hola Foto Fatang”. 

Advertisement

Nilai solidaritas di atas kemudian terkemas dalam Tradisi Ritual Karra sebagai Kebersamaan yang mengikat pada pelaksnaan Khitanan Adat pada masyarakat suku Alor secara turun-temurun sejak awal masuknya Islam di Pulau Alor khususya Alor besar, Alor Kecil dan Dulolong sebagai pusat Syiar Islam pertama Di Pulau Alor dimana Tiga daerah Tersebut pernah menjadi Pusat Kerajaan dan Kevetoran di Pulau Alor, dari Dinasti Balolong-Tulimau dan Dinasti Nampira serta Dinasti Kossa-Vernaka.

Hal inilah yang membuat Wahid Hasyim TRA Beni, salah satu mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang ini tertarik menelaah lebih jauh untuk melihat aspek eksternalisasi, objektivitasi dan internalisasi, tentang bagaimana makna Karra pada Masyarakat Islam suku Alor untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial. 

Ia mencoba untuk melihat suatu kenyataan bahwa masyarakat Suku Alor berkembang baik apabila mereka mereka memiliki makna hidup yang dikonstruksikan dalam dunia sosial mereka yang kemudian muncullah pertanyaan apakah makna karra sebagai simbol solidaritas sosial masyarakat Islam di Kecamatan Alor Barat Laut serta bagaimana konstruksi sosial karra sebagai perekat sosial kekerabatan disana. 

Menggunakan konstruksi sosial dari Berger dan Lauckmann, dimana Wahid melihat dua aspek yaitu pengetahuan dan Realitas sosial pada masyarakat Suku Alor, yang dikemas dalam diakletika Berger dan Louckmann tentang hubungan kausal antara faktor Eksternalisasi, Objektivasi dan Internalisasi.

Melalui hasil observasi, wawancara, dan data yang berhasil dikumpulkan. Wahid mendapati bahwa makna Karra merupakan sebuah Nilai subjektif dari pengetahuan masyarakat turun-temurun, kemudan bertansformasi menjadi sebuah budaya yang dikonstruksikan dalam dinamika sosial. Karra menjadi pedoman hidup bagi Masyarakat Islam Alor secara turun-temurun. Karra memiliki makna yang ada diluar diri orang Alor yang mengalami proses objektivasi ketika makna Karra ini itu berada dalam norma adat dan norma Agama, kemudian secara subjektif Masyarakat Suku Alor memaknainya sebagai pedoman hidup yang mengikat hubungan darah kakak adik ipar kandung dalam kehidupan masyarakat Islam Alor.

Karra sendiri merupakan sebuah nilai pengetahuan yang mengakar dalam kehidupan sosial bagi masyarakat Suku Alor. Karra kemudian terkonstruksi menjadi sebuah nilai perekat sosial yang tertanam kuat pada suku Alor baik secara adat maupun Agama menjadi Nilai kearifan lokal yang tetap dipertahankan dalam perubahan sosial masyarakat moderen. Dari sisi konstruksi sosial, makna Karra terhadap solidaritas masyarakat suku alor dan kemajuan peradaban Islam, bagi masyarakat suku Alor menunjukan bahwa Karra merupakan sebuah nilai sosial hasil dari sebuah mengetahuan yang berada diluar lingkungan Suku Alor secara subjektif. Karra kemudian terkonstruksi dalam pelaksnaan Sunat Adat yang berisi nilai-nilai keislaman yang terposes melalui dialektika eksternalisasi, objetivasi dan Internalisasi sebagai sebuah realitas yang diikuti oleh masyarakat suku Alor yang mayoritas penduduknya beragama Islam.  

Implikasi Teoritis, menunjukan bahwa Teori Konstruksi Sosial merupakan teori utama dalam menjelaskan makna Karra sebagai debagai sebuah solidaritas masyarakat Islam Alor, sementara teori fenomenologi memberikan gambaran tentang arus kesadaran sosial yang diperoleh melalui pengalaman subjektif suku Alor dalam memaknai Karra sebagai sebuah nilai nilai solidaritas. Penggunaan teori konstruksi sosial sebagai landasan utama dalam menelaah memberikan makna bahwa teori konstruksi sosial masih dapat dipergunakan untuk memberikan penjelasan tentang makna Karra dalam solidaritas masyarakat Islam di Kabupaten Alor.

***

*) Oleh: Wahid Hasyim TRA Beni, mahasiswa program studi Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES