Kopi TIMES

Islam: Dari Kemunduran Hingga Mengadopsi Budaya Lokal

Senin, 08 Juli 2024 - 16:32 | 92.92k
Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Sejak jatuhnya Baghdad kaum muslimin mengalami masa kejumudan (stagnasi). Tentu ada beberapa faktor penyebab terjadinya kemunduran Islam. Pertama, konflik yang terus menerus terjadi diantara kaum muslim sendiri. Akibatnya, stabilitas pemerintahan menjadi kacau dan ekonomi, pendidikan, serta ilmu pengetahuan kian tidak terurus-murung.

Kedua, meningkatnya sektarianisme dikalangan kaum muslimin. Dalam hal ini, fanatisme mazhab dan aliran yang menjadi penyebab pokok dari keterbelakangan dan kejumudan Islam. Bagaimana tidak! Kaum muslimin dan para ulama khususnya pada akhirnya lebih asyik membela mazhab-nya masing-masing; sehingga tidak ada pemikiran-pemikiran baru yang dihasilkan.

Advertisement

Ketiga, diharamkannya berfikir rasional (filosofis). Sebab, dengan berfikir rasional seseorang dianggap mengesampingkan ayat-ayat al-Qur’an dan wahyu. Padahal hakikatnya keduanya bisa berjalan dengan sejajar tanpa ada pertikaian. Akhirnya umat Islam terbelenggu di dalam fiqh yang sempit.

Walaupun sekarang sudah banyak yang keluar dari kejumudan, namun masih ada sebagian kaum muslimin yang masih terbelenggu dengan sikap kejumudan; mendorong dan membenarkan kejumudan.

Karena itu, tak keliru jika dikatakan bahwa di zaman sekarang yang perlu dikembangkan adalah berfikir secara rasional, meninggalkan sektarianisme yang berlebihan, mengembangkan keterbukaan terhadap sains dan teknologi.

Yang tidak kalah pentingnya adalah membangun pendidikan yang memiliki orientasi dan bermutu tinggi. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya berfokus pada semangat dakwah, melainkan juga betul-betul ingin mengembangkan ilmu pengetahuan serta membangun peradaban.

Tidak ada sumber lain untuk memajukan umat dan meninggalkan kejumudan kecuali dengan mengembangkan pendidikan. Sebab dengan mengembangkan pendidikan maka akan tercipta generasi-generasi muda yang terdidik (berilmu tinggi dengan akhlak yang bagus). Tidak hanya dalam ilmu-ilmu fiqh dan agama, akan tetapi juga mencakup bidang-bidang ilmu empiris, alam, sosial, humaniora dan lain sebagainya.

Lalu Bagaimana dengan Mengadopsi Budaya Lokal?

Terbentuk dan bertahannya Islam yang toleran; Islam dengan dengan wajah senyuman di Indonesia ini banyak terkait dengan proses-proses pertemuan Islam dengan budaya lokal. Dan memang pertemuan diantara Islam yang datang ke Indonesia dibawah guru para sufi melibatkan konflik dan akomodasi.

Pada mulanya ada konflik dan resistensi. Namun, pada saat yang sama, Islam juga melakukan akulturasi dengan budaya lokal dan lembaga-lembaga lokal, sehingga kemudian Islam menjadi bahagia dengan tradisi lokal. Hanya saja, kalau dalam bidang pendidikan, para ulama dan guru mengadopsi lembaga-lembaga yang sesungguhnya sudah ada sebelum datangnya Islam.

Misalnya, seperti pendidikan surau ataupun pesantren. Ini adalah lembaga yang sudah ada sebelum datangnya Islam. Akan tetapi, kemudian di adopsi dan di isi dengan muatan Islam hingga akhirnya menjadi tempat dan lokus bagi pembelajaran mengenai Islam, bahkan berkembang sebuah pendidikan yang lengkap.

Itu sebabnya, Islam Indonesia menjadi kaya raya. Bahwa Islam Indonesia adalah “flower Islam” atau “Islam bunga-bunga”. Ada banyak sekali bunga-bunga dalam Islam, dalam hal ini banyak sekali budaya lokal yang diadopsi dan kemudian menjadi bahagia dari tradisi Islam Indonesia yang tidak ditemukan ditempat-tempat lain.

Sebut saja tradisi lokal yang berbunga-bunga adalah seringnya melakukan silaturrahmi (berkumpul-kumpul) mengadakan walimah ursy, walimah al-safar, walimah al-khitan dan lainnya. Dan, apa yang dilakukan di dalam tradisi ini adalah hal yang sangat sesuai dengan ajaran Islam sendiri.

Misalnya, di dalam walimah al-safar kita mengundang tetangga dan membaca surat-surat  tertentu, tak terkecuali membaca doa dan lain sebagainya. Dengan adanya akulturasi yang seperti ini maka terciptalah kohesi sosial. Sebab, dengan seringnya berkumpul-kumpul seraya membaca amalan-amalan dalam ajaran Islam (dan pada saat yang sama kita juga makan berkat), akan menciptakan suasana Islam yang murah senyum penuh dengan toleransi.

Ini adalah sesuatu yang sangat istimewa dan jarang ditemukan di negara-negara lain; Islam bunga-bunga. Akan tetapi, apakah dengan adanya bunga-bunga ini muslim Indonesia lebih rendah keislamannya dibanding dengan kaum muslimin ditempat lain? Tentu saja tidak.

Bahkan, dalam berbagai survei penelitian yang diadakan ditingkat internasional, orang Islam Indonesia (ditemukan) adalah orang yang paling rajin dalam soal ritual, seperti rajin ke masjid, puasa dan lainnya.

Oleh karena itu, kekayaan warisan tradisi Islam yang berbunga-bunga ini harus kita pelihara dan kembangkan. Mengapa demikian? Karena memiliki makna yang tidak hanya fokus pada keagamaan, melainkan juga memiliki arti sosial yang sangat kaya raya, serta membuat kita lebih sering berinteraksi dengan masyarakat sekitar.

Lebih dari itu, pada gilirannya juga akan memudarkan dan mengurangi batas-batas sektarianisme (yang mungkin masih ada di tanah air ini). Tak kalah pentingnya, jangan sampai cepat-cepat kita menuduh sebuah tradisi dengan mengatakan bahwa tradisi itu tidak Islami. Karena jika kita melihat isinya hal itu (yang di atas) sesuai dengan nilai-nilai keislaman. 

***

*) Oleh : Salman Akif Faylasuf, Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo dan Kontributor di E-Harian Aula digital daily news Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES