
TIMESINDONESIA, PADANG – Isu agama di Indonesia bak isu new wine in the old bottle menurut Clifford Greetz, fenomena yang sebenarnya adalah isu klasik yang masih saja hangat diperbincangkan masyarakat Indonesia. Sejak Indonesia pertama kali memproklamirkan kemerdekaan hingga tokoh nasional mulai merumuskan dasar terbentuknya negara, ideologi, dan lain sebagainya, isu perdebatan antar tokoh agama masih terjadi dikarenakan Indonesia tidak akan mampu merdeka jika tidak didukung dari berbagai macam etnis, ras, suku, dan agama.
Contohnya, Piagam Jakarta. Penyebutan "Menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" sudah dikonversi menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" setelah berdiplomasi dengan seluruh tokoh agama di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwasanya Indonesia berkomitmen untuk tidak tegak pada pilarnya sebagai negara Islam, karena penyebutan Ketuhanan Yang Maha Esa berarti merujuk kepada tiap-tiap warga negara yang sepakat untuk mengakui satu keyakinan masing-masing, tanpa ada paksaan. Jadi, apakah Indonesia bisa dianggap sebagai negara sekuler yang mencoba memisahkan urusan negara dengan agama?
Advertisement
Salah satu artikel yang berjudul Defining 'religious' in Indonesia: toward neither an islamic nor a secular state, Myeongkyo Seo menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara yang memiliki populasi muslim terbesar di dunia, tetapi juga beriringan dengan pemilik angka tertinggi kekerasan berdasarkan agama. Salah satu kasusnya adalah konflik antar agama yang terjadinya pada tahun 1999 dan 2002 yang menewaskan lebih dari lima ribu penduduk yang berkonflik antara umat Muslim dan Kristiani.
Paradoks ini juga terlihat dari bagaimana regulasi perkawinan di Indonesia hanya mampu untuk merepresentasikan pernikahan sesama keyakinan dan tidak mengizinkan adanya perkawinan beda keyakinan. Pada awal paragraf Myeongkyo Seo memulai artikel dengan narasi mengenai salah seorang muslim laki-laki yang jatuh cinta dengan perempuan kristiani, tetapi mereka terkendala melangsungkan pernikahan yang sah menurut agama karena ketiadaan regulasi mengenai ini.
Akhirnya, hanya ada 2 solusi bagi perkawinan beda agama: menikah di luar negeri atau salah satunya pindah agama secara administratif yang mana opsi kedua memiliki ongkos yang lebih murah. Pemuda tersebut pada akhirnya berpindah agama menjadi kristen agar bisa diakui pernikahannya.
Berdasarkan narasi tersebut, dapat dikatakan Indonesia adalah negara yang telah mengelola agama dengan menjadikan praktik keagamaan tidak terlalu fokus pada spiritualitas, tetapi negara ikut mengintervensi urusan administrasi warga negara, khususnya sejak tahun 1965 ketika Indonesia menyaksikan jatuhnya Sukarno (1901–1970) dan bangkitnya Suharto (1921–2008).
Serangkaian kebijakan nasional terkait agama kemudian melahirkan sekularisme versi Indonesia, yaitu bagaimana dan mengapa negara mengelola agama. Empat peraturan khususnya, dan yang akan dijelaskan secara rinci selanjutnya, merupakan contoh terbaik dari pola pikir pemerintah terhadap agama, yaitu Keputusan Presiden tahun 1965 tentang agama-agama yang diakui negara, Keputusan Bersama Menteri tentang Rumah Ibadah pada tahun 1969 dan 2006, Peraturan Nasional Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 dan Keputusan Menteri tentang Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan dan Pedoman Penyebaran Agama tahun 1978.
Ringkasnya, peraturan tersebut mengatur bahwa warga negara Indonesia tidak diperbolehkan menikah dengan orang yang tidak beragama, berbeda agama, membangun tempat ibadah tanpa persetujuan tidak hanya dari negara tetapi juga agama mayoritas setempat dan melakukan dakwah kepada warga negara lainnya.
Jika Indonesia telah berkomitmen untuk menegakkan ia sebagai agama yang memberikan kebebasan bagi rakyatnya untuk memeluk keyakinan, keterkaitan agama hanyalah berputar pada level spiritualitas individu, tetapi agama telah masuk menjadi public religion dan agama yang memiliki otoritas di Indonesia adalah agama mayoritas, yaitu Islam.
Sehingga segala bentuk standarisasi urusan kewarganegaraan masyarakat sipil selalu diatur dengan tolak ukur agama mayoritas, ini bukanlah wajah Pancasila yang sebagaimana praktiknya telah membuat negara mengancam kebebasan berkeyakinan yang masuk kepada ranah privat.
Pada tingkat dasar, setiap negara mengelola agama dengan satu atau lain cara, dan kekerasan agama sering kali membenarkan 'rezim peraturan berbasis agama. Suatu agama harus dihadirkan, diberitakan dan, yang paling penting, dibatasi. Negara melakukan demarkasi wilayah dan batas agama melalui peraturan, tergantung pada bagaimana sekularisme didefinisikan dan ditafsirkan dalam konteks sejarah negara.
Karena peran agama dalam masyarakat modern kembali diperdebatkan, penelitian tentang sekularisme telah menggantikan penelitian sekularisasi, yang sebelumnya menjadi paradigma sentral dalam sosiologi agama. Sekularisme, sebagaimana diklaim secara luas, terkait dengan pemisahan agama dan negara. Hal ini menunjukkan gagasan bahwa negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama apa pun dan menjaga jarak yang sama terhadap semua agama.
Namun, definisi sekularisme masih kontroversial dan akan terus berlanjut seiring dengan berkembangnya konsep tersebut dalam konteks yang berbeda. Yang tampaknya penting bukanlah apa sebenarnya arti sekularisme, melainkan bagaimana negara menerapkan sekularisme tersebut sehingga sekulerisme memang mampu untuk tidak mengintervensi kepentingan privat dan lompat ke ranah publik dalam urusan kewarganegaraan.
Artikel ini agaknya mampu untuk menjadi sebuah refleksi bagi kita bahwa kasus diskriminasi agama mungkin saja tidak hanya karena perbedaan kepentingan dasar agama-agama yang hidup dalam satu ranah yang sama saja, melainkan negara pun hadir sebagai alat yang mengendarai perpecahan dan konflik mikro maupun berskala besar yang terjadi dalam eskalasi kehidupan warga negara.
Kajian sosiologi agama pun juga diharapkan mampu menjadi bidang kajian ilmu yang mampu untuk menjelaskan bagaimana masyarakat seharusnya mengatur beragama serta bagaimana masyarakat agama itu sendiri bernegara.
***
*) Oleh : Indah Sari Rahmaini, Dosen Sosiologi Universitas Andalas.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |